Ceknricek.com — Cara berpikir gebyah-uyah belakangan kian menonjol saja. Gebyah-uyah, dalam kbbi.web.id diterjemahkan menggebyah-uyah/geb•yah-u•yah, meng•geb•yah-u•yah/ v menyamaratakan. Gebyah-uyah adalah istilah dalam Bahasa Jawa. Bisa diterjemahkan menggeneralisir masalah.
Contohnya banyak. Saat Menteri Agama, Fachrul Razi, akan menerapkan aturan larangan lelaki mengenakan celana cingkrang dan cadar di Kantor Kementerian Agama adalah salah satunya. Fachrul menganggap celana cingkrang dan cadar sebagai radikal. Itu namanya menggebyah-uyah.

Anas, sebut saja begitu, sangat membenci polisi lantaran pernah menjadi korban tilang. Ia lolos karena memberi uang aparat berbaju cokelat itu. Sejak itu Anas menganggap polisi semua brengsek. Polisi tukang peras. Polisi berdiri di jalan hanya untuk menanggok duit. Cara berpikir begitu juga menggebyah-uyah. Cara pikir yang cetek. Ngawur dan bodoh.
ISIS Eks WNI
Nah, kasus terbaru tentang gebyah-uyah adalah cara pikir Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD. Ia menganggap status kewarganegaraan RI bagi mereka yang bergabung sebagai anggota ISIS otomatis tercabut. Maknanya, tak peduli mereka anak-anak atapun perempuan yang terpaksa ikut ke Suriah sudah bukan warga Negara RI lagi. Mahfud menyebutnya ISIS eks WNI. Bahkan lebih keren lagi Foreign Terrorist Fighters (FTF).
Padahal faktanya ada tiga kategori terkait WNI yang bergabung dalam kelompok eks Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Pertama, mereka yang berangkat ke Suriah dan menjadi kombatan secara ideologis. Kedua, mereka yang menjadi kombatan dengan alasan pragmatis karena iming-iming gaji yang tinggi. Ketiga, mereka yang ke Suriah hanya karena ikut-ikutan atau bahkan tertipu oleh anggota keluarga atau teman.
Mereka yang masuk kelompok pertama, layak menerima risiko dicegah mudik. Mereka patut tidak perlu diurusi. Mereka bukan WNI dan pemerintah tidak ada kewajiban mengurus mereka.
Kelompok kedua dan ketiga layak dipertimbangkan. Mereka yang masuk kelompok kedua, tidak didasari ideologi teror. Mereka hanya tergiur gaji yang tinggi. Sedangkan mereka yang masuk kategori ketiga, sama sekali tidak terlibat sebagai kombatan. Sebagian mereka malah menjadi korban berbagai tindakan kekerasan.
Ada anak-anak yang tak bisa menolak saat diajak berangkat ke cengkeraman ISIS oleh orang tuanya. Ada istri yang tak bisa menolak suaminya, atau ada pihak-pihak yang terpaksa ada di sana tanpa sepakat dengan ideologi teror.
Anak-anak adalah korban ideologi teror orang dewasa yang menjadi petempur. Tidak mungkin anak-anak itu dengan kesadaran penuh ‘berjihad’ ke Suriah. Karena itu, tidak bisa digebyah-uyah. Hantam kromo. Harus dicarikan solusi bagi mereka.
Mereka ini harus diselamatkan. Mereka punya hak untuk dilindungi secara maksimal oleh negara. Sekali lagi, pemerintah tidak bisa terus menggebyah-uyah bahwa tidak boleh sama sekali mereka pulang karena semua terlibat kegiatan terorisme.
Pembukaan UUD Negara 1945 menjelaskan tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia, yakni untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Pada konteks ini, haruslah diterjemahkan bahwa mereka yang tergoda ideologi teror belumlah berhasil dicerdaskan kehidupannya, serta tidak berhasil terlindungi dari bahaya ideologi teror. Pemerintah perlu melindungi warganya dari bahaya-bahaya itu. Konstitusi kita menyebut warga negara di manapun berada harus dilindungi secara maksimal.
Baca juga: Mengantung Nasib Militan ISIS
Soal kategori kombatan dan ideologis, salah satu cara menanganinya adalah pengadilan. Tak banyak yang tahu tiga tahun lalu ada sekitar 55 eks-ISIS yang dipulangkan. Belasan di antaranya (mungkin jumlahnya lebih banyak) diadili di pengadilan di Jakarta. Mereka dijerat delik kumulatif: terorisme di negara asing (UU Terorisme) dan pemberontakan terhadap pemerintah negara sahabat. Persoalan ini lagi-lagi terkait kesiapan pemerintah, terutama manajemen penjara, yang sayangnya sudah lama punya citra buruk.
Melekat
Isu pemulangan eks-ISIS kerap dikaitkan dengan status kewarganegaraan. Ini pandangan yang keliru. Negara itu entitas politik sementara pulang ke Tanah Air itu dalam norma dan hukum internasional adalah hak yang bisa dikategorikan “inalienable right” (melekat, tak bisa gugur). Setiap orang punya hak pulang ke Tanah Airnya, tak peduli entitas politik apa yang berkuasa.
Konstruksinya bisa dilihat dalam International Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR, konvensi internasional yang sudah diratifikasi Indonesia pada 2005, Pasal 12 ayat (4): “No one shall be arbitrarily deprived of the right to enter his own country“.

Satu-satunya yang mungkin menggugurkan “hak pulang” adalah Pasal 4 ICCPR, yakni “keadaan darurat yang mengancam eksistensi seluruh bangsa” dan ini harus dinyatakan secara resmi.
Kini ada isu keamanan nasional terkait pemulangan eks-ISIS. Lagi-lagi ini lebih terkait dengan kesiapan pemerintah bagaimana mengelolanya. Memang, proses pemulangan mereka tak akan mudah. Harus ada kerja keras dari pemerintah. Para WNI eks ISIS haruslah melewati proses identifikasi, proses pengkajian orang per orang, hingga deradikalisasi. Lewat langkah-langkah itu, barulah diketahui apakah mereka pantas dipulangkan ke Tanah Air atau tidak. Jadi jangan digebyah-uyah.
BACA JUGA: Cek OLAHRAGA, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.