Ceknricek.com–Aku pernah dua kali menyambangi Mbak Yeni Wahid, putri K.H. Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Pertama saat Gus Dur wafat tahun 2009. Kedua, tahunnya lupa, tapi aku datang ke rumah pribadinya di sekitaran Kemang, Jakarta Selatan. Saat Gus Dur wafat, aku dan Mbak Yeni ngobrol di rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan. Ketika itu, karena masih dalam suasana berkabung, kami hanya ngobrol soal kenangan Mbak Yeni terhadap Gus Dur.
Meski tahunnya lupa, aku juga pernah wawancara pribadi dengan Cak Imin. Kebetulan di tabloid C&R ada rubrik namanya ‘Romansa’. Cak Imin dan istrinya menerima aku dan fotografer di rumah dinasnya. Kami berbincang santai soal bagaimana cara ia mendidik anak dan kisah bertemu istri sampai menikah.Lucunya, saking santainya, ketika Cak Imin kentut pun dikeluarkan sambil kami tertawa tawa bareng.
Jika dilihat dari silsilah keluarga, Cak Imin adalah keponakan Gus Dur. Artinya, Cak Imin dan Mbak Yeni masih satu keluarga besar. Cak Imin adalah cicit KH Bisri Syansuri,pendiri NU yang juga kakek Gus Dur. Hubungan keluarga keduanya tersambung lewat ibu Cak Imin, Nyai Muhassonah, anak dari Nyai Mu’asomah. Nah, Nyai Mu’asomah ini adalah saudara kandung Ibu Gus Dur, Nyai Sholihah. Keduanya putri Kyai Bisri Syansuri.
Mbak Yeni humoris, terbuka, dan sudah pasti cerdas. Sama sekali tidak mencerminkan sebagai orang yang mudah terluka,apalagi pendendam. Gambaran ini memang jauh jika melihatnya saat merespon pertanyaan wartawan soal Cak Imin.Mbak Yeni tidak pernah basa basi, jika ia tidak suka dengan Cak Imin. Mungkin kalau dibilang benci terlalu ‘kasar’. Pangkalnya cuma satu, karena rebutan kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Mbak Yeni selalu memegang amanat Gus Dur sebelum meninggal dunia. Ia mengatakan, Gus Dur memberi wasiat agar Cak Imin diganti sebagai Ketua Umum PKB. Dalam pandangan mata awam seperti aku, memang agak susah dinalar seorang humanis besar seperti Gus Dur mewasiatkan sebuah “kebencian”. Atau setidaknya “perpecahan”.
Gus Dur pasti lebih paham, sebagai orang tua, dan orang tua lainnya di mana saja, ketika merasa akan “mangkat”, kerap memberi pesan agar selalu rukun dengan saudara. Apakah Gus Dur sudah sedemikian terluka atau merasa dipermalukan karena PKB lepas dari tangannya dan dipegang Cak Imin, yang juga salah satu pendiri PKB, aku tidak tahu. Narasi yang selama ini didedahkan ke publik oleh Mbak Yeni adalah Cak Imin “mendepak” Gus Dur alias berkhianat.
Pengkhianatan Cak Imin kepada Gus Dur inilah, yang kembali dilontarkan, usai Cak Imin mendeklarasikan diri sebagai cawapres berpasangan dengan Anies Baswedan. Saat berbincang dengan Najwa Shihab di Mata Najwa,Cak Imin mengaku itu isu lima tahunan yang selalu “digoreng” ulang. Cak Imin meyakinkan publik, justru dialah yang dipecat Gus Dur. Ia juga menjelaskan, pemecatan Mbak Yeni sebagai sekjen PKB kala itu, untuk memastikan PKB bisa ikut pemilu, karena tanda tangan yang terpakai di Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah sekjen PKB sebelumnya.
Meski tidak seblak blakan Mbak Yeni, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Gus Yahya pun nampak memilih satu kubu dengan Mbak Yeni. Ia langsung menggelar konferensi pers, jika PBNU tidak cawe cawe dengan urusan capres-cawapres. Begitu pula menteri agama, Gus Yaqult, yang juga adik kandung Gus Yahya. Ia mengunggah foto bareng dengan Erick Thohir, sambil menulis caption “teman seiring yang tidak akan berkhianat”.
Sebetulnya, dari sisi yang paling substantif, ada pertanyaan mendasar yang bisa diajukan. Selama ini, Gus Yahya selalu diminta bicara dalam ceramah internasional soal Islam yang damai. Soal bagaimana memberi solusi terhadap konflik antar agama di berbagai belahan dunia. Tapi Gus Yahya belum pernah mencoba menjembatani “konflik” antar keluarga, dan malah seakan akan dibiarkan demi jadi “komoditas” politik.
Benar langkah Gus Yahya menjauhkan PBNU dari ranah politik praktis. Karena selama ini PBNU seperti dimanfaatkan untuk mendorong “mobil”, tapi begitu “mobilnya” sudah jalan, warga NU ditinggal. Tetap saja masih melarat, terbelakang dan tidak mendapat akses memadai terhadap sumber sumber ekonomi.Begitu juga dalam hal pendidikan.
Tapi PKB sebagai “anak kandung” PBNU, secara logika politik juga tidak bisa dilepas begitu saja.Ada jejak historis yang tak bisa dinafikan. Bahwa PKB didirikan oleh pengurus PBNU, sebagai wujud dari desakan warga NU untuk menjadi wadah aspirasi politiknya. Fakta ini berbeda dengan Partai Amanat Nasional (PAN) yang menyasar ceruk warga Muhammadiyah, tapi sejak awal Pengurus Pusat Muhammadiyah bukan sebagai pendiri PAN.
Mungkin dengan kondisi di atas, sangat wajar jika publik umumnya dan warga NU khususnya berharap Gus Yahya, meski secara organisatoris sudah memutuskan untuk tidak melibatkan PBNU ke kancah politik praktis,tapi bisa mendamaikan “konflik” Cak Imin dan Mbak Yeni. Ini juga sekaligus pesan kepada warga NU, buat apa urusan dunia bikin pecah saudara?Toh mati juga tidak ditanya apa partaimu? Kira kira begitulah…