Ceknricek.com — Ibarat produk yang memiliki siklus hidup produk (Introduction, Growth, Maturity dan Decline), tiap-tiap manajer di Manchester United nampaknya juga memiliki siklus tersebut. Kali ini, giliran manajer terkini MU, Ole Gunnar Solskjaer yang tengah berada di periode decline. Mau tidak mau, jika tidak ada perubahan maka tak lama lagi ia bakal didepak dari Old Trafford.
Hasil imbang tanpa gol saat menghadapi AZ Alkmaar dalam lanjutan fase grup Liga Eropa, Kamis (3/10) atau Jumat (4/10) dini hari WIB membuat United belum pernah menang dalam 10 laga tandang terakhir. MU terakhir menang tandang kala bertamu ke Parc des Princes, kandang Paris Saint-Germain (PSG) pada babak 16 besar Liga Champions musim lalu, 6 Maret 2019.
Sejak itu, MU telah menderita enam kekalahan dan empat kali imbang dalam semua ajang. Tim besutan Solksjaer ini hanya perlu satu kali gagal menang lagi untuk menyamai rekor tandang terburuk dalam sejarah MU, yakni 11 kali tanpa menang di era Sir Alex Ferguson pada periode Februari hingga September 1989.
Berbicara seusai laga, Solskjaer justru mengaku tidak terlalu khawatir dengan rekor tandang anak asuhnya. Dirinya malah mengkritisi keputusan wasit yang seharusnya memberikan penalti saat Marcus Rashford dilanggar pemain Alkmaar di kotak terlarang pada menit 78.

“Ini satu poin tandang yang bagus melawan tim yang bagus dan menyulitkan, di tempat yang sulit. Mereka baru saja mengalahkan Feyenord 3-0 saat bermain tandang. Kami membuat perubahan dan saya sangat senang dengan permainan tim,” kata Solskjaer kepada BT Sport.
“Tentu saja kami seharusnya bisa menang. Hari ini semua ditentukan oleh wasit. Kami seharusnya mendapat penalti dan bisa duduk dengan tersenyum. Tentu saja ada beberapa laga tandang yang seharusnya dapat kami menangi, namun saya tidak merasa ada masalah,” lanjut Solskjaer.
Pria Norwegia berjuluk The Baby Faced Assassin ini memang boleh mengaku tidak khawatir. Namun fakta membuktikan, selama 90 menit laga, MU gagal menghasilkan satu tendangan ke arah gawang pun, untuk pertama kalinya dari 25 laga keikutsertaan mereka di Liga Eropa.

Hasil imbang lawan Alkmaar ini telah melanjutkan performa buruk MU di awal musim 2019/2020 yang baru menang empat kali dari 10 laga. Praktis selain kemenangan kandang 4-0 dari Chelsea di laga pembuka, tiga kemenangan lainnya tak impresif sama sekali.
Baca Juga: Liverpool Nyaris Kecolongan dari Salzburg, Malah Evan Dimas Jadi Perbincangan
Mereka hanya menang tipis 1-0 atas Leicester City dan Astana, sementara satu kemenangan lagi merupakan kemenangan melalui adu penalti setelah imbang di babak normal menghadapi tim kasta ketiga, Rochdale di ajang Piala Liga.
Product Life Cycle
Kembali ke permasalahan siklus hidup produk atau Product Life Cycle (PLC), entah mengapa para manajer MU setelah Alex Ferguson nampaknya memiliki periode siklus lebih cepat dari seharusnya. Tak seperti Ferguson yang memang memiliki fase siklus hidup yang lebih panjang, yakni hingga 27 tahun.
Jika mengacu pada teori PLC, maka Fergie adalah contoh dari pelatih yang melalui fase-fase PLC dengan normal. Dirinya tak terlalu impresif pada tiga musim awalnya (introduction), lalu mulai memasuki generasi emas di tahun 90-an (growth) dan mencapai kematangan pada di era 2000-an ke atas (maturity). Bahkan bisa dikatakan, pria yang sukses menyumbangkan 49 piala untuk Setan Merah bisa mundur di masa puncaknya tanpa harus memasuki masa decline yang begitu menukik.

Fakta memang menunjukkan di era serba instan ini, para manajer justru memiliki periode siklus hidup yang instan pula. Pengganti Fergie, David Moyes, justru bisa dikatakan langsung masuk fase decline tanpa melewati growth dan maturity terlebih dahulu. The Chosen One, julukan Moyes lantaran dirinya ditunjuk langsung oleh Ferguson untuk menggantikan posisinya, bahkan tak sampai semusim penuh lantaran digantikan Ryan Giggs sebagai caretaker jelang akhir musim.
Selanjutnya, Louis van Gaal sukses membawa MU kembali ke empat besar di musim perdananya, namun mulai kehilangan arah di musim keduanya. Hanya ada satu trofi yang disumbangkan mantan pelatih tim nasional Belanda dua periode itu, yakni Piala FA 2015/2016. Van Gaal didepak di musim keduanya.
Begitu pula dengan Jose Mourinho. Usai sukses menyumbangkan double winner di musim perdananya (Piala Liga dan Liga Eropa 2016/2017), Mourinho nihil gelar di musim berikutnya, dan akhirnya hanya melanjutkan setengah musim 2018/2019.

Saat Solskjaer menggantikan The Special One, julukan Mourinho, mantan pelatih Cardiff City dan Molde itu memang sempat impresif di awal debutnya. Dirinya sukses menang di delapan laga awalnya di seluruh ajang, dan sukses menorehkan 12 laga Premier League tanpa kekalahan.
Kekalahan perdana Solskjaer terjadi saat menghadapi Arsenal, dimana Paul Pogba dkk. kalah 0-2. Puncak kejayaan Solskjaer adalah ketika bisa mengalahkan PSG saat bermain tandang, yang juga merupakan kemenangan tandang terakhir MU hingga saat ini. Sejak itu, MU era Soskjaer memasuki fase decline, hingga menutup musim 2018/2019 hanya dengan dua kememangan.
Jika di total dengan perjalanan awal musim ini, maka sejak malam kemenangan indah di Paris itu, Solskjaer hanya bisa meraih enam kemenangan, termasuk adu penalti dari Rochdale. Sisanya ialah 10 kekalahan dan empat imbang.
BACA JUGA: Cek Berita AKTIVITAS PRESIDEN, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.