Ceknricek.com – AWAL Maret lalu saya mendadak harus ke Singapura. Bukan untuk tugas kantor, tetapi mengantar anak sulung dan tiga cucu yang harus mengikuti suami dan ayahnya bekerja di negara kota itu. Karena kesibukan suaminya, maka anak sulung meminta agar saya bisa tinggal di negara yang kini berpenduduk 5,6 juta jiwa –hampir separuhnya warga pendatang– itu minimal dua minggu. Maksudnya agar saya dapat membantu mengasuh tiga cucu yang masih kecil-kecil, bahkan satu di antaranya masih bayi berumur tiga bulan.
Saat meninggalkan Jakarta, saya terbayang kembali suasana negara industri maju itu yang setahun sebelumnya sempat saya kunjungi. Juga teringat beberapa kali lawatan singkat tahun-tahun sebelumnya ke negara tetangga dekat tersebut. Terutama –sebagai muslim– teringat betapa tidak mudahnya saya menemukan masjid untuk menunaikan salat berjemaah. Harap maklum, pemeluk Islam di Singapura hanyalah sekitar 15 persen –sebagian besar etnis Melayu– dari total jumlah penduduk sehingga jumlah masjidnya pun relatif sedikit.
Namun, di luar dugaan, kondominium yang ditempati anak saya sangat dekat dengan masjid. Hanya perlu jalan kaki sebentar karena lokasi masjid –Masjid Kampung Siglap—berada dalam satu kompleks kondominium yakni Vila Marina. Lokasi perumahan mewah ini adalah hasil reklamasi sekitar 15 tahun lalu, berada di wilayah Singapura Timur, sekitar 12 kilometer dari Bandara Changi. Dari lokasi masjid yang dekat dengan Changi Road ini, masyarakat sangat mudah untuk mendapatkan beberapa rute bus menuju banyak wilayah lain di Singapura.

Waktu dua pekan tersebut saya manfaatkan untuk mengamati dan merasakan kehidupan muslim di negara sekular ini. Awalnya agak heran juga kami dari rumah tidak pernah mendengar azan dari pelantang suara di Masjid Kampung Siglap setiap kali jadwal salat fardu tiba. Belakangan, saya baru paham bahwa muazin tetap azan menggunakan pelantang suara, tetapi diatur sedemikian rupa agar suara azan cukup didengar oleh para jemaah di dalam atau di lingkungan pekarangan masjid. Hal ini dilakukan demi terwujudnya toleransi dan kerukunan hidup beragama warga Singapura.
Sekali waktu saya berkesempatan mengikuti salat Asar berjamaah di Masjid Sultan, masjid raya dan tertua di Singapura (dibangun mulai tahun 1823/1824). Berada di daerah kunjungan wisata, Kampung Glam, menandai waktu Asar tiba muazin tetap azan menggunakan pelantang suara sehingga dapat didengar dari kejauhan. Belakangan saya peroleh data, dari 72 masjid yang ada di Singapura, hanya Masjid Sultan yang melantunkan azan dengan pelantang suara yang ditempatkan di menara masjid sehingga dapat didengar dari jarak yang sangat jauh.
Haji Yusuf, 70 tahun, “warga pionir Singapura” yang menjadi pengurus Masjid Sultan mengatakan kepada penulis, suatu waktu memang ada yang memprotes kerasnya suara azan itu. Tetapi karena pihak yang memprotes hanya sedikit dan akhirnya memaklumi bahwa Masjid Sultan adalah masjid yang sangat bersejarah bagi Singapura, maka azan dengan suara keras seperti lazimnya di Indonesia tetap berlangsung hingga kini.
Gairah beribadah
Tidak adanya suara azan dari menara-menara di sebagian besar masjid di Singapura, tidak mengurangi sikap warga muslim “negara megapolitan” ini untuk tetap bersemangat beribadah. Sebagai contoh di Masjid Kampung Siglap yang berdaya tampung sekitar 1.000 jemaah itu, salat fardu lima waktu selalu dilaksanakan secara berjemaah. Minimal dua atau tiga saf jemaah saat salat Subuh, tiga atau empat saf saat salat Zuhur dan Asar, lima atau enam saf jemaah saat salat Magrib dan Isya, dan penuh jemaah hingga lantai dua saat salat Jumat.
