Ceknricek.com — Aroma “perselingkuhan” menyeruak dalam kasus pemberhentian Helmy Yahya sebagai Direktur Utama TVRI oleh Dewan Pengawas (Dewas). Sinyalemen ini setidaknya disampaikan kuasa hukum Helmy Yahya, Chandra M. Hamzah, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (17/1).
Pengacara yang juga merupakan mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu melihat beberapa kejanggalan dalam surat No. 8/Dewas/TVRI/2020, yang memberhentikan kliennya sebagai Dirut TVRI, tanggal 16 Januari 2010
Chandra mempertanyakan pengangkatan pelaksana tugas harian Dirut TVRI yang menggantikan Helmy. Menurut dia, tak ada satu peraturan pun yang memberi kewenangan pada Dewas untuk mengangkat plt dirut. Sepanjang yang dia tahu, Dewas hanya berwenang mengangkat dan memberhentikan direksi.

Di mata Chandra, pemberhentian Helmy juga memunculkan kontradiksi, karena diiringi kalimat “pemberhentian dengan hormat”. Kalimat itu, menurut dia, menimbulkan pertanyaan, karena tidak dikenal dalam budaya TVRI. Jika memang diberhentikan dengan hormat, artinya tidak ada kesalahan yang dilakukan kliennya.
Chandra juga menggarisbawahi pernyataan Muhammad Farhan, anggota Komisi I DPR yang menjadi mitra TVRI di parlemen, bahwa perselisihan Dewas dengan Dewan Direksi sebenarnya tak perlu diselesaikan dengan pemecatan. Atas pertimbangan-pertimbangan itu, Chandra sedang menyiapkan langkah-langkah hukum, yang akan ia sampaikan dalam waktu dekat.
Suara Komisi I
Pemberhentian Helmy Yahya memang terbilang cepat dan mengejutkan. Padahal, menurut Farhan, Komisi I DPR sebenarnya sudah menjadwalkan rapat dengan Dewas TVRI mengenai posisi Helmy.
“Rencananya (rapat), Selasa tanggal 21 Januari. Tujuannya untuk mengetahui update kasus ini. Tetapi Dewan Pengawas malah langsung mengeluarkan pemberhentian, tanpa konsultasi dengan DPR-RI. Padahal dalam pertemuan informal terakhir, semua pihak sepakat menyelesaikan secara baik-baik dan tidak berujung pemberhentian,” kata dia.
Politikus asal NasDem itu menyesalkan pemberhentian Helmy yang diputuskan Dewas tanpa mengindahkan mediasi Menkominfo dan konsultasi dengan Komisi I DPR RI.
“Dewan Pengawas sepertinya tidak mengindahkan hasil pertemuan dan mediasi oleh Menkominfo dan Komisi I. Padahal di atas masalah konflik Dewas vs Direksi ini ada dua hal yang lebih penting, yaitu selamatkan LPP TVRI dan jaga semangat karyawan TVRI untuk tetap bekerja. Intinya kita semua harus fokus pada satu hal, yaitu save TVRI,” ujar Farhan.
Mediasi Menkominfo
Saat mediasi di kantor Kemenkominfo, 6 Desember 2019, Menkominfo Johny G. Plate meminta Direksi dan Dewas TVRI menjalankan hak dan kewajiban masing-masing sesuai peraturan yang berlaku.
Merujuk PP Nomor 13 Tahun 2005, Menkominfo mengatakan Dewas diberi kewenangan untuk memberhentikan direksi dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Sebaliknya, Direksi TVRI juga mempunyai hak yang diatur dalam PP tersebut, untuk melakukan pembelaan diri secara detail yang sudah diatur jadwalnya.
Baca Juga: Pengacara Helmy Yahya Mempertanyakan Pengangkatan Plt Dirut TVRI
Menkominfo memberi kesempatan kepada Helmy melakukan pembelaan sampai tanggal 4 Januari 2020, untuk mengumpulkan data dan bukti sebagai pembelaan diri. Selama rencana pemberhentian masih dalam proses, anggota dewan direksi masih bertugas.
Kepada Dewas, Menkominfo memberi waktu dua bulan untuk memberikan keputusan dari hasil pembelaan Dirut TVRI, hingga 4 Maret 2020. Jika dalam masa tenggat itu tidak ada keputusan Dewas, maka Helmy Yahya tetap menjadi Dirut TVRI.

Dewas ternyata bekerja ekstra cepat. Belum lagi batas waktu, 4 Maret 2020 tiba, mereka telah mengambil keputusan dengan mengirimkan surat pemberhentian Dewan Direksi LPP TVRI, Kamis, 16 Januari 2020. Keputusan tersebut bahkan diambil sebelum Dewas melakukan konsultasi dengan Komisi I DPR yang telah mengagendakan rapat Selasa, 21 Januari mendatang.
Yang mengejutkan, keputusan itu juga tidak mendapat dukungan penuh seluruh anggota Dewas TVRI. Supra Wimbarti, salah seorang anggota Dewas, menolak pemberhentian Helmy.
Menurut dia, Helmy sudah memberikan surat pembelaan setebal 1.200 halaman sebelum keputusan pemberhentian diambil. “Saya pribadi baca satu per satu. Tuduhan-tuduhan itu (Dewas) menurut saya tidak benar. Saya usulkan musyawarah dulu,” ucap Supra.
Politis dan Ekonomi
Ketergesa-gesaan itulah tampaknya yang memicu syak wasangka banyak kalangan di balik pemberhentian Helmy Yahya. Ada yang menduga, pencopotan Helmy dilatarbelakangi oleh motif ekonomi dan politis.

Keberhasilan TVRI dalam menyiarkan Liga Inggris, siaran langsung pertandingan bulu tangkis (TVRI Rumah Bulutangkis Indonesia), dan berbagai terobosan lain rupanya mengganggu kinerja sejumlah televisi swasta yang notabene dimiliki para politisi papan atas.

Salah seorang anggota Dewas berdalih, tayangan TVRI seharusnya lebih mengedepankan konten kebangsaan, bukan berorientasi pada rating sebagaimana dilakukan televisi swasta.
Sinyalemen adanya motif ekonomi dan politis memang masih harus diuji. Yang jelas, pengamat televisi Ilham Bintang melihat keputusan Dewas memberhentikan Helmy Yahya mengandung cacat administrasi.
Karena itu, menurut Ilham, terbuka peluang bagi Helmy untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Jika berhasil, langkah tersebut bahkan bisa membekali Helmy mengajukan permohonan ke Komisi I DPR untuk mengganti Dewas TVRI.
BACA JUGA: Cek EKONOMI & BISNIS, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini