Ceknricek.com — Film-film yang berlatar belakang kehidupan Suku Batak selalu menarik untuk diamati. Sebagai salah satu suku terbesar di Indonesia yang memiliki adat-istiadat kuat dan masih terjaga hingga saat ini, banyak aspek menarik dari suku Batak yang bisa diangkat ke dalam film. Lebih lagi bila film itu juga dibuat di tanah leluhur Orang Batak sendiri, di kawasan Toba Samosir yang terkenal akan keindahannya, maka film itu bukan saja menarik dari aspek cerita, tetapi juga akan sangat memanjakan mata.
Horas Amang, disutradarai oleh Acho Bachtiar dan Steve Watania, mengisahkan tentang kehidupan Orang Batak dan kegamangan budayanya, karena lingkungan tempat tinggal mereka di perkotaan, membuat mereka yang muda-muda tidak lagi menjadikan adat istiadat sebagai pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Rasa hormat dan kepedulian terhadap orangtua dikesampingkan demi kehidupan kota yang hedonistis.
Film yang diadaptasi dari naskah drama dengan judul yang sama karya Ibas Aragi ini mengisahkan tentang Amang Sagala (Cok Simbara) yang hidup menduda dengan tiga anak dewasa, yakni Maruli (Tanta Ginting), Tarida (Novita Dewi) dan Pardamean / Dame (Dendi Tambunan), yang hidup di sebuah rumah Kampung Toba, sebuah perkampungan orang Batak di tengah kota Jakarta.
Bersama Amang tinggal pula adik iparnya, yang biasa dipanggil Namboru (Efi Sofiana) dan anaknya Nauli (Rizma Simbolon), yang merawat anak-anak Amang setelah kematian istrinya, hingga anak-anak itu dewasa.
Ketika anak-anak Amang memiliki dunia sendiri-sendiri. Maruli sukses menjadi dokter spesialis, Tarida sibuk dengan pekerjaannya di kantor, Dame menjadi koki di rumah makan tetapi terlibat perdagangan narkoba.
Masalah timbul ketika suatu hari ada seorang gadis dari kampung, Arta (Vanessa) yang menyusul Dame ke rumahnya. Ketika kecil dulu Arta pernah menolong Dame yang hampir tenggelam di Danau Toba, dan kemudian berjanji akan menikahi Arta duabelas tahun kemudian.
Sementara Maruli diminta untuk menikahi Debora (Manda Cello), anak dari Williams (Piet Pagau) pemilik rumah sakit tempat Maruli bekerja. William bersedia memberikan uang ratusan juta untuk Amang, jika merelakan Maruli menikah dengan anaknya, dengan tatacara dan undangan yang diatur oleh William.
Batak Tanggung
Bila melihat judulnya yang menggunakan bahasa Batak, Horas Amang, sepintas kita akan berpendapat bahwa film ini adalah tentang kehidupan Orang Batak. Baik penulis skenario Ibas Aragi maupun sutradara Acho Bachtiar dan Steve Watania berusaha memasukan warna Batak dalam film ini.
Film ini dibuka dengan kesenian Batak berupa Tari Tortor dan Gondang Batak di halaman rumah Amang Sagala di Kampung Toba. Pan-up kamera yang memperlihatkan sebuah perkampungan padat dengan latar belakang gedung-gedung tinggi menggambarkan Kampung Toba berada di pusat Kota Jakarta.
Belakangan diceritakan bahwa Kampung Toba memang didirikan oleh para perantau Batak awal yang ingin menjadikan Kampung Toba sebagai tempat singgah untuk para perantau Batak yang tidak punya tujuan di Jakarta.
Memang ada kecenderungan pada orang Batak Toba, di kota tempat orang Batak Toba merantau, mereka suka berkumpul dengan sesama orang Batak, bahkan membentuk sebuah asosiasi klan yaitu semacam perkumpulan orang-orang yang bermarga sama, dalam tradisi suku Batak, memang tidak identik dengan marga dalam pengertiannya yang asli. Tujuannya untuk mempertahankan dan melestarikan adat yang sudah mereka miliki.
Fenomena ini dalam kenyataan bisa dilihat di kampung-kampung Batak seperti di Pulo Mas atau di Cililitan, Jakarta Timur. Di kedua tempat yang disebutkan itu bisa dilihat perkampungan yang mayoritas dihuni oleh orang-orang Batak, dengan segala adat istiadat dan kebiasaannya, walau pun mereka sudah menjadi orang kota.
Baca Juga: Stayco Media Rilis Trailer Film Budaya Batak, “Pariban: Idola dari Tanah Jawa”
Horas Amang ingin memperlihatkan fenomena itu. Tidak heran jika di halaman rumah Amang sehari-hari menjadi tempat berkumpul orang-orang Batak seperti Togap (Jurfi Aman Saragih), Patar (Ibas Saragih) dan lainnya.
Amang juga ingin menjaga identitas kebatakannya, antara lain dengan membuat tulisan berbahasa Batak “Horas tondi madingin pir tondi matogu” yang secara harfiah dapat diartikan: Tuhanlah yang membimbing kiranya kita panjang umur.
Akan tetapi penggambaran komunitas Batak di Kampung Toba itu terasa sempit. Lokasi hanya berputar-putar di rumah Amang. Orang-orang Batak yang lain entah tinggal di mana. Tidak mirip, bahkan jauh dari kesan kampung yang diisi komunitas Batak kota seperti di Pulo Mas atau Cililitan, yang selalu ramai dengan orang-orang bermain catur, bernyanyi, minum-minuman keras atau makan-makan di rumah makan khas Batak.
Memang ada Warung nasi Gordon, aktivitas bermusik oleh Patar dan Amang yang sekali-kali main catur dengan Parulian, tetapi itu hanya terkesan seperti tempelan, belum menggambarkan lingkungan komunitas Batak yang sesungguhnya.
Kejanggalan lain adalah dengan kedatangan Arta ke rumah Amang untuk menyusul Dame. Dalam masyarakat Batak yang memegang teguh adat, kedatangan seorang gadis untuk menemui lelaki di rumahnya, bahkan kemudian menetap di rumah orangtua lelaki yang dicintainya, merupakan hal yang tabu. Bagi masyarakat Batak, hubungan perempuan dengan lelaki memiliki aturan-aturan yang ketat.
Pertama, pantang bagi perempuan untuk pergi sendiri dari kampungnya hanya untuk menemui lelaki yang dicintainya, apalagi dikenalnya belasan tahun lalu ketika masih kecil.
Pernikahan bagi Suku Batak merupakan hal yang sakral. Tidak boleh hanya berdasarkan cinta semata. Ada larangan (marsubang) dalam perkawinan, seperti menikahi orang semarga atau marga-marga lain yang dianggap satu asal-usul.
Misalnya marga Sihombing tidak boleh menikahi marga yang sama atau marga lain yang merupakan keturunan (Pomparan) dari Borsak Sirumonggur, yakni Sihombing, Silaban, Nababan dan Hutasoit. Keempat marga itu pantang menikah.
Yang kedua adalah soal mahar (Maharta sinamot), yang juga cukup penting untuk dibicarakan. Maharta sinamot diperlukan untuk menciptakan sukacita bersama dalam mewujudkan suatu pesta perkawinan. Perkawinan dengan adat Batak biasanya mahal karena banyak perlengkapan yang harus dipenuhi, selain prosesi adat yang cukup lama.
Amang Sagala, dalam film ini, sama sekali tidak menanyakan asal-usul Arta, bahkan secara permisif mengijinkan Arta tinggal. Katakanlah Amang sudah lama tinggal di Jakarta. Tetapi di rumahnya ada adik iparnya (Namboru), yang pastinya sangat paham dengan adat Batak, karena dia berasal dari kampung.
Horas Amang memang ingin menampilkan warna Batak di dalamnya, tetapi tidak secara tegas menggambarkan Batak yang seperti apa. Tidak pernah disebutkan apa marga Amang. Juga tidak dijelaskan apa agama Amang dan keluarganya. Tidak ada sedikit pun simbol-simbol agama dalam rumah Amang.
Baca Juga: Mencari Titik Inspirasi Dari Film “6.9 Detik”
Marga dan agama nampaknya dua hal yang dihindari betul dalam film ini. Horas Amang, meski pun dari judulnya bisa ditebak bahwa ini film tentang orang dari Suku Batak, juga nama-nama tokoh dan dialek yang digunakan. Tetapi film ini tidak mau secara tegas menampilkan Batak yang sesungguhnya.
Mengapa hal-hal esensial sangat tipis digambarkan dalam film ini? Ada banyak kemungkinan. Pertama, baik penulis maupun sutradara tidak memahami secara utuh Budaya Batak; kedua soal biaya; dan ketiga ingin membuat film ini sebagai karya universal yang bisa dinikmati oleh semua orang. Bayangkan, jika adat Batak sesungguhnya ditampilkan, bukan hanya butuh biaya yang besar untuk membuat film ini, adahal-hal sensitif yang bisa mengurangi nilai komersial dalam film ini.
Di tengah kebhinekaan yang tengah terancam dan intoleransi menguat akhir-akhir ini, sikap kompromistis adalah langkah yang cerdas untuk menyelamatkan sebuah karya, meski pun akhirnya menjadi sebuah kelemahan. Sikap kompromistis itu, lagi-lagi harus mengabaikan esensi sebuah cerita dengan latar belakang budaya tertentu. Padahal ini merupakan sebuah kekayaan yang patut diketahui juga oleh masyarakat dari suku lain di Indonesia, agar kita semua memahami adanya perbedaan itu.
Film ini memang bukan tentang Batak secara utuh, tetapi sebuah film hiburan yang ingin menyampaikan pesan moral dan etika yang mulai luntur di kalangan generasi muda, sehingga mereka lupa asal-usul dan adat istiadatnya. Karakter setiap tokohnya terasa segar, menghibur, dan sesekali membawa ke dalam situasi mengharukan.
Film ini juga mengajak penonton untuk melihat lebih dekat kawasan Danau Toba yang indah, perkebunan jeruk Medan di Brastagi, dan tampilan bentor (becak motor) menggunakan motor tua yang sudah langka di Pematang Siantar.
BACA JUGA: Cek Berita SELEBRITI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.