Ceknricek.com — Perang terbuka antara AH (Airlangga Hartarto) dengan BS (Bambang Soesatyo) di dalam memperebutkan posisi puncak partai Golkar sebagai Ketum (Ketua Umum) rupanya tidak terhindarkan. Kedua kubu terlihat bekerja keras melalui adu taktik dan strategi. Munas rencananya diadakan 4 – 7 Desember 2019 di Jakarta.
AH saat ini adalah petahana yang telah menjabat Ketum sejak Desember 2017 menggantikan Setya Novanto yang jadi tersangka kasus korupsi E-KTP. AH juga Menko (Menteri Koordinator) Perekonomian era kedua Jokowi. Penantang terkuatnya BS adalah Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) saat ini.
Kedua kader teras Golkar itu sama-sama kuat secara kualitas dan pengalaman politik. Keduanya dekat presiden Jokowi. Keduanya terlihat disukai dan cocok dengan sang presiden sejak di era pertama. Kedua-duanya bukan ancaman politik pemerintahan Jokowi.

Baca Juga: Airlangga Atau Bamsoet?
Menarik menelisik panggung depan dan panggung belakang pertarungan dua “jagoan” Golkar ini. Panggung depan memperlihatkan keduanya memainkan narasi besar dan manuver canggih untuk membentuk dan menguasai opini publik. Baik itu adalah opini internal rumah tangga Golkar maupun opini di luar pagar Golkar yang menyiratkan pihak Istana atau presiden.
Massivifisasi dukungan dikemas dalam bentuk mobilisasi narasi dukungan pengurus Golkar kabupaten – kota disuarakan ke publik silih berganti. Kabupaten dan kota merupakan tebaran basis suara pendukung yang paling menentukan. Kedua kubu mengaku sudah mengantongi dukungan suara terbanyak dari daerah. Meskipun pemberitaan di media mainstream maupun media sosial seringkali asimetris dengan fakta.
Di panggung belakang inilah sesungguhnya nasib kedua “jagoan” itu ditentukan siapakah yang akan mendapat “restu” dari Istana. Harus diakui sepanjang sejarah munas Golkar sejak 2004 calon ketua umum harus mendapat persetujuan dari Istana. Kasus Munas Ancol yang lahir untuk membonsai Munas Bali pada 2014 adalah fakta tak terbantahkan. Mengindikasikan pengurus Golkar harus “ramah” Istana. Di luar itu no way!
Baca Juga: Golkar Terancam Pecah (Lagi)
Berdasarkan asumsi, ditengarai panggung belakang yang “dikuasai” atau “menguasai” AH berporos kepada “trio macan” Istana yang memiliki kedekatan struktural birokrasi dengan presiden. Melalui jalur ini AH memperoleh asupan tenaga untuk membuka pertarungan terbuka melawan BS.
Sebaliknya, berdasarkan kepentingan sebuah ideologi politik jangka panjang, BS mendapat “anugerah” keberuntungan secara alamiah, karena didukung oleh “trio macan” lain di luar Istana yang cukup perkasa sebagai alat penekan politik kepada presiden. Yang ini sangat digdaya di Senayan (parlemen). Mereka punggawa tiga parpol besar berpengaruh di luar Golkar. Yang belakangan ini terindikasi tidak terlalu total apalagi loyal secara politik kepada sang presiden.
Di panggung belakang inilah Jokowi dipaksa berhitung dari hari ke hari. Ketangguhan penopang harapannya untuk kelanggengan pemerintahannya secara politik harus dihitung cermat. Dari titik inilah Jokowi dipaksa menghitung pula setiap detik seberapa besar efektifitas AH dan BS akan memperkuat pemerintahannya.
Salah pilih bisa menjadi bumerang baginya, bagi pemerintahannya yang secara umum sangat rentan oleh tekanan publik sebagai residu pemilu yang menyisakan pro kontra di masyarakat. Apa yang tersirat disini menggambarkan peran pengurus Golkar kabupaten – kota hanya sebagai pelengkap penderita.
Terus terang, pengurus daerah tingkat dua tersebut nyaris tidak punya kekuatan tawar menawar apa-apa. Yang mereka miliki hanya legitimasi pasif yang terkait aturan main di AD/ART organisasi. Tidak kuat untuk memengaruhi arah angin bertiup. Malah sebaliknya, sejarah munas mencatat justru mereka-merekalah yang mudah “tertiup” angin.
Publik kini berada pada posisi bagaikan menghitung bunyi tokek dari sebuah dinding rumah di malam buta yang sunyi senyap tapi berhawa gerah empat puluh derajat celcius !!
*Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini