Rangkaian ‘NGOPI’ Imajiner bersama Gus Dur
Ceknricek.com– Setidaknya seminggu dua minggu terakhir, banyak peristiwa ‘aneh bin ajaib’ berlangsung di persada Nusantara tercinta: heboh kerangkeng besi bak penjara di rumah salah satu bupati, lalu marahnya Bu Susi mantan menteri sekaligus pengusaha jempolan gegara salah satu pesawatnya diusir dari hanggar, hingga temuan PPATK tatkala RDP (rapat dengar pendapat) dengan anggota dewan perwakilan rakyat terkait temuan transfer dana ilegal pejabat negara ke salah satu pacarnya. Hal tersebut memantik saya untuk minta pencerahan dari Gus Dur, beliau langsung saja menyambarnya.
“Hareee gene korupsi buat pacar…apa kata dunia???’’ tukas beliau.
‘’Sebenarnya saya agak malas membahas korupsi Mas, sudah jengah, sudah muak, mau dibahas dalam perspektif apapun si biang dari segala biang ini takkan habis atau punah sepanjang sejarah umat manusia. Namun, demi memberi edukasi dan memarakkan pertukaran gagasan, baiklah kita mulai dari asal-muasal kata korupsi itu sendiri yang bermula dari bahasa Latin corruptus yang bermakna ‘patah’ atau ‘menjadi rusak’. Tepatlah demikian, karena proses korupsi sejak titik awal hingga hasil akhirnya terlepas tertangkap tangan atau tidak adalah bersifat merusak seluruh elemen yang terlibat di dalamnya, semua menjadi busuk.
Jadi bila ada pejabat publik yang mentransfer hasil korupsinya untuk si pacar, entah gelap atau terang hehehe.., maka dia akan ikut dalam pusaran arus pembusukan yang terjadi dalam untaian proses korupsi tersebut. Korupsi, penggunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi, merefleksikan keburukan bukan hanya pelaku-pelaku secara individual, tetapi juga kelompok atau organisasi, entah itu privat ataupun publik. Justru yang terakhir inilah yang paling berbahaya karena melibatkan banyak orang dari berbagai level dan berkaitan dengan sistem organisasi.
Pada titik ini, korupsi bersifat sistemis karena sudah menjadi bagian utuh atau sesuatu yang inheren dalam sistem organisasi pelayanan publik, sehingga orang yang terlibat dalam sistem yang korup itu tidak lagi menyadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan tindakan korupsi. Karena itu tidak mengherankan kalau banyak orang yang baik, jujur, sopan, berintegritas dan taat beragama terjerumus ke dalam tindakan pidana korupsi ketika mereka masuk ke dalam birokrasi atau terjun ke dunia politik praktis entah sebagai anggota dewan ataupun pejabat publik lainnya. Sistem yang korup mengkondisikan orang untuk terlibat dalam tindakan-tindakan korupsi. Kendati demikian, menjadi tanya kritis-reflektif bagi kita semua: apakah cukup valid untuk mempersalahkan sistem organisasi publik dalam negara atau birokrasi sebagai penyebab merajalelanya korupsi?
Sudah disahkan undang-undang anti korupsi serta berbagai peraturan lainnya, dilengkapi pula dengan badan anti rasuah nan megah, KPK. Tak kurang pula diperkuat dengan standar internasional anti suap ISO 37000, tetapi tindak korupsi tetaplah terjadi, bahkan makin bersifat sistemik, tersamarkan, dan berkelindan dengan berbagai modus yang susah terendus. Ataukah, sebagaimana pernah diamini berbagai ahli serta para filsuf, sungguhkah akar dari sikap korup adalah sisi- sisi gelap manusia sendiri yang telah ditolak dan disangkal, sehingga kini merangsek keluar tanpa bisa dikontrol, bahkan oleh manusia itu sendiri selaku subyek alias aktor otonom yang bebas memilih tindakannya?
Beberapa filsuf terkemuka, perlu pula disinggung disini, mencoba menelisik akar sekaligus pangkal sifat koruptif manusia, mulai dari Nietzche yang mengkritisi hasrat berkuasa yang bercokol di dalam diri manusia. Lalu ada De Sade dan Elias Canneti yang menyoroti perihal nafsu insani untuk meraup kenikmatan berpadu dengan sisi hewani yang tak tertata, tak terkendali. Sejatinya, local genius alias kearifkan lokal nenek-moyang kita juga telah menandaskan hal ini dalam ajaran ‘tiga ta’, harta-tahta-dan wanita sebagai sumber segala sumber kemungkaran di dunia fana ini. Jangan kita lupakan pula pemikiran jenial Hannah Arendt yang mengkritik tentang kemalasan dan kebanalan pemikiran manusia. Selanjutnya ada Ricoeur dan Zizek yang mendaraskan perihal kekosongan jiwa manusia sebagai titik mula meruyaknya tindak korupsi.
Nah, selain sisi si subyek, tindak koruptif juga tak lepas dari sistem. Dalam hal ini, ulasan tentang Adorno si penggerak Mazhab Frankfurt nan kesohor, dapat ditempatkan sebagai pemikiran tentang sistem yang total, yang mana dalam ketotalan tersebut justru tidak menyisakan ruang tafsir untuk keluar dari persoalan, yakni korupsi bisa menjadi “semangat jaman” yang berjalan secara perlahan menjadi suatu bentuk kejahatan sistemik. Secara lugas, Adorno menyatakan bahwa kejahatan telah menjadi total dalam sistem pemikiran (radical evil), sistem pemikiran itulah yang mentotalisasi kejahatan sehingga menjadikan kejahatan sebagai sesuatu yang ‘sah’.
Ibarat telur dan ayam, barangkali terlalu naif dan simplistis bila kita mempersalahkan sistem karena sistem adalah ciptaan manusia dan bisa diubah kapan saja jikalau subyek-subyek yang menjalani dan berada di dalamnya berkemauan baik untuk menata organisasi publik ke arah yang sehat dan tidak menjadi sarang tikus. Pun demikian, kita tak bisa sepenuhnya berharap bahwa sang subyek sungguh suci dan anti korupsi. Kedua sisi itulah yang mesti secara konsisten dibenahi guna memerangi praktik korupsi, lagi, pendidikan sejak dini memegang kunci,’’ demikianlah Gus Dur memungkasi paparan beliau sambil beranjak pergi.
*)Greg Teguh Santoso, pemikir bebas dan mengajar di beberapa perguruan tinggi sambil menyelesaikan studi doktoral