Surat terbuka kepada Bapak Presiden Prabowo (Bagian Pertama)
Ceknricek.com–Naluri kemanusiaan saya menjadi terusik ketika melihat dan mendengar seorang Budi Gunadi Sadikin (BGS) yang kebetulan sedang jadi menkes, dalam sebuah video TikTok yang beredar awal 2023 lalu dan menjadi viral (TikTok-@drtonysetiobudi). BGS jelas menyatakan adanya perbedaan kasta antara dokter dan perawat. Di bagian akhir video tersebut BGS bahkan berkata “(di Indonesia) perawat itu ‘pesuruh’, hampir mirip dengan ‘pembantu’ (Asisten Rumah Tangga). Sedangkan di luar negeri, perawat dan dokter itu sama kastanya, bekerja dalam sebuah tim,” demikian bunyi pernyataan BGS.
Perjalanan hidup selama 40 tahun, mulai masa pendidikan sampai berkarir sebagai praktisi medis telah memberi saya pengalaman berinteraksi langsung dengan para dokter dan banyak perawat serta profesi lain di bidang kesehatan, baik di Indonesia dan di luar negeri. Dari situlah saya memahami makna sebuah ‘interprofessional collaboration’ yang bertumbuh sejak masa pendidikan, dan berujung pada kerja-sama kemitraan dan saling menghargai, demi memberikan yang terbaik buat pasien (Patient Oriented Collaboration).
Sejak masuk abad 21, para perawat lulusan Akademi/D3 secara pelan tapi pasti digantikan oleh mereka yang berpendidikan S1 ditambah pendidikan profesi Ners, setara dengan para dokter lulusan dari Fakultas Kedokteran. Bahkan di institusi pendidikan tidak sedikit yang jenjang pendidikannya setara S2 atau bahkan S3. Di banyak Universitas, prodi keperawatan, prodi gizi (Dietisien), prodi Farmasi, dan prodi Dokter, semuanya ada di fakultas yang sama.
Sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa saat ini negara (baca: menkes) belum bisa memberikan penghargaan finansial yang pantas dan layak kepada para guru, perawat, dan nakes lainnya. Jadi perbedaan kasta sesungguhnya lebih pada jaminan kesejahteraan yang belum setara. Betapa mirisnya kita kalau melihat banyaknya guru dan perawat di daerah yang bahkan harus demo dan mogok makan demi menuntut hak untuk bisa hidup layak setara para buruh (bukan profesi) dengan UMR nya. Maraknya tuntutan untuk memperoleh hak kesejahteraan para perawat dan dokter yang terjadi tiap tahun dan terus berulang ini memperlihatkan bahwa menkes buta dan tuli, bahkan bebal, kalaupun tidak dikatakan sebagai melanggar HAM.
Narasi Bohong menkes terkait Janji Kesejahteraan Dokter dan Nakes di Daerah
Ratusan tenaga kesehatan dipecat usai demo menuntut kenaikan gaji, demikian headline berita di DetikHealth, hari Jum’at 12 April 2024, tepat hari kedua setelah hari raya Idul Fitri 1445 H lalu (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7289630/ratusan-nakes-di-ntt-dipecat-usai-demo-kemenkes-buka-suara). Aksi unjuk rasa sekitar 300 nakes tersebut dilakukan di Kantor Bupati Manggarai, NTT, untuk menuntut perpanjangan Surat Perintah Kerja (SPK) dan meminta kenaikan gaji agar setara Upah Minimum Kabupaten (UMK).
Yang paling menyedihkan terkait peristiwa ini bukan soal pemecatan tersebut tapi komentar sang menteri yang selalu mengumbar janji untuk memperbaiki kesejahteraan tenaga kesehatan. “Ini merupakan kewenangan daerah terkait pengangkatan nakes karena tergantung kebutuhan, prioritas, dan ketersediaan anggaran,“ demikian kata kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes.
Awal Januari tahun lalu, RSUD Chasan Boesoirie di Ternate, Maluku Utara tidak bisa memenuhi hak Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) selama 15 bulan untuk 700 Nakes ASN, 200 Nakes Non-ASN, serta 20 dokter kontrak (https://indotimur.com/kesehatan/). Awal Juli 2023 lalu, Dokter Spesialis dan Nakes di RSUD Namlea, Pulau Buru menyatakan mogok kerja karena TPP nya tidak dibayarkan selama 11 bulan (https://trans7/official/redaksi). Berikutnya menyusul demo para dokter spesialis RSUD Jayapura, RSUD Abepura, dan RSJ Abepura terkait penerimaan TPP yang tidak sesuai dengan Pergub (https://www.kompas.tv/regional/438591).
Persoalan tentang nakes yang dipaksa kerja rodi, dengan hak kesejahteraan yang diabaikan adalah sebuah ‘Fenomena Gunung Es’. Dengan otonomi daerah, kesehatan termasuk bidang yang diotonomikan, tapi faktanya menkes tidak pernah sekalipun melibatkan Pemda dan bahkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam penyusunan, pembahasan, bahkan sampai pengesahan UU 17/2023 (kesaksian dari Melki Laka Lena, wakil Ketua Komisi IX, dalam sidang Uji Formil UU 17/2023 di Mahkamah Konstitusi, 11/1/2024).
