Enam Perbedaan
Ceknricek.com — Abracadabra menukil kisah Lukman ingin mengakhiri kariernya lewat pertunjukan terakhir. Tapi justru di pertunjukan yang terakhir itulah terjadi banyak peristiwa yang ganjil. Anak yang dimasukkan ke dalam kotak ajaib raib tak kembali.
Barnas (Egy F) teman lama Lukito, memprovokasi kepala polisi (Butet Kertaradjasa) untuk mengambil kotak itu. Terjadilah berbagai peristiwa yang tak dapat kita bedakan antara kejadian sebenarnya atau hanya ilusi-ilusi di dunia sulap.
Dibandingkan dengan kebanyakan film Indonesia, film ini setidak-tidaknya mempunyai enam perbedaan yang sangat signifikan. Keenam perbedaan mencolok itu ialah:
Pertama, salah satu elemen yang paling menonjol, sinematografis film ini sangat luar biasa. Faozan Rizal sendiri menyebut dengan istilah “estetika visual”. Dan memang itulah yang kita saksikan di layar. Film bagaikan rangkaian lukisan-lukisan yang diciptakan dengan komposisi warna-warni dan objek yang sangat menarik dan bahkan menakjubkan.
Film seperti membawa kita bertamasya visual. Itulah sebabnya berbagai warna tertentu hadir dalam banyak adegan. Misalnya, komposisi lukisan terkenal “The Last Supper” atau “Perjamuan Terakhir” karya Leonardo da Vinci yang dibuat pada abad 15, juga hadir dalam film ini ketika kepala polisi mengumpulkan para pesulap di sebuah meja panjang. Komposisi itu jelas mirip dengan komposisi “The Last Supper”, namun dengan pewarnaan dan background yang diganti.
Simak juga ketika ada pemeran wanita asisten penyulap dengan pakaian “dinas” melihat ke laut bebas dari dua daun pintu yang terbuka dan di depan (front ground) bawahnya ada kotak sulap. Tak diragukan lagi itulah komposisi visual sebuah lukisan yang menawan.
Contoh lain, sewaktu Lukman bangun dan berdiri menghadap ke laut, tak syak lagi, itu juga merupakan komposisi lukisan terkenal lainnya. Atau yang lebih “kontemporer” saat Lukman berbaring dan bangun dari bak mandi (bath tap) kering dengan pakaian lengkap, jelas merupakan estetika visual yang perlu mendapatkan acungan dua jempol.
Baca Juga: Film Abracadabra, Estetika Visual Sulap yang Melampaui Zamannya (1)
Demikian pula adegan-adegan mobil atau taksi di jalan menuju laut, dibuat dengan teknik visual lukisan. Gambar-gambar itu dapat kita lihat sebagai suatu bagian keindahan yang berdiri sendiri, tapi juga dapat dirangkai dengan yang lain menjadi satu paket komposisi.
Estetika visual semacam ini, dengan permainan komposisi gradasi warna yang sangat proporsional, persisi, penuh keindahan dan pesan yang mendalam, belum kita jumpai pada film-film Indonesia sebelumnya.
Kedua, cara mengemukakan jalan cerita atau kisah Abracadabra berbeda jauh dengan cerita film-film Indonesia lain. Adegan dalam film ini benar-benar seperti sulap. Satu sama lain dapat terkait tapi juga dapat dilihat sebagai babak yang terpisah-pisah. Tidak ada pakem “dramartugi” konvensional seperti kebanyakan kita lihat di film Indonesia. Adegan demi adegan hadir dan pergi seperti adegan sulap yang sulit diprediksi, sesuka penyulap.

Editing lebih menyerupai editing panggung ketimbang editing film-film standar. Artinya, cutting dilaksanakan di lapangan. Pemain berhenti akting, camera juga berhenti. Ketika pemain mulai akting lagi, camera on lagi. Kesannya, menjadi editing yang kasar, padahal bagi yang paham, itulah teknik yang mirip dengan teknik sulap yang dapat lompat-lompat tapi rapi.
Dengan sistem ini, adegan datang dan pergi tak harus masuk akal. Namun, kesemua itu disuguhkan dalam orkestra visual yang menawan dan menggetarkan. Sejauh pemahaman saya tak ada film Indonesia yang memilih cara berkisah seperti ini.
Ketiga, inilah film yang bukan hanya diniatkan oleh sutradaranya sebagai film “eksperimental”, tetapi kita memang benar-benar disuguhkan dengan hasil karya utuh film yang “eksperimental”. Maksudnya, Sutradara mencoba membuat film yang di luar pakem, menjajal berbagai kemungkinan visual dan berani menjadikan sebagai karya utuh. Setidaknya, letak eksperimental terasa sekali pada naratifnya.
Pengalaman Faozan sebelumnya sebagai direktur of fotografi (DOP) sangat menolong dia melahirkan “kehalusan” gambar dan “komposisi” warna dalam adegan film ini.
Keempat, tema cerita film ini sangat berbeda dengan tema-tema cerita film Indonesia lain. Abracadabra mengapungkan ilusi sulap dalam film tema sulap. Hampir tak ada film Indonesia yang khusus mengangkat tema ini.
Kelima, alur kisah dan isi Abracadabra sendiri benar-benar seperti sulit ditebak bagaikan sulap. Apa arti rangkaian adegan diserahkan sepenuhnya kepada penonton. Begitu juga kesimpulan apa yang ingin ditarik atau tidak ditarik dari seluruh gambar, menimbulkan multi penafsiran. Penonton bahkan digiring boleh berpikir dan menyimpulkan atau tidak menyimpulkan apapun. Kisah seperti ini tidak kita jumpai dalam film Indonesia lainnya.
Keenam, Abracadabra menyuguhkan kombinasi akting para pemainnya, antara akting panggung yang karikatural dan akting yang memang “natural” untuk film. Akting Reza Rahadian sebagai pemeran utama (Lukman) merupakan akting “alamiah” yang memang biasa untuk akting film.
Lihatlah, cara Reza melakukan sulap. Bagaimana tangan kanannya memegang tokat dan tangan kiri diangkat dengan telapak tangan yang khas pesulap, ini menunjukkan aktingnya memang identik dengan penyulap yang sebenarnya.
Akting yang “realis”. Padahal, pada sebagian besar pemain lainnya lagi, jelas melakukan akting karikatural atau akting teatrikal. Hal ini nampak menonjol pada Butet sebagai kepala polisi dan para anak buahnya. Pemilihan akting yang kontras dan dipadu oleh warna warni gambar sebagai penunjang, tidak kita temukan pada film-film Indonesia lainya.
Dengan enam perbedaan Abracadabra dibanding film-film Indonesia lain pada umumnya, menempatkan Faozan Rizal bukan saja sebagai salah sutradara Indonesia yang sangat potensial, namun juga menempatkan namanya dalam peta perfilman Indonesia secara istimewa.
*Wina Armada Sukardi, Kritikus Film.
BACA JUGA: Cek FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini