Close Menu
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
Tentang Kami Kontak Kami
  • APP STORE
  • GOOGLE PLAY
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
CEK&RICEKCEK&RICEK
Trending:
  • 8 Tempat Berburu Takjil di Jakarta Saat Ramadhan
  • Bareskrim Tangkap Direktur Persiba Balikpapan Terkait Kasus Narkoba
  • Dialog Ramadan Lintas Agama: Puasa sebagai Sarana Menahan Diri dan Membangun Kebersamaan
  • Rantai Korupsi Tambang Nikel
  • Lady Gaga Bakal Gelar Konser di Singapura pada Mei 2025
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
Home»Opini

Helmy Yahya (1)

Opini January 21, 20206 Mins Read

Ceknricek.com — Mungkin luput dari perhatian kita.

Cobalah amati papan reklame yang bertebaran di sepanjang jalan tol dan pusat keramaian. Jika kebetulan sedang melintas di sana, saat kalian melakukan kegiatan sehari-hari.

Perkiraan sementara saya, kini hanya 1 atau 2 dari setiap 10 papan-papan reklame itu, yang masih dimanfaatkan untuk iklan produk atau jasa. Sisanya kosong. Atau sekadar memuat nomor kontak yang bisa dihubungi jika ada yang berminat ingin menggunakannya.

+++++

Hingga sekitar 5-10 tahun lalu, selain tak beraturan dan jauh dari kesan tertata, papan-papan reklame itu tampil seronok dan sesuka hatinya. Mereka seperti saling berebut perhatian dari masyarakat yang berlalu-lalang. Ragam imaji yang terpampang, merupakan pesanan dari perusahaan-perusahaan yang ingin memperkenalkan, mempertahankan, memperluas pasar, hingga sekadar mengingatkan yang berlalu lalang di depannya tentang keberadaan produk atau jasa mereka.

Masing-masing menyatakan diri sebagai yang terhebat, terbaik, paling memuaskan, tak pernah mengecewakan pelanggan dan serba nomor 1 lainnya. Tentu tak ada yang sudi mengaku diri sebagai nomor dua. Produk atau jasa yang ala kadarnya, atau hanya biasa-biasa saja.

Helmy Yahya
Sumber: Istimewa

Baca Juga: Reposisi Peran Dewan Pengawas TVRI dan RRI

“Kualitas” komunikasi untuk masyarakat kita, pada umumnya memang baru pada tahap itu. Rayu habis-habisan. Hiperbolistik. Hard selling. Bahkan munafik. Karena tak mengakui kebenaran yang sesungguhnya.

Sesekali memang ada yang menggunakan pendekatan asosiatif terhadap gaya dan nilai-nilai kehidupan. Atau memamerkan prestasi nyata yang membuktikan eksistensi sistem nilai dan karakternya. Tapi hal tersebut biasanya disampaikan oleh produk maupun jasa dari perusahaan-perusahaan yang memiliki idealisme, integritas dan bernapas panjang.

Pendekatan asosiatif kadang dilakukan, bukan karena pilihan. Tapi dipaksa oleh regulasi. Sebab mereka tak boleh menyebut produk atau jasa yang dijajakan. Seperti yang diterapkan perusahaan rokok dan penyedia minuman beralkohol pada strategi komunikasi pemasaran mereka.

+++++

Tapi kita bisa menyaksikan semua itu, pada periode sekitar 5-10 tahun yang lalu dan sebelumnya. Ketika reklame luar ruang berdiri di mana saja dan kapan saja. Tak peduli kepada pemilik maupun arsitek bangunan-bangunan yang dipunggunginya. Seberapapun keras upaya mereka ingin menampilkan keistimewaan tampak luar rancangannya. Kepada siapa saja yang berkunjung bahkan sekadar melintas 

Begitulah kesederhanaan cara masyarakat kita menyikapi segala yang terkait dengan “kebahagiaan” umum. Bentuk dan rancangan bangunan yang terlihat dari luar adalah tentang hal itu. Tapi mulai dari aparat pemerintah yang menangani perizinan, hingga pengiklan yang memanfaatkannya, tak peduli dengan polusi “lingkungan visual” yang mereka sebabkan.

