Ceknricek.com — Pemilu presiden sudah kelar. Tahun depan, Joko Widodo tetap Presiden Republik Indonesia. Sang wakil, Jusuf Kalla diganti Kiai Ma’ruf Amin. Insya Allah, kondisi politik akan lebih adem. Bagi kebanyakan rakyat tentu senang, karena tidak ada lagi kebijakan anggaran yang direkayasa untuk memenangkan sang petahana.
Hanya saja, Pegawai Negeri Sipil atau PNS harap memaklumi. Gaji tahun depan tetap, alias tidak bergerak. Tidak tambah, tidak juga berkurang. Hal yang patut disyukuri, pemerintah tetap menganggarkan Tunjangan Hari Raya atau THR atau juga gaji ke-14 dan gaji ke-13.

Begitulah poin PNS, dalam Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 beserta Nota Keuangan yang disampaikan Presiden Jokowi kepada parlemen pada Jumat (16/8) pekan lalu.
Menurut Nota RAPBN itu, alasan di balik tetap diberikannya THR dan gaji ke-13 cukup ciamik, yakni untuk meningkatkan kualitas peran pemerintah sebagai agen pembangunan dalam hal penyediaan layanan birokrasi yang efisien dan optimal.
Baca Juga: Wapres JK: PNS Harus Melayani Bukan Dilayani
Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan reformasi birokrasi pada tahun 2020 sebesar Rp261,295 triliun, atau meningkat 5,1% dibandingkan dengan perkiraan pada 2019 sebesar Rp248,538 triliun.
Alokasi tersebut digunakan untuk memenuhi pembayaran gaji dan tunjangan, serta pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang antara lain terkait dengan penataan kelembagaan, pengelolaan kinerja, serta perumusan kebijakan hingga pengendalian/pengawasan reformasi birokrasi pada Kementerian/Lembaga.
Pemerintah bertekad melanjutkan dan meningkatkan program reformasi birokrasi. Program ini dalam proses bisnis pemerintahan di tahun 2020 disusun dengan berorientasi pada masa depan yang berbasis teknologi dan mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat secara cepat, efektif, dan efisien.
Pemerintah menyadari, ASN yang berintegritas dan produktif sebagai hasil reformasi birokrasi merupakan salah satu kunci untuk mendorong keberhasilan reformasi fiskal. Melalui birokrat yang lebih efisien, pemerintah dapat menciptakan penghematan belanja di Kementerian/Lembaga.

Hal ini akan mendorong terciptanya belanja pemerintah yang lebih baik (better spending), yaitu belanja yang tujuan utamanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Bima Haria Wibisana, mengatakan menyambut baik dipertahankannya tunjangan ke-13 dan ke-14. Namun, secara pribadi dia menghendaki ada kenaikan gaji yang besarannya disesuaikan dengan tingkat inflasi. “Ini kan ada inflasi nih ya mungkin kalau pemerintah bisa menutup gaji pokok PNS yang tergerus inflasi kan akan lebih baik lagi. Tapi itu kan sebagai pribadi dan sebagai sekjen KORPRI. Itu kalau maunya PNS ditanya begitu,” katanya, Senin (19/8).
Menurut BKN, jumlah PNS per 31 Desember 2018 tercatat 4.185.503 pegawai. Dari jumlah pegawai tersebut 939.236 PNS bertugas di Instansi Pusat (22,44%). Sedangkan sisanya alias 3.246.267 pegawai bertugas di Instansi Daerah (77.56%).
Pelit
Asal tahu saja, selama masa kepemimpinan Jokowi periode 2014-2019, hanya dua kali gaji PNS mengalami peningkatan. Kali pertama adalah pada tahun 2015. Kala itu gaji PNS naik tipis sekitar 5%.
Kenaikan kedua pada Maret 2019 lalu. Ya, menjelang Pilpres 2019. Besaran kenaikan juga hanya 5%. Perubahan gaji itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 tahun 2019 tentang gaji PNS.

Jokowi relatif pelit kepada PNS. Hal itu berbeda dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selama periode 2005-2014, atau 10 tahun, gaji pegawai nyaris selalu naik. Hanya pada tahun 2006 saja SBY absen meneken peraturan kenaikan gaji PNS. Namun pada 2007, gaji PNS langsung dikatrol 21%.
Memang sih, kondisi ekonomi pada masa SBY dan Jokowi berbeda. Pada periode 2004-2014, tingkat inflasi nasional jauh lebih tinggi dibanding periode 2015-2019. Bila dirata-rata, tingkat inflasi pada era SBY I ( 2005-2009) mencapai 8,82% YoY, sedangkan era SBY II (2010-2014) menyentuh angka 6,34%. Bahkan inflasi tertinggi pada era SBY berada di posisi 17,11%, yaitu pada tahun 2005. Bandingkan dengan inflasi pada saat Jokowi memegang kekuasaan (2015-2018) yang rata-ratanya hanya sebesar 3,27%. Paling tinggi juga hanya 3,35% pada tahun 2015.

Baca Juga: Menkeu Sebut 93 Persen PNS Sudah Terima Pencairan Kenaikan Gaji
Artinya, tekanan untuk menaikkan gaji terbilang jauh lebih rendah pada periode Jokowi. Pasalnya, kenaikan gaji sejatinya merupakan instrumen untuk melakukan penyesuaian tingkat pendapatan terhadap keadaan ekonomi saat itu.
Jika harga-harga kebutuhan menjulang tinggi secara nasional, maka sudah seharusnya instrumen ekonomi seperti penyesuaian gaji dilakukan. Sebaliknya, saat inflasi tetap dijaga pada tingkat yang rendah, maka urgensi penyesuaian pendapatan juga relatif rendah.
Kelebihan Jokowi adalah memberlakukan THR alias gaji ke-14. Berbeda dengan gaji ke-13 yang diberikan sekitar Juli-Agustus, THR merupakan upah yang diberikan menjelang Idulfitri, yang jadwalnya selalu berubah-ubah tiap tahunnya.
Sejak 2018, besaran THR yang diberikan adalah sejumlah gaji pokok beserta tunjangan lainnya. Bila dihitung-hitung, pemberian THR akan serupa nilainya dengan menaikkan gaji sebesar 7,6% per tahun. Jadi, Jokowi ternyata nggak pelit-pelit amat.
BACA JUGA: Cek EKONOMI & BISNIS, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.