Dalam forum Meridian, Forum Alumni FKKMK UGM Desember ’22, dihadapan para akademisi dan pejabat teras UGM (https://youtube.com/watch?v=NFc–9dgWQ0&feature=share), menkes berjanji akan bisa memaksa pemda (dengan mengunci DAU) untuk menggaji dokter spesialis setidaknya 25 juta/ bulan, bahkan sampai 50 juta/ bulan untuk daerah terpencil. Ucapan seorang pejabat publik di depan para Akademisi ini bak sebuah janji. Artinya, menkes harus bertanggung-jawab terkait nasib, kesejahteraan, dan jenjang karir Dokter dan Nakes di daerah.
Pemda tidak bisa disalahkan karena tidak satupun pasal atau ayat dalam UU 17/2023 yang mengatur perubahan otonomi daerah terkait kesejahteraan dan jenjang karir dokter dan nakes di daerah. Jawaban menkes lewat Ka Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik terkait kasus pemecatan 300 Nakes di Manggarai, menggambarkan sebuah upaya untuk lepas dari tanggung-jawab, yang dalam Budaya Jawa disebut sebagai ‘Tinggal Glanggang Colong Playu’, lawan kata dari Sikap Ksatria. Jejak digital janji menkes tersebut dan upaya menkes untuk berkelit dan bahkan menyalahkan Pemda merupakan bukti nyata sebuah Kebohongan Publik menkes. Kalau kepada ratusan Akademisi UGM saja menkes tega untuk berbohong, apalagi kepada rakyat biasa yang berharap hak-hak kesehatannya terpenuhi.
Kebohongan menkes terkait hilangnya Mandatory Spending Kesehatan (MSK) dalam UU 17/2023
Salah satu bentuk tanggung jawab negara dalam rangka mewujudkan tugas konstitusi seperti tertuang pada pasal 34 ayat 3 UUD ’45 adalah Mandatory Spending Kesehatan (MSK) yang merupakan besaran anggaran kesehatan yang dalam UU No.9-2009 pasal 171 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan sebesar minimal 5% dari APBN dan minimal 10% dari APBD, diluar gaji. (https://data-apbn.kemenkeu.go.id). Keharusan adanya MSK ini bahkan dipertegas dalam tap MPR nomor 10-2001.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam Deklarasi Abuja, menganjurkan budget allocation for health (MSK) ini berkisar 5,5% untuk negara low income, 6,8% untuk negara middle income, dan 8,8% untuk negara high income. Alokasi MSK di sebuah negara akan menentukan pencapaian program pelayanan kesehatan dan berkorelasi positif dengan Usia Harapan Hidup dan angka Human Development Index (HDI) di negara tersebut (Maldives dengan MSK 9,5% usia harapan hidupnya 79,3 tahun, Thailand dengan MSK 7,7% usia harapan hidupnya 75,3 tahun, dan Bhutan dengan MSK 5,7% usia harapan hidupnya 72,2 tahun). Dalam diskusi Forkom IDI, Minggu 21/5/2023, menurut Prof Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, Guru Besar FKM UI, Total Belanja Kesehatan Indonesia (setelah dikoreksi dengan Purchasing Power Parity) tahun 2000-2018 berada pada posisi terbawah ($350), separuh dari Vietnam dan Thailand ($700), dan jauh di bawah China ($900) dan Malaysia ($1200).
Dalam pertemuan Penguatan Program dan Strategi Transformasi SDM Kesehatan di Jawa Tengah pada Jumat 22/7/2022, Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan telah berkoordinasi dengan Kemendagri untuk mewajibkan 514 Kabupaten/ Kota mengalokasikan 10% dari APBD untuk Kesehatan berdasarkan undang-undang. “10% ini harus direalisasikan dengan baik termasuk untuk peningkatan dan pemerataan tenaga kesehatan” kata Menkes (https://sehatnegeriku.kemkes.go.id).
Tapi, tidak lama kemudian, menkes malah menghapuskan anggaran wajib kesehatan atau MSK ini sebagaimana UU17/2023. Salah satu alasan yang dikemukakan menkes terkait penghapusan MSK ini adalah: “Tidak ada data dari satupun negara yang membuktikan besarnya pengeluaran di bidang Kesehatan akan berpengaruh pada derajat kesehatan seseorang, jadi Indonesia jangan meniru negara lain yang sudah membuang uang atau anggaran terlalu banyak di bidang kesehatan” (https://nasional.kompas.com/read/2023/07/11/20473341/anggaran-wajib-kesehatan-dihapus-menkes-janghan-tiru-negara-lain-buang-uang).