Membicarakan “kebahagiaan” umum memang terlalu jauh. Sebab, tentang upaya memelihara “kepentingan” umum saja, kita tak kunjung memadai. Lihatlah tumpukan sampah plastik pada sungai maupun saluran-saluran air pembuangan, saat banjir melanda kemarin.

Helmy Yahya
Sumber: Istimewa

Baca Juga: Hadapi ‘Gugatan’ Helmy Yahya, Dewas TVRI Akan Tunjuk Kuasa Hukum

Ketidak-perdulian itu, justru semakin nyata, ketika minat menggunakan papan-papan reklame tersebut, menurun drastis seperti sekarang ini. Bukan saja karena perekonomian yang lesu (sejatinya, setiap kali bisnis meloyo, anggaran yang pertama kali dikorbankan memang belanja iklan). Tapi juga karena pengaruh disrupsi dalam komunikasi pemasaran umumnya, setelah kehadiran teknologi informasi dan media sosial.

Maka papan-papan reklame di sepanjang jalan tol yang sepi peminat itu, banyak yang dibiarkan kosong melompong, tak terurus dan berantakan. Walau mencipta kesan kumuh yang tak sedap dipandang, tapi tak satu pun pejabat negara yang memperdulikannya. Mulai dari presiden yang tentu sering berlalu-lalang di sana, sampai lurah dari kawasan tempat papan-papan reklame itu berada.  

Bukankah kesan berantakan, unorganized, hingga kumuh itu, yang justru pertama kali akan dilihat oleh para tamu negara maupun investor, ketika mereka datang ke Jakarta maupun kota besar lainnya?

+++++ 

Lalu, apa urusan media luar ruang yang berantakan dan tak terurus itu, dengan Helmy Yahya?

Begini.

Sebelum media sosial berkembang, belanja iklan terbesar selalu dibukukan pada media televisi. Sejak awal 1990-an, ketika lembaga penyiaran swasta diizinkan mengudara secara nasional, pangsa perolehan iklan mereka, memang terus meningkat tajam. Apalagi setelah Reformasi 1998 dan pemerintahan BJ Habibie mengeluarkan 5 izin penyiaran nasional baru, pada tahun 1999-nya.

Bukan soal jumlah stasiun televisi nasional yang meningkat dari 5 menjadi 10. Belum lagi ditambah dengan kanal-kanal stasiun televisi lokal yang menjamur di berbagai daerah. Tapi soal kemerdekaan konten penyiaran yang hadir sekonyong-konyong di media tersebut. 

Sebelum reformasi, selain kontrol pemerintahan berkuasa yang ketat dan cenderung otoriter, terdapat batas imajiner yang menyebabkan sejumlah klasifikasi tayangan berkembang. Waktu itu, seluruh stasiun swasta diwajibkan me-relay dua siaran berita dari TVRI. Berita Nasional pada jam 19.00 dan Dunia Dalam Berita pada jam 21.00. Masing-masing kurang lebih berdurasi 30 menit. 

Helmy Yahya
Sumber: tvri.go.id

Kedua program yang wajib di-relay tersebut, tanpa disadari sebetulnya membangun pembatas bagi jenis tayangan stasiun-stasiun swasta yang mengudara. Program-program hiburan yang paling banyak diminati –sinetron, sitkom (situasi komedi), telenovela, maupun film layar lebar– umumnya ditempatkan antara jam 19.30 dan 21.00. Yakni pada jam tayang yang diapit oleh kedua program berita TVRI yang wajib di-relay tadi.

Baca Juga: Mana Suka Siaran TVRI

Masyarakat pemirsa televisi pada umumnya melakukan kegiatan sehari-hari, sejak pagi hingga sore hari. Jam tayang antara 19.00 hingga 21.00 tersebut memang saat yang ideal untuk berkumpul dengan keluarga di rumah. Maka seluruh pengelola stasiun televisi di Indonesia sangat menyadari jika tingkat kepemirsaan tertinggi adalah pada rentang waktu tersebut.

Maka persaingan upaya terbaik yang mereka lakukan adalah dalam hal menyajikan tayangan di sana. Tentang bagaimana membaca selera mayoritas pemirsa sehingga stasiun mereka menjadi yang paling banyak ditonton. Hal yang sampai hari ini, pengukurannya –seperti TV rating, audience share, dst– masih dilakukan oleh lembaga asing yang bernama Nielsen. 

