Ceknricek.com — Tepat pada tanggal hari ini, 72 tahun yang lalu, 11 September 1947, Indonesia kehilangan salah seorang perempuan terbaiknya, Dewi Sartika.
Perempuan pendidik dari tanah Priangan ini selama hidupnya telah memberikan terobosan baru di era kolonial dengan mendirikan sekolah dan pendidikan bagi kaum perempuan.
Masa Kecil
Dewi Sartika lahir di Cicalengka, Bandung, Jawa Barat pada 4 Desember 1884. Ayahnya, Raden Somanagara adalah Patih Bandung. Ibunya, Rajapermas adalah putri Bupati Bandung, saat itu, R.A.A. Wiranatakusumah IV.
Status Uwi -nama kecil Dewi Sartika- merupakan salah satu golongan priyayi di Bandung. Ayahnya, Raden Somanaraga adalah orang yang untuk kali pertama menyekolahkan putra-putrinya.
Uwi sempat bersekolah di Eerste Klasse School sampai kelas dua. Pada Juli 1893, Raden Somanagara diasingkan ke Ternate oleh pemerintah kolonial. Ia dituduh terlibat dalam sabotase acara pacuan kuda di Tegallega untuk mencelakai bupati Bandung yang baru, R.A.A. Martanegara.
Sepeninggal ayahnya, Uwi kemudian dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka.

Baca Juga: Kartini, Sosok Benderang yang Melintasi Sejarah
Di rumah inilah ia menyadari posisi perempuan selalu diabaikan dan dianggap sebagai pelengkap rumah tangga dan adat belaka. Kedudukan perempuan selalu dibelakangkan daripada lelaki. Dalam keluarga tersebut, anak-anak laki-laki selalu memperoleh pendidikan layak. Sementara perempuan dianggap cukup diajari keterampilan rumah tangga saja.
Uwi yang menyadari hal ini dan berdasarkan pengalamannya sendiri, melihat ibunya yang tak kuasa menyelamatkan keluarga yang pecah ketika ayahnya diasingkan. Ia menyadari, ada satu hal yang harus diperbaiki, yakni kecakapan membaca dan menulis di samping pengetahuan kewanitaan umum dan lainnya.
Mendirikan Sekolah Perempuan
Tak lama setelah berjuang menyuarakan pendapatnya, akhirnya dengan bantuan dari Bupati Bandung, maka pada tahun 1904 Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”.

Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung.
Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang seluruhnya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama.

Berkat dukungan dari suaminya, Raden Agah Suriawinata yang juga seorang pendidik, Sekolah Isteri berkembang cukup pesat. Setelah delapan tahun berjalan, sekolah ini telah memiliki sembilan cabang di Priangan.
Baca Juga: 4 Pahlawan Wanita yang Jadi Inspirasi Sepanjang Masa

Berkat kerja kerasnya tersebut tak heran jka pemerintah kolonial pun kerap memperhatikan pendapat-pendapat Dewi Sartika tentang perbaikan kondisi perempuan. Terlebih pada saat itu politik etis sedang diberlakukan.
Penghargaan
Pada 1929, tatkala mengadakan peringatan pendirian yang ke-25, sekolah ini berganti nama menjadi “Sekolah Raden Dewi”.
Baca Juga: Biografi Martha Tilaar: Pengusaha Kosmetik Terkemuka Indonesia
Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa medali Orde van Oranje-Nassau oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Lewat aktivismenya menghidupi kaum perempuan, ada salah satu kata-kata yang cukup terkenal di kalangan masyarakat sunda; “Ieu barudak, ari jadi awewe kudu sagala bisa, ambeh bisa hirup!”
Apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia maksudnya kira-kira seperti ini: Anak-anak, sebagai perempuan, kalian harus memiliki banyak kecakapan agar mampu hidup!
BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.