Ceknricek.com — Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia atau DDII, disebut juga Dewan Dakwah, boleh dibilang semacam induk bagi Partai Bulan Bintang (PBB). DDII-lah yang ikut melahirkan partai ini. Bahkan yang mendudukkan Yusril Ihza Mahendra sebagai Ketua Umum PBB untuk pertama kalinya adalah Ketua DDII, Anwar Harjono. Lalu, siapa sejatinya Dewan Dakwah itu?
Sore itu, Rabu 7 Februari 2018, ruangan aula rapat di kompleks Masjid Al-Furqon Jalan Kramat Raya No. 45 Jakarta Pusat, lumayan ramai. Di sana, tampak Kepala Kepolisian Jenderal Pol Tito Karnavian berbicara serius di depan sejumlah tokoh yang tampak khusuk menyimak. Tito tampil bak santri. Berbaju koko warna putih, bercelana hitam, serta berpeci.
Sumber : Tribratanews.com
Beberapa hari sebelumnya, sempat viral video tentang pernyataan Kapolri yang menyebut hanya NU dan Muhammadiyah yang berperan dalam proses berdirinya Indonesia di masa lalu. Ormas Islam lain, disebut Tito, justru kerap berupaya meruntuhkan NKRI. Rupanya, pernyataan sang Jenderal mengundang polemik di tengah kaum pergerakan Islam. Dewan Dakwah salah satu yang mengkritisi Tito. Nah, lantaran itu, pada hari itu kapolri mencoba menyampaikan klarifikasi.
Tito bersama rombongan dari Mabes Polri dan Polres Jakarta Pusat mendatangi gedung DDII. Di sini mereka bertemu perwakilan 12 ormas Islam yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI).
Ormas itu antara lain Al-Ittihadiyah, Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Islam (Persis), Mathla’ul Anwar, Wahdah Islamiyah, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Ikatan Da’i Indonesia (IKADI) Persatuan Tarbiyah Islam (Perti), dan Syarikat Islam (SI).
Masjid Al-Furqon.Sumber : Wikimedia
Namun bukan soal video yang viral itu yang akan diulas dalam tulisan ini. Pilihan Tito atas tempat bertemu dengan para pimpinan ormas Islam tersebut tentu bukan suatu kebetulan. Tempat itu adalah sekretariat DDII dan markas Partai Islam Masyumi sebelum DDII lahir.
“Saya pribadi jujur saja memang belum terlalu dekat dengan Dewan Dakwah, secara personal. Semenjak menjadi kapolri belum pernah ke DDII,” ungkap Kapolri, kala itu.
Hanya saja, Tito bercerita bahwa bagi dirinya, DDII bukan barang baru. Pada tahun 1987, setamat Akpol Semarang, ada 10 orang yang ditempatkan di Jakarta, termasuk dirinya. “Saya satu-satunya yang ditugaskan di Jakpus. Dari tahun 1987 hingga 1992 tidur di kantor,” katanya. “Saya tidur di kantor karena bujangan, dan sering salat di sini. Tapi saya kenalnya ini Masjid Al Furqon, dan tidak menyadari bahwa ini DDII. Setiap salat Jumat di sini, selama lima tahun,” jelasnya. Kantor Polres Jakarta Pusat berada tidak jauh dari Masjid Al-Furqon. Itu sebabnya Tito mengaku, juga kerap salat Tarawih di masjid ini.
Kepanjangan dari Masyumi
Jika dilihat dari Jalan Kramat Raya, bangunan itu memang tampak sebagai masjid yang utuh. Padahal di dalam, ada sekretariat banyak organisasi, termasuk toko buku dan penerbit, bahkan biro perjalanan haji dan umrah.
Dari tempat inilah Dr. Mohammad Natsir, eks Perdana Menteri RI, berdakwah, setelah dirinya dilarang berpolitik oleh rezim Orde Baru. Sebelumnya, tempat ini adalah markas Partai Masyumi.
Masyumi.Sumber : Nusantaranews
Banyak orang berasumsi DDII adalah pengganti Masyumi yang gagal direhabilitasi. Soalnya, tokoh-tokoh DDII adalah tokoh-tokoh Masyumi juga. Thohir Luth dalam buku M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya(1999) menegaskan, bahwa asumsi orang tentang hubungan Masyumi dengan DDII itu tidak sepenuhnya salah, karena perjuangan Islam melalui DDII masih berakar pada semangat Masyumi, sungguh pun teknik operasionalnya berbeda.