Sinetron, film layar lebar, sitkom, hingga telenovela tadi, merupakan jenis tayangan yang paling digemari oleh sebagian besar pemirsa yang tersedia dan ingin menonton televisi, pada jam tersebut. Demikianlah penjelasan sederhana tentang alasan yang menyebabkan sinetron dan jenis tayangan lain yang disebutkan di atas tadi, paling banyak mengudara pada pita jam tayang 19.30 – 21.00 itu. 

+++++

Ruang tayangan imajiner yang terbangun gara-gara ketentuan relay kedua siaran berita TVRI dulu, menyebabkan dua hal. Pertama, sebagai penanda batas waktu menyaksikan siaran televisi bagi pemirsa. Khususnya mereka yang memiliki aktivitas rutin sehari-hari. Misalnya para pegawai dan anak sekolah yang harus meninggalkan rumah pagi-pagi. Termasuk para ibu rumah tangga yang perlu mempersiapkan kebutuhan suami dan anak-anaknya. Hal tersebut kemudian menjelaskan, mengapa tingkat kepemirsaan televisi setelah jam 21.30 waktu itu, rata-rata langsung menurun sekitar 50% dari jam tayang utama (prime time) sebelumnya.

Ada yang menarik. Pemirsa televisi setelah jam 21.30 umumnya didominasi kalangan berlatar pendidikan tinggi, dan dari status sosial-ekonomi menengah ke atas. Pemirsa pria juga cukup dominan dibanding jam tayang lainnya. Sebagian besar pengambil keputusan dan jabatan tinggi juga paling banyak menyempatkan waktu untuk menyaksikan siaran televisi saat Dunia Dalam Berita TVRI mengudara dan setelahnya. 

Helmy Yahya
Sumber: Istimewa

Kedua, mengacu pada pola kepemirsaan seluruh televisi Nasional tersebut, maka masing-masing pengelola pun berupaya menyiasati. Misalnya RCTI. Setelah jam 21.30 mereka lebih banyak menayangkan program-program yang lebih berkualitas dan membuka wawasan pemirsa. Seperti LA Law dan ER. Program yg pertama diangkat dari drama sehari-hari pada lembaga hukum di Los Angeles dalam menghadapi kasus-kasus yang mereka tangani. Sementara ER, singkatan Emergency Room, mengangkat kisah-kisah yang berlangsung di unit gawat darurat salah satu rumah sakit.

Program Dialog dan liputan investigatif (Liputan Khusus) juga ditempatkan pada pita jam tayang tersebut. Walaupun dilakukan dengan sangat hati-hati sesuai ketentuan dan rambu-rambu penguasa yang represif saat itu. 

BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini

#helmyyahya #papanreklame #tvri Opini
Share. Facebook Twitter Telegram WhatsApp Email

Related Posts

Rantai Korupsi Tambang Nikel

Ironi Dunia Penerbangan Indonesia

Generasi Beta, Selamat Datang

Add A Comment
Leave A Reply Cancel Reply

Sedang Tren

8 Tempat Berburu Takjil di Jakarta Saat Ramadhan

Ceknricek.com — Menjelang waktu berbuka puasa, berburu takjil menjadi salah satu tradisi yang paling dinantikan selama…

Bareskrim Tangkap Direktur Persiba Balikpapan Terkait Kasus Narkoba

March 10, 2025

Dialog Ramadan Lintas Agama: Puasa sebagai Sarana Menahan Diri dan Membangun Kebersamaan

March 10, 2025

Rantai Korupsi Tambang Nikel

March 10, 2025

Lady Gaga Bakal Gelar Konser di Singapura pada Mei 2025

March 10, 2025

Nikita Willy Bagikan Tips Tetap Bugar Saat Berpuasa

March 10, 2025

Hasil Liga Italia: Atalanta Permalukan Juventus 4-0

March 10, 2025

Ironi Dunia Penerbangan Indonesia

March 10, 2025
logo

Graha C&R, Jalan Penyelesaian Tomang IV Blok 85/21, Kav DKI Meruya Ilir, Jakarta Barat. redaksi@ceknricek.com | (021) 5859328

CEK & RICEK
Telah diverifikasi oleh Dewan Pers
Sertifikat Nomor
575/DP-Verifikasi/K/X/2020

Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
© 2017-2025 Ceknricek.com Company. All rights reserved.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.