Ceknricek.com — Kaum radikal atau muslim garis keras kini tengah menjadi perbincangan. Sejumlah pejabat penting negeri ini mengingatkan pentingnya persatuan dan bahaya kelompok radikal. Terbaru adalah pernyataan Agum Gumelar. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) ini menyatakan tekadnya mengawal pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin sampai 2024. Menariknya, tokoh yang gagal menjadi wakil presiden pada 2004 ini bilang, jangan sampai dikuasai kekuatan radikal. Kita harus cegah, dan itu tugas kita semua.
Pernyataan Agum ini disampaikan di sela-sela acara syukuran dan halalbihalal salah satu organisasi relawan pendukung pasangan Jokowi-Maruf di Jakarta, Minggu (20/6). Agum seakan mengingatkan bahwa orang-orang yang masuk kategori radikal mesti dicegah masuk dalam pemerintahan.
Sumber: Kompas
Sebelum itu, wakil presiden terpilih, Maruf Amin, juga bicara tak jauh beda. Kiai sepuh ini bahkan membocorkan rencana pemerintah yang akan memasukkan pelajaran antiradikalisme di sekolah-sekolah. Bahkan tak hanya sekolah saja, Semua jalur, ujarnya, usai mengikuti halalbihalal yang digelar PWNU Jateng di Semarang pada 19 Juni lalu. Maruf menganggap kaum radikal menimbulkan kegaduhan.
Perang terhadap kaum radikal sedah menjadi rencana besar pemerintah Jokowi-Maruf Amin nantinya. Pada Jumat (21/6) Reuters menurunkan berita dalam kategori ekslusif dan Top News berjudul: Exclusive: After bruising election, Indonesia to vet public servants to identify Islamists. Secara bebas judul berita itu dapat diterjemahkan: Setelah babak belur dalam Pilpres, pemerintah akan melakukan litsus terhadap pegawai pemerintah yang terindikasi Islam radikal.
Sumber: Istimewa
Kantor berita ini mengaku mendapatkan dokumen dari seorang pejabat senior pemerintah. Pejabat tadi merupakan bagian dari 12 orang tim resmi yang akan bekerja di sebuah lembaga pemerintah yang akan mempromosikan nilai-nilai Pancasila. Tim itu terdiri dari pejabat dan ahli.
Tidak disebutkan siapa nama pejabat itu, namun dalam artikel tersebut Reuters juga mengutip pernyataan Romo Benny Susetyo salah seorang anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP).
Kini, tim sedang merumuskan kebijakan skrining baru terhadap para calon pejabat sampai level eselon dua. Tim ini akan memastikan bahwa para calon pejabat yang mempunyai kecenderungan pemikiran Islam radikal tidak akan dipromosikan.
Kebijakan itu akan diberlakukan mulai akhir tahun ini. Artinya tak lama setelah Jokowi dilantik untuk periode kedua pada bulan Oktober 2019. Ada 10 kementerian besar dan sejumlah BUMN yang para pejabatnya harus melewati program penelitian khusus (litsus). Kementerian yang akan ditargetkan sebagai prioritas termasuk Kementerian Keuangan, Pertahanan, Kesehatan, Pendidikan, Agama, dan Pekerjaan Umum.
Sedangkan BUMN yang menjadi prioritas adalah PLN, Pertamina, Garuda Indonesia, BRI, PT Antam, Timah, TVRI, dan LKBN Antara.
Tak hanya itu, Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga akan melakukan hal yang sama. Pansel akan melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) guna meninjau latar belakang calon-calon pimpinan KPK.
Sebelumnya juga muncul isu, KPK sudah kemasukan paham radikal. Lalu, sebagian warganet menuduh Novel Baswedan, Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah salah satu orang itu. Dalilnya, ia memelihara jenggot dan terkadang bercelana cingkrang.
Radikal Itu Baik
Terang saja Novel kaget bukan kepalang. Dia pun balik nampol dengan menyebut mereka sebagai kurang berwawasan. “Justru ketika seseorang mempunyai jenggot seperti saya kadang menggunakan celana yang sedikit sesuai dengan sunah Rasul, terus dipermasalahkan?” ujar Novel setengah bertanya, Kamis (20/6) lalu.
Sumber: Merdeka
Jika radikal memasukkan ciri-ciri bercelana cingkrang dan memelihara jenggot, maka bersiap-siaplah pada pegawai negeri dan karyawan BUMN yang berpenampilan seperti itu untuk kecewa. Soalnya, itu bermakna celana cingkrang dan jenggot bisa membikin karier mentok.
Nah, kini yang patut dipertanyakan adalah apakah benar kaum radikal itu amat buruk, membahayakan, dan patut dilawan serta disingkirkan jauh-jauh? Lalu, siapa sih sejatinya yang dimaksud kaum radikal itu?