Di Masjid Sultan yang berdaya tampung 5.000 jemaah ini, pada saat salat Asar yang penulis ikuti waktu itu mencapai hampir delapan saf. Kampung tempat berdirinya masjid bersejarah ini memang banyak muslimnya, di samping banyak dihadiri para wisatawan mancanegara. Hal ini sejalan dengan sangat banyaknya wisatawan asing yang mengunjungi Singapura. Badan Pariwisata Singapura mencatat pada 2016 jumlah kunjungan wisman ke negara tetangga dekat Batam itu mencapai 16,4 juta orang atau rata-rata lebih dari 45.000 wisman setiap hari.
Gairah beribadah muslim negeri singa itu tidak hanya sebatas salat berjemaah tetapi juga seringnya menyelenggarakan pengajian dengan bahasa pengantar bahasa Melayu atau Inggris. Semangat beribadah dalam arti luas itu tidak lepas dari program yang dirancang oleh Majelis Ugama Islam Singapura-MUIS (Islamic Religious Council of Singapore). Program MUIS meliputi bidang pendidikan agama (madrasah) di lingkungan masjid, pengelolaan zakat, membangun kesadaran menghemat air saat berwudlu, membangun toleransi dan menangkal radikalisasi serta terorisme, dan menghimpun dana untuk pembangunan masjid. Semuanya disosialisasikan melalui publikasi cetak maupun online.
Dalam upaya membangun dan merenovasi masjid yang representatif, MUIS mengelolanya melalui program Dana Pembinaan Masjid (MBF-Mosque Building Fund). Berawal pada 1975, MBF kemudian diperluas menjadi Dana Pembinaan Masjid dan Mendaki (MBMF) pada 1984 dan dikelola oleh Yayasan Mendaki. Program yang juga mengurusi bidang pendidikan dan kesejahteraan ini mencerminkan besarnya rasa gotong-royong umat Islam Singapura.
Selama lebih dari 40 tahun terakhir atau sejak berdiri pada 1975, MUIS melalui program MBMF telah berhasil menghimpun dana sekitar 297 juta dolar Singapura atau lebih dari Rp 3 triliun. Dana sebesar itu untuk membangun atau merenovasi 24 masjid (mampu menampung 146.300 jemaah) dan menyelenggarakan pendidikan agama Islam di lingkungan masjid. Dua masjid yang dijadwalkan selesai pembangunannya pada 2017 lalu adalah Masjid Maarof di Jurong West (Singapura Barat) dan Masjid Yusof Ishak di Woodlands, Singapura Utara.
Melalui program MBMF pula, Yayasan Mendaki telah menghabiskan dana 38 juta dolar Singapura untuk membiayai lebih dari 50 program pendidikan dan pelatihan demi meningkatkan keterampilan dan kesejahteraan bagi umat Islam Singapura yang kurang mampu.
Sejak 1 Juni 2016 lalu, sumbangan “pembinaan masjid” dari umat Islam –khususnya dari para karyawan muslim—Singapura melalui MBMF tersebut dinaikkan. Karyawan dengan gaji kurang dari 1.000 dolar Singapura per bulan dikenakan iuran 3 dolar. Semakin besar gaji semakin besar pula sumbangannya sehingga karyawan dengan gaji di atas 10.000 dolar Singapura dikenakan tarif sumbangan bulanan 26 dolar.
Dengan kenaikan sumbangan itu, menurut Menteri Hubungan Muslim Singapura, Yaacob Ibrahim seperti dikutip Republika.co.id dari The Strait Times (Sabtu 12/3/2018), ditargetkan setiap tahun terhimpun dana 26,2 juta dolar Singapura atau sekitar Rp 275 miliar. Luar biasa.
Penulis : Widodo Asmowiyoto – Wartawan senior, mantan pemimpin redaksi Pikiran Rakyat Bandung.