Ceknricek.com–Sewaktu menjadi walikota Surabaya, Tri Rismaharini membuat banyak orang menaruh respek. Dia berprestasi, mengubah kota itu menjadi lebih baik. Lebih asri. Tanaman pelindung jalan makin banyak. Ditambah bunga anggrek. Jalan-jalan terlihat bersih. Rapi. Teratur.
Sayang. Begitu menjadi Menteri Sosial, simpati banyak orang mulai terkuras. Menjadi antipati. Warga Bandung terutama, juga orang Sunda, menuntut “Pecat Risma”. Dia dipandang sebagai pejabat yang sok kuasa, tidak punya etika. Marah-marah di depan pegawai seenaknya. Malah keluar ucapan kasarnya, “Saya pindah kalian ke Papua,” hentak Risma kepada pegawai Balai Disabilitas Wyata Guna Bandung, Selasa, ( 13 Juli 2021)
Cara menyerang para pegawai dengan mencak-mencak tersebut di Bandung “sangat menyedihkan dan menyakitkan”. Orang-orang jadi teringat Si Ahok, yang dijuluki si “mulut jamban”. Dia lalu terjungkal dari jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta. Warga muak.
“Membuang” pegawai ke Papua dipandang menghina warga provinsi dan orang Papua. Wilayah itu dianggapnya sebagai “tempat pembuangan”. Seperti di jaman penjajahan Belanda: Boven Digul. Sebagai menteri, perempuan lagi, Risma mestinya bisa berlaku sedikit sopan. Belajar menghargai bawahan. Bukannya malah melecehkan.
Contoh. Dia mempertanyakan keberadaan keyboard dan organ tunggal yang disiapkan untuk menyambutnya saat tiba di Balai Disabilitas Wyata Guna Bandung, 13 Juli 2021. Risma menegur Kepala Balai Disabilitas Wyata Guna Sudarsono dan meminta agar organ tunggal tersebut dibereskan.
“Ini lagi bapak, ngapain aku disiapi musik segala, mau tak tendang apa? Emang aku kesenengan apa ke sini?” bentak Risma. Apa pantas dia ngomong seperti itu? Kasar. Sangat tidak sopan. Lebih-lebih, dia marah-marah di depan anak-anak disabilitas, penyandang cacat. Padahal, semua itu disiapkan dalam rangka menghormatinya.
Kita teringat kisah ini: Pada hari pertama bertugas sebagai Mensos, Januari 2021, dia langsung blusukan ke kawasan aliran Sungai Ciliwung di dekat Kantor Kemensos, Senen, Jakarta Pusat. Persis gayanya sebagai walikota Surabaya. Risma juga blusukan ke Pluit, Jakarta Utara, di kolong Tol Pluit.
Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Mujiyono menilai aksi blusukan Risma berlebihan, sehingga terlihat tidak elok di mata publik. Dia menyarankan Risma, jika ingin bertemu gelandangan di Jakarta, jangan mencari di daerah steril seperti Sudirman-Thamrin yang akan jarang terlihat. “Kalau mau lagi (ketemu gelandangan) sono di Jakarta Barat,” kata politisi Demokrat itu.
Tegas dan Lurus
Ali Sadikin dikenal sebagai pejabat yang tegas dan lurus. Namun demikian, mayjen KKO yang tegap dan tinggi besar itu tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar atau melecehkan karyawannya. Di zaman itu, tahun 1960-an, tidak ada BuzzeRp upahan yang bertugas mengemas pencitraan bagi pejabat yang membayarnya.
Selama dua kali masa jabatan (diangkat oleh Presiden Sukarno, 1961), dia berhasil membenahi Jakarta menjadi jauh lebih baik. Membangun banyak terminal bus kota, membenahi angkutan umum, membangun banyak pasar, gedung sekolah, puskesmas. Juga gelanggang remaja, pusat rekreasi Jaya Ancol dan Taman Ismail Marzuki. Bang Ali dikenang sebagai gubernur DKI terbaik.
Syekh Abdul Aziz bin Fathi as- Sayyid Nada, pengarang buku ensiklopedi Islam, menyebut beberapa etika dan parameter untuk mengukur ideal tidaknya seorang pejabat. Itu sekaligus menjadi kriteria dan syarat yang harus dikerjakan pejabat supaya mendapatkan predikat aparat yang baik dan bertanggung jawab, tuturnya.
Misalnya, niat dan motif di balik pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Kedua, menurut dia, selayaknya pejabat pemerintah tidak berambisi dan meminta posisi jabatan. Syekh Nada berkata biasanya ambisi kerap “mengalahkan hati nurani” dan rambu-rambu kepatutan yang diajarkan agama.