Pertanyaan ini hadir karena seringkali orang-orang pintar yang jabatannya tinggi itu, bila mengucapkan sesuatu tanpa perlu memahami kata-kata apa yang keluar dari mulutnya. Mereka mengingatkan bahaya radikal, namun sudah benarkah pemahaman mereka tentang makna radikal? Sudahkah mereka sekadar googling mencari makna radikal?
Jika ditelaah dari asal kata, istilah radikal berasal dari kata radix (Bahasa Latin) yang artinya akar. Jika melongok Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI kata radikal memiliki tiga pengertian. Pertama, secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); kedua, amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); dan ketiga, maju dalam berpikir atau bertindak.
Pada pengertian KBBI tersebut, kata radikal baik-baik saja bahkan terpuji. Tidak memiliki pengertian yang negatif. Jadi mestinya tidak perlu ditakuti dan dibuat-buat buruk.
Asal tahu saja, dalam buku sejarah disebutkan penculikan Sukarno dan Hatta dilakukan oleh sekelompok anak muda radikal yang tidak setuju dengan kelompok tua. Radikal dalam kalimat itu bermakna baik. Tanpa orang radikal, kemerdekaan Indonesia rasanya tidak terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada era perjuangan kemerdekaan, kata radikal diartikan sangat terhormat, yakni kelompok yang progresif revolusioner.
Hanya saja, penggunaan kata radikal pada tahun 1800-an hingga 1966 kerap mengacu kepada kelompok Komunis, karena mereka betul-betul mengacu kepada akar pemikiran mereka, Karl Marx. Adapun para pengikut Sukarno yang berhalauan nasionalis juga disebut sebagai kaum radikal, radikal pada nasionalisme ala Sukarno (marhaenisme). Sangat jarang kelompok agamis seperti Masyumi disebut radikal, mereka lebih sering dijuluki kaum konservatif (bertumpu pada nilai-nilai luhur/agama).
Nah, rupanya kini ada pergeseran makna tentang radikal. Sekarang, di era pasca reformasi, kata radikal tidak lagi mengacu kepada kelompok kiri yang bisa dibilang terlarang. Kata radikal kini disematkan kepada kelompok agamis terutama umat Islam yang fanatik.
Novel rupanya mencoba berbaik sangka saja terhadap orang-orang yang menyebut dirinya radikal. “Kalau persepsinya adalah ternyata menangkap koruptor dan tidak kompromi dengan koruptor, saya ikhlas disebut radikal,” kata Novel Baswedan, mencoba mengembalikan istilah radikal pada jalur yang benar.
Sambungan Pilpres
Lalu, apa yang melatarbelakangi maraknya isu muslim radikal ini? Sebelumnya memang ada sejumlah survey yang menyebut-nyebut munculnya fenomena radikal di kalangan umat Islam. Survey itu rupanya yang bakal menjadi dasar perang terhadap kaum radikal.
Hanya saja, ada juga yang berpendapat isu muslim radikal sengaja diapungkan ke permukaan sebagai edisi bersambung Pilpres tentang perang total yang digaungkan Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan. Jokowi-Maruf memang sudah dinyatakan menang oleh KPU, namun para pendukung Prabowo-Sandi tak semua bisa menerima. Para pendukung 02 yang didukung ijtimak ulama ini sangat militan. Mereka kebanyakan adalah santri yang taat. Lagi pula, kemenangan Jokowi-Maruf sangat tipis. Ada 70-an juta pendukung Prabowo-Sandi yang menginginkan ganti presiden.
Sumber: Tempo
Para PNS dan karyawan BUMN banyak yang mendukung Prabowo-Sandi. Di kompleks-kompleks TNI 01 kalah. Sayangnya, untuk mengidentifikasi mereka secara tepat tentu saja sulit. Di sisi lain, mereka yang bercelana cingkrang dan berjenggot juga tersebar di banyak instansi pemerintah. Banyak pihak menduga mereka inilah yang bakal menjadi sasaran perang total itu.
KPK diisukan terpapar kaum radikal, oleh sementara orang, juga dikaitkan dengan Pilpres kemarin. Jika kita tilik kembali Pilpres lalu, sosok-sosok dari KPK memang kerap dianggap memiliki posisi yang berseberangan dengan pemerintahan Jokowi. Novel dan pendukungnya misalnya, beberapa kali menuding ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus penyiraman air keras beberapa tahun silam. Tudingan itu dilakukan di saat-saat genting menjelang pilpres sehingga membuat 01 merasa terganggu.
Penampilan berjenggot dan bercelana cingkrang hanyalah ekspresi keagamaan seseorang dan bentuk ekspresi ini juga harusnya dilindungi berdasarkan Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Mengidentifikasi seseorang sebagai muslim radikal karena berjenggot dan bercelana cingkrang jelas memang kurang wawasan.