Pro dan kontra usulan penundaan pemilu membuat beberapa pakar mencoba menganalisisnya dari sisi akademi dan politis. Salah satunya dari Yusril Ihza Mahendra. Berikut tulisan panjangnya yang dibagi dalam lima (5) bagian:
Ceknricek.com–Saya membayangkan keadaan buruk yang mungkin akan terjadi sebagaimana saya uraikan di atas, apabila Pemilu ditunda. Mungkin saya pesimis terlalu berlebihan. Tetapi membayangkan keadaan paling buruk itu, perlu bagi kita untuk mengantisipasi jangan sampai itu terjadi.
Ambillah contoh ketika kita menghadapi krisis ekonomi yang membawa dampak luas pada stabilitas politik di tahun 1997-1998. Krisis politik dan keamanan itu berakhir hanya dalam waktu beberapa menit saja.
Presiden Soeharto membacakan Pidato Pernyataan Pengunduran Diri sebagai Presiden RI, dan kemudian disusul oleh pengucapan sumpah Wakil Presiden BJ Habibie sebagai Presiden RI di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung.
Panglima ABRI Jenderal Wiranto membacakan statement menyatakan peralihan kekuasaan itu sah, ABRI menyatakan tunduk kepada Presiden yang baru, BJ Habibie.
Krisis politik berakhir dengan damai dalam waktu tidak sampai 1 jam. Presiden Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun kehilangan konstitusionalitas dan legalitas jabatan, kedudukan dan kekuasaannya.
Walaupun ada yang suka dan tidak suka kepada BJ Habibie, tetapi itu persoalan politik. Yang paling fundamental dia memegang jabatan Presiden secara sah, legal dan legitimate.
Hanya ada beberapa guru besar hukum seperti Prof. Dr. Dimyati Hartono dari UNDIP, Prof. A. Muis dari UNHAS dan Prof. Dr. I Gde Atmadja dari UNUD yang menolak, tetapi pendapatnya saya sanggah melalui polemik.
Sanggahan terhadap mereka juga datang dari Prof. Dr. Ismail Suny, Prof. Dr. Harun Alrasyid dari UI dan Prof. Dr. Laica Marzuki dari UNHAS. Para politisi yang menganggap berhentinya Presiden Soeharto tidak sah antara lain Prof. Dr. Subroto dan Prof. Dr. Emil Salim, dua mantan menteri Soeharto, dan Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta.
Secara berseloroh saya katakan kepada Ali Sadikin, saya heran beliau mengatakan cara berhentinya Presiden Soeharto tidak sah. Kalau tidak sah berarti Soeharto masih Presiden RI yang sah. Apa itu yang Pak Ali Sadikin mau?
Tahun 1998 itu ada 100 orang advokat yang menamakan dirinya “Advokat Reformasi” yang menggugat keabsahan berhentinya Presiden Soeharto ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memanggil saya untuk didengar keterangannya mengenai proses, prosedur dan landasan hukum berhentinya Soeharto dan keabsahan pergantiannya oleh Wapres BJ Habibie. Saya memenuhi permintaan majelis hakim. Akhirnya Majelis hakim memutuskan menolak gugatan 100 Pengacara Reformasi itu.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis berpendapat bahwa prosedur berhentinya Presiden Soeharto dan digantikan BJ. Habibie adalah sah menurut hukum. Saya kemudian bertanya kepada Suhana Natawilana, SH, salah seorang tokoh penggugat, apakah akan ajukan banding. Dia bilang tidak, mereka menerima putusan PN Jakarta Pusat itu.
Banyak orang yang tidak tahu bahwa polemik keabsahan berhentinya Presiden Soeharto dan naiknya BJ Habibie itu akhirnya masuk ranah pengadilan dan ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Saya mengungkapkan kembali peristiwa berhentinya Presiden Soeharto dan digantikan BJ. Habibie itu sebagai catatan sejarah bahwa legalitas dan legitimasi penyelenggara negara itu sangat penting untuk mencegah meluasnya konflik politik.
Persoalan penundaan Pemilu yang berimplikasi kepada legalitas dan legitimasi kekuasaan ini tidak bisa diselesaikan dengan usulan-usulan Ketua-ketua Umum Parpol yang sarat dengan kepentingan politik. Meskipun usul itu kemudian disepakati oleh semua partai yang punya wakil di DPR, DPRD dan MPR, tetapi kesepakatan itu bukanlah kesepakatan lembaga-lembaga negara yang resmi dan legitimate untuk mengambil keputusan menurut UUD 45.