Pernyataan menkes ini jelas bertentangan (dalam Bahasa Jawa ‘mencla-mencle’) dengan pernyataan sebelumnya pada acara Penguatan Program dan Strategi Transformasi SDM Kesehatan di Jawa Tengah pada Jum’at 22/7/2022. Yang tampak lebih janggal dan aneh (karena menggambarkan kepribadian Bipolar dan kekanak-kanakan) adalah curhat menkes baru-baru ini (setelah UU 17/2023 disahkan): ”Kenapa Anggaran Pendidikan Lebih Besar dari Kesehatan ?” (https://www.cnnindinesia.com/nasional/20240904194702-20-1141082/curhat-menkes-kenapa-anggaran-pendidikan-lebih-besar-dari-kesehatan). Padahal dia sendirilah yang telah dengan sewenang-wenang menghapuskan anggaran wajib kesehatan (MSK).
Semua pernyataan yang saling bertolak belakang seperti tersebut di atas, muncul dari mulut seorang menkes yang sama. Sebagai seorang pejabat publik, seharusnya penunjukannya selaku menteri harus didahului oleh pemeriksaan kesehatan kejiwaan yang betul-betul komprehensif sehingga Presiden tidak sampai salah memilih orang yang perkataannya tidak bisa dipercaya karena berubah seiring waktu yang berbeda.
Kebohongan menkes terkait Carut-Marutnya Distribusi Dokter
Dalam banyak kesempatan, menkes terlalu sering menarasikan tentang Jumlah Dokter Spesialis yang memang kurang sehingga berakibat banyak daerah yang tidak atau belum punya dokter spesialis. Menkes bahkan terang-terangan menuduh Organisasi Profesi Dokter atau IDI sebagai Biang Kerok dari sulitnya menempatkan dokter spesialis di banyak daerah, khususnya daerah 3 T (terluar, termiskin, dan terpencil) (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6540887/menkes-buka-bukaan-soal-izin-praktik-dokter-setoran-hingga-abuse-of-power?).
Kegagalan lain terkait distribusi nakes adalah tidak tercapainya pemenuhan tenaga kesehatan sesuai standar untuk puskesmas yang hanya mencapai 56% dari target sebanyak 83% jumlah puskesmas berdasarkan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 (https://katadata.co.id/yuliawati/berita/647dba44ad349).
Benarkah kegagalan ini disebabkan oleh kesulitan memperoleh rekomendasi IDI? Atau disebabkan adanya keengganan nakes untuk ditempatkan di daerah terpencil dikarenakan hak-hak kemanusiaan yang sering terabaikan dan menkes hanya bisa berkelit dengan mempersalahkan Pemda setempat (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7289630/ratusan-nakes-di-ntt-dipecat-usai-demo-kemenkes-buka-suara).
Persoalan kronik dan krusial terkait layanan kesehatan di negeri ini adalah maldistribusi dokter dan dokter spesialis. Rasio dokter di DKI saat ini 1:680 tetapi di Sulawesi Barat rasionya 1: 10.417, jadi diskrepansinya lebih dari 15 kali lipat. Untuk dokter spesialis rasionya 52/ 100.000 di DKI dan 7/100.000 di Papua dan Maluku, diskrepansinya lebih dari 8 kali lipat. Secara keseluruhan, 30 dari 38 provinsi masih kekurangan dokter spesialis. Bahkan saat ini dari 514 RSUD kabupaten/ Kota, ada 34% yang belum terpenuhi keharusan memiliki 7 Spesialis Dasar dan Penunjang, padahal program ini sudah berjalan lebih dari 20 tahun.
Pernyataan menkes bahwa Pemerintah tidak memiliki kewenangan dalam distribusi dokter adalah sebuah kebohongan yang nyata dan bertujuan untuk mendiskreditkan organisasi profesi Dokter dan Nakes. UU No. 36/2014, pasal 13 dan pasal 25 menyatakan bahwa “Distribusi Dokter dan Nakes berada di tangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah”, bukan Organisasi Profesi atau IDI. Bahkan dalam Raker dengan Komisi IX DPR RI, Selasa 24 Jan.2023, menkes jelas-jelas menuduh dan menyalahkan IDI sebagai ‘Biang Kerok’ kurangnya produksi dokter dan kegagalan distribusi dokter (DetikHealth, Minggu 29 Jan.2023).
Bagi kita yang memahami masalah, ini adalah potret dari sebuah Stupid Leadership di kemenkes dan kegagalan menkes dalam membuat perencanaan dan pemetaan tentang kebutuhan dokter di Indonesia. Tuduhan dan fitnah tanpa bukti menkes pada Organisasi Profesi Dokter dan Nakes ini ibarat ‘Menepuk Air di Dulang, Terpercik Muka Sendiri’.
Sejumlah kebohongan dan omongan yang tidak konsisten (jawa: mencla-mencle) seorang menkes terkait banyak hal yang menjadi tanggungjawab alias tupoksinya telah sebagian dijelaskan secara gamblang dalam tulisan ini. Semoga informasi yang valid dengan segala bukti berupa jejak digital yang bisa diulik dan dibaca oleh siapapun ini, bisa dijadikan landasan bagi bapak Presiden untuk tidak memperpanjang jabatan menkes pada seorang pejabat publik yang suka berbohong, toksik, dan merusak ini. Semoga Allah memberikan kekuatan lahir dan batin kepada Presiden Prabowo untuk untuk menyelamatkan negeri ini, Amin Ya Robbal Alamin.
#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Dokter dan Guru Besar FK Universitas Diponegoro