DDII didirikan pada 26 Februari 1967. Lembaga ini lahir dari sebuah kesepakan yang dihasilkan oleh beberapa alim ulama di Jakarta pada pertemuan halal bihalal pada tahun tersebut.
Tokoh pendirinya antara lain M. Natsir, HM. Rasyidi, KH. Taufiqurahman, Haji Mansyur Daud Datuk Palimo Kayo, dan Haji Nawawi Duski. Mereka memutuskan mendirikan DDII setelah mereka menimbang bahwa perkembangan agama Islam, pasca G30S/PKI, cukup memprihatinkan. Dakwah Islam yang dilakukan, baik perorangan maupun lembaga organisasi keagamaan dinilai berjalan sporadis, kurang koordinasi dan terlalu konvensional.
Pada periode pertama DDII dipimpin oleh M. Natsir sebagai ketua dan H.M. Rasyidi sebagai wakilnya. Sekretaris I dan ll masing masing HA Buchari Taman dan H. Nawawi Duski, sedangkan bendahara H. Hasan Basri, dengan beberapa anggola yaitu, H. Abdul Malik Ahmad, Prawoto Mangkusasmito, H. Mansur Daud Datuk Palimo Kayo, Osman Raliby, dan Abdul Hamid.
Kepengurusan ini sampai pada usia DDll yang kedua puluh tahun tidak mengalami perubahan kecuali penambahan dua wakil ketua, yaitu H. Muhammad Yunan Nasution dan Anwar Harjono. Sedangkan anggotanya mengalami penciutan menjadi empat orang yaitu H. Abdul Malik Ahmad, Burhanuddin Harahap, Osman Raliby, dan Mas’ud Lutfi.
Sumber : Stidnatsir
Lembaga ini menjadi wadah gerakan dakwah yang dikembangkan oleh M. Natsir dengan prinsip musyawarah. Gerakan dakwah yang dilaksanakan tidak hanya ditujukan kepada masyarakat kota saja, melainkan juga masyarakat pedesaan. DDII melakukan kegiatan yang sangat esensial bagi kemajuan gerakan dakwah dengan melalui pembangunan masjid, pengiriman dai ke daerah pedesaan, pendalaman, dan transmigrasi.
Para dai umumnya direkrut dari masyarakat desa sendiri, mereka dididik dan dilatih, dibekali dengan berbagai ilmu dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas di lapangan.
Da’wah Bi Al-Kitabah
M. Natsir merancang da’wah bi al-kitabah, yaitu dakwah melalui tulisan-tulisan yang diorganisir oleh DDII mulai dari buletin, majalah, hingga buku-buku. Buletin Dakwah DDII terbit setiap Jumat didistribusikan ke ke masjid-masjid. Buletin itu hanya berupa selembar kertas ukuran kwarto yang dilipat. Isinya, berupa khotbah Jumat.
Terkadang, para khatib Jumat di masjid-masjid di pelosok tanah air menyampaikan khutbah dengan materi yang seragam. Itu karena materi khutbah disiapkan dan didistribusikan dari Jln. Kramat Raya 45 Jakarta.
Da’wah M.Natsir. Sumber : Istimewa
DDII juga menerbitkan serial Media Dakwah yang diterbitkan sebagai konsumsi golongan terpelajar dan menengah. Ada juga majalah Suara Masjid yang isinya lebih difokuskan untuk konsumsi mayarakat awam yang berkenaan tentang tafsir, hadits, dan lain-lain. Lalu, Serial Khutbah Jum’at yang memuat bahan-bahan khutbah Jumat untuk para dai dan masyarakat luas.
Selain itu ada majalah Sahabat, bacaan agama dan bimbingan untuk anak-anak dalam membentuk anak saleh dan Tabloid As-Salam yang isinya menyangkut persoalan keagamaan dan laporan kegiatan sosial keagamaan.
