Ceknricek.com — China memang terkesan ugal-ugalan. Sudah selayaknya jika Indonesia bersikap keras terhadap sikap seperti itu. Langkah pemerintah yang selama ini sebatas melayangkan nota protes bisa menjadi bahan ejekan saja. Tidak mempan. China akan terus mengulang mengirim kapal nelayan mereka ke perairan Natuna dengan dikawal coast guard-nya.
Lucunya, Indonesia mengambil langkah yang sama dan berharap hasil yang berbeda. “Kalau hari ini Dubes China mau mendengar kita dan bisa membujuk Beijing menarik semua coast guard-nya, tapi apakah ada jaminan bulan depan mereka tidak akan kembali?” ujar pakar kebijakan luar negeri dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Evan Laksmana, kepada BBC, Minggu (5/01).
Evan mendorong Indonesia meninjau ulang kerja sama dengan China. Selain itu, pemerintah Indonesia juga bisa memanggil pulang duta besar dari Beijing hingga China menarik seluruh kapal patrolinya dari perairan Natuna Utara. Dengan begitu, katanya, Indonesia punya posisi tawar yang bagus.

Kendati demikian, Evan mengatakan ada risiko yang mungkin saja terjadi dalam hubungan ekonomi kedua negara. Meskipun ia meyakini, China akan melunak sebab tak ingin kehilangan salah satu sumber pasarnya di wilayah Asia. “Kalaupun ada risiko dan China tetap berkeras, saya merasa situasi sekarang enggak terlalu solid. Jadi China tidak mau berisiko merusak hubungan dengan Indonesia di saat situasi domestik mereka sedang tidak bagus,” jelasnya.
Baca Juga: Konflik Natuna: Ujian Kabinet Baru
Tertekan
Apa yang dikatakan Evan Laksmana tidak mengada-ada. Pada saat ini China sedang susah. Pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu sedang tertekan akibat perang dagang dengan Amerika Serikat. Hanya 6%. Angka ini adalah yang terendah selama 27 tahun terakhir.

Perdagangan China mengarah pada perlambatan. Pertumbuhan ekspor pada bulan September tahun lalu, turun 3,2% (yoy). Impornya menurun hingga 8,5% (yoy). Tentunya, penurunan pertumbuhan ekspor terbesar terjadi dengan AS dengan penurunan sebesar 7,8% (yoy), dan impor menurun hingga sebesar 31,2% (yoy).
Baca Juga: Konflik Natuna: Menanti Pewaris Kertanagara

Jika ditelusuri lebih lanjut, pelemahan indikator perdagangan ini disebabkan pengenaan tarif tinggi oleh AS. Kondisi ini memaksa industri domestik China untuk mengencangkan ikat pinggang. Beberapa di antaranya memilih untuk melakukan diversi perdagangan (trade diversion), dengan relokasi pabrik serta basis produksinya ke beberapa negara sekitar seperti India, Vietnam, Thailand dan Malaysia demi tetap masuk ke pasar AS. Alasan lainnya, kini upah buruh di China tidak lagi semurah dulu dan negara berkembang ASEAN masih menawarkan keuntungan komparatif ini.
China juga mengalami inflasi sebesar 3% (yoy), tertinggi selama 7 tahun terakhir. Harga pangan menjadi penyumbang terbesar dari inflasi. Meningkatnya harga pangan didominasi oleh krisis daging babi yang disebabkan oleh flu babi Afrika menjangkit setengah dari populasi babi di China. Selain pangan, kenaikan harga juga dialami oleh harga pakaian.
Baca Juga: Batu Bara, Tergantung China

Mencermati kondisi ini, wajar jika Evan berasumsi kalau kita berani ambil sedikit risiko, China akan lebih rela mundur dibanding merusak hubungan dengan Indonesia dan Asia Tenggara. “Jadi ini semua tergantung niat pemerintah Jokowi untuk ambil risiko dan ini yang kita belum lihat selama ini,” ujarnya.
BACA JUGA: Cek BIOGRAFI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini