Ceknricek.com — Pelan tapi pasti perekonomian global menunjukkan tanda-tanda resesi. Musim pemangkasan proyeksi laju pertumbuhan ekonomi melanda hampir seluruh negara-negara maju. Sementara negara-negara berkembang juga sulit melaju. Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang tak berkesudahan sebagai biangnya.
Sesekali adu tarif mereda, namun kadang kala kembali membara. Bahkan eskalasi perang dagang tersebut justru meluas hingga pada perang mata uang, teknologi dan investasi.

Pertumbuhan ekonomi global dalam beberapa tahun terakhir cenderung melemah dan diproyeksi melambat hingga beberapa tahun ke depan. Selain perang dagang antara AS dan China, ketidakpastian ekonomi global juga akibat harga minyak dunia yang terus berfluktuasi seiring risiko geopolitik yang masih tinggi. Penurunan suku bunga the Fed ketiga kalinya sepanjang 2019 menambah kondisi lebih buruk. Sudah begitu, masih ditambah dengan memanasnya suhu politik di AS terkait impeachment Presiden Donald Trump.

Baca Juga: Dahlan Iskan: Tahun MoveOn
International Monetary Fund atau IMF dalam laporan “World Economic Outlook” yang dirilis pada Juli 2019, menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia (Purchasing Power Parity/PPP) pada 2019 dan 2020 hanya akan mencapai 3,2% (year on year/yoy) dan 3,5% (yoy). Angka tersebut menurun dari pencapaian 2017 dan 2018 masing-masing 3,8% (yoy) dan 3,6% (yoy).
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi ASEAN-5 pada 2019 dan 2020 diproyeksikan sebesar 5,0% (yoy) dan 5,1% (yoy). Angka tersebut menurun dari pertumbuhan ekonomi 2017 dan 2018 yang mencapai 5,3% (yoy) dan 5,2%n (yoy).
Dari sisi perdagangan dunia, menurut World Trade Organization (WTO) dan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), dengan asumsi estimasi Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini terealisasi, maka volume perdagangan barang dunia akan meningkat sebesar 1,2% (yoy) pada 2019, dengan catatan bahwa terdapat pemulihan kinerja perdagangan dunia pada paruh kedua 2019.
Volume ekspor barang di negara-negara berkembang, yang menurun dari 5,6% (yoy) pada 2017 ke 3,5% (yoy) pada 2018, diproyeksikan akan kembali menurun pada 2019 menjadi 2,1% (yoy). Demikian pula dengan proyeksi volume ekspor barang di Asia, yang cenderung menurun dari 6,8% (yoy) pada 2017 ke 3,8 % (yoy) pada 2018 dan menjadi 1,8% (yoy) pada 2019.
Selain itu, volume impor barang di negara-negara berkembang dunia akan berkurang sangat drastis, yakni dari 6,8% (yoy) pada 2017 ke 4,1% (yoy) 2018 dan 1,1 % (yoy) untuk proyeksi 2019. Penurunan volume impor barang di Asia jauh lebih drastis dari angka 8,3% (yoy) pada 2017, menjadi 5% (yoy) pada 2018 dan 1,3% (yoy) untuk perkiraan 2019.
Devaluasi Kompetitif
Proteksi ekonomi di berbagai negara membawa perekonomian dunia terasa mundur. Hal ini bermula dari pertarungan dua perekonomian terbesar di dunia, yang menjalar ke ekonomi negara-negara lainnya. Perang dagang yang belum menemukan titik temu penyelesaian, mulai bergerak ke perang mata uang (currency war).
Perang mata uang juga dikenal sebagai devaluasi kompetitif, yang menunjukkan kecenderungan negara-negara untuk mengelola agar nilai tukar bergerak rendah, agar ekspor tetap kompetitif di level dunia.

Berawal dari Donald Trump yang memberikan tambahan tarif 10% terhadap impor US$300 miliar sisa barang dan produk yang berasal dari China. Kebijakan Trump direspons oleh China dengan melemahkan Yuan hingga 2% (dari nilai tengah yang ditentukan). Pelemahan Yuan dan penguatan US$ akan menimbulkan tantangan bagi perusahaan-perusahaan AS yang memiliki bisnis besar di China.
Pelemahan ini menyebabkan kenaikan beban pokok bagi pelanggan di China sehingga barang dari AS relatif lebih mahal. Hal ini membuat pertumbuhan terkontraksi dan pemulihan ekonomi berjalan lamban.
Setiap negara berlomba dalam menjual produksi terbaik dengan melihat potensi dan peluang dari konsumen dalam skala internasional. Sebagai contoh dalam perang dagang di bidang teknologi ialah produksi AS melalui Apple dan China melalui Huawei. Kedua negara ini berlomba dalam perdagangan internasional, penjualan produk Huawei yang meningkat, menyebabkan munculnya beberapa isu dan kekhawatiran tersendiri bagi AS.
Hal ini kemudian berdampak pada kebijakan luar negeri AS maupun China yang mengalami krisis kerja sama bilateral. Kedua negara bersaing untuk memblokade penjualan produk teknologi dari negara lain di negara masing-masing.
Berawal dari AS yang merasa produk China telah mengancam stabilitas keamanan negara melalui sistem yang ada di dalamnya dianggap sebagai pengintai. AS kemudian memblokir beberapa perusahaan milik China terutama yang bergerak di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Hal tersebut lantas ditepis oleh China dan membuat China merasa AS telah membatasi perdagangan dan bisnis internasional. Tindakan tersebut juga mendorong China untuk turut memberlakukan sanksi yang serupa terhadap perusahaan dan produksi dari AS beserta negara-negara yang mengikuti aturan AS terhadap China.
Perang Investasi
Perang teknologi antara kedua negara hingga saat ini belum memiliki dampak yang signifikan bagi Indonesia sebagai konsumen dari kedua produk tersebut. Namun, jika ini terus berlangsung maka harga produk-produk berteknologi ini dapat semakin mahal.

Gesekan perdagangan AS-China yang kian memburuk, berdampak pada melambatnya perekonomian dunia pada pertengahan 2019. Eskalasi ‘perang’ sampai berdampak pada bidang investasi. Saat ini muncul investment war, yaitu suatu kondisi di mana suatu negara mengurangi, memindahkan dan atau menarik seluruh investasinya (direct dan indirect investment) di negara lain.
Bermula pada 2018, investasi langsung China ke AS mencapai US$1,8 miliar, turun 90% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya. AS merespons dengan rencana kebijakan Trump untuk menghapus perusahaan-perusahaan China dari bursa saham AS, dan memulangkan atau memindahkan produksi semua perusahaan AS yang berinvestasi di China. Apabila hal tersebut terjadi, akan berdampak langsung terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat kedua negara. Ujungnya, Indonesia sebagai mitra dagang dan investasi AS dan China juga dapat saja terkena imbasnya.
Melihat kondisi terkini, rasanya tidak berlebihan jika sejumlah ekonom memprediksi pada tahun ini, 2020, berat…
BACA JUGA: Cek OLAHRAGA, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.