Lewat DDII inilah M. Natsir menjadi terkenal, baik di kancah nasional maupun di kancah Internasional. Herry Mohammad dalam buku Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, (2008) menyebut lewat DDII M. Natsir menduduki jabatan di berbagai organisasi Islam dunia, seperti World Muslim Congress, Rabitah Alam Islamy, anggota Dewan Masjid Sedunia, dan lainnya.
M.Natsir.Sumber : Istimewa
“Natsir mendidik calon-calon juru dakwah, dan mengirimkannya ke seluruh pelosok Indonesia. Ratusan masjid dan ribuan ustad telah dikadernya. Dan semangatnya hanya satu, api Islam tak boleh padam,” tulis Herry.
Pada tingkat internasional, DDII antara lain menjadi anggota pada Al-Haiah Al-’ulya Littansik Al-Munazhomat Al-Islamiyah yang berpusat di Makkah Al-Mukaramah, International Islamic Council for Da’wah and Relief (IICDR). Sedangkan pada tingkat regional menjadi anggota Regional Islamic Da’wah Council of Southest Asia and the Pacific (RISEAP) yang berpusat di Kuala Lumpur.
Rasional dan Empiris
Dalam sebuah wawancara, Natsir mengatakan, “Dulu, kita berdakwah lewal politik, tapi sekarang kita berpolitik lewat dakwah.” Mantan Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda dalam sebuah artikel, Perginya Seorang Bapak Negeri menyebut DDII dikenal luas sebagai organisasi dakwah yang paling responsif terhadap kebijakan-kebijakan penguasa yang ’merugikan’ umal Islam.
Para pendiri DDll tampaknya belajar dari pengalaman masa lalu ketika masih jayanya Masyumi sebagai partai politik Islam terbesar saat itu. Banyak sekali kendala yang dijumpai ketika memimpin Masyumi, bahkan partai yang satu ini sering bersinggungan dengan penguasa. Luka lama itu akhirnya diobati dengan sebuah resep baru yang memakai dakwah Islam.
DDll menjadi pilihan tepat sebagai tempat berjuang di zaman Orde Baru dengan semangat keagamaan yang baru pula. Walaupun demikian, DDll dalam perkembangan dakwahnya terus mengikuti perkembangan politik yang terjadi di Tanah Air maupun di luar negeri. Kadangkala DDII melakukan kontrol politis, lalu sebagian orang menghubungkannya dengan Masyumi. Bahkan, kehadiran DDII dicurigai sebagai Masyumi yang berbaju dakwah atau politik yang dipoles dengan dakwah Islam.
Asumsi yang sering muncul berkaitan dengan kiprah dan pola gerakan yang dikembangkan ialah adanya persambungan antara DDll dengan semangat kemasyumian. DDII memang memiliki gaya dan semangat yang sama dengan gerakan yang pernah dikembangkan oleh Persis dan Masyumi.
Sumber : Istimewa
Terlepas dari adanya kesan kalangan luar yang mencoba mengaitkan antara independensi DDll dan warisan Masyumi, para pendiri telah mencoba menanamkan doktrin DDIl. Dalam dokumen yayasan dikatakan bahwa DDII didirikan atas dasar takwa keridhaan Allah. Refleksi dari landasan yang demikian tampak pada keinginan yang kuat agar keislaman dapal menyebar “di mana-mana” dalam sistem kehidupan masyarakat, sekaligus memurnikan tradisi keislaman yang dianggap ternodai oleh nilai nilai non-lslam.
Sewaktu diajukan RUU Perkawinan, dan RUU Peradilan Agama, Dewan Dakwah aktif sekali memberi masukan dan melobi pihak-pihak tertentu. Demikian pula sinyalemen tentang usaha gencar pemurtadan.
Sepeninggal M. Natsir (1908-1993), DDII tetap berkembang hingga kini. Ketua DDII Pasca M. Natsir diteruskan oleh Anwar Harjono. Menurut Thohir, dari segi pembinaan intern umat, DDII telah membuktikan amal nyata atau dakwah bil hal.
Kepemimpinan M. Natsir dalam menakhodai DDII pada awalnya berdasarkan pada kharisma. Namun, ketika sudah menjadi gerakan yang menasional, terjadilah rutinisasi kharisma tersebut. Rutinisasi ini dalam DDII menjadikan organisasi tersebut lebih modern, yaitu bersandarkan pada fakta-fakta yang rasional dan empiris.