RNI (Rangkaian Ngopi Imajiner bersama Gus DUR)
Ceknricek.com–“Mas..tahu nggak, mantan pacar saya dulu berulang-tahun di bulan Oktober lho, bintangnya Libra,” celetuk Gus Dur di suatu pagi.
“Bulan Oktober saat ini masih berjalan, belum usai, rintik hujan terus mengguyur sebagian besar wilayah Nusantara dan memicu banyak bencana metro-hidrologi, seperti banjir, tanah longsor. Selain itu, bulan Oktober ini begitu banyak peristiwa penting terjadi. Diawali tragedi stadion Kanjuruhan di Malang Jawa Timur yang meminta banyak korban tepat di hari perdana Oktober. Belum usai hiruk-pikuknya, disambung dengan tertangkapnya Irjen Teddy Minahasa yang ditempatkan sebagai Kapolda Jatim menggantikan Kapolda sebelumnya yang diganti gegara tragedi Kanjuruhan..eehh belum dilantik malah ditangkap karena kasus narkoba. Polri jelas dalam sorotan dan beban berat serta kompleks. Belum lagi hiruk-pikuk soal politik pencapresan 2024, Ganjar Pranowo dipanggil ke kantor pusat partainya nih…Bang Surya juga pening dan bingung pasca usung Anies..,” celoteh beliau lagi, saya tetap tertegun menyimak.
“Di luar negeri, Ratu Elizabeth II yang telah bertahta selama 70 tahun pada gilirannya meninggal dunia dan digantikan oleh Pangeran Charles yang menjadi raja. Dua hari sebelumnya, Inggris mengangkat Perdana Menteri Perempuan setelah era Margaret Thatcher yakni Liz Truss. Namun, 45 hari sesudah ia menggantikan Boris Johnson, malah mengundurkan diri, dipicu ketidak-mampuannya membalikkan situasi perekonomian yang kian buruk. Saat ini Inggris menghadapi krisis biaya hidup, dengan inflasi bulan September lalu mencapai 10,1% (year on year). Suatu rekor terburuk dalam 40 tahun terakhir! Pada bulan ini pula Italia, untuk pertama kalinya dalam sejarah, dipimpin oleh seorang Perdana Menteri perempuan: Giorgia Meloni yang mesti berjibaku menghadapi ancaman stagflasi perekonomian global yang mengoyak kesejahteraan umat manusia.
Sungguh bulan Oktober ini amat penuh pernak-pernik bersejarah baik dalam konteks internasional maupun nasional, dunia penuh warna-warni, penuh tragedi kehidupan. Pada titik inilah saya jadi teringat dengan pemikiran idola saya: Nietzsche, yang ditulisnya dalam bukunya yang pertama: The Birth of Tragedy From The Spirit of Music pada 1872. Penerimaan ataupun penolakan manusia akan tragedi dan ke-amburadul-an hidup ini, menjadikan manusia akan semakin lebih kuat, menurutnya.
Namun penerimaan kontradiksi-kontradiksi kehidupan, yang di dalamnya mengandaikan adanya penderitaan, dalam terminologi tragedi Nietzschean belumlah cukup. Penerimaan kontradiksi-kontradiksi kehidupan haruslah disertai pen-sublimasian berupa penciptaan ilusi sebagai penyelubung kehidupan yang didalamnya termuat penderitaan eksistensi dalam bentuk mimpi-mimpi. Kontradiksi-kontradiksi kehidupan de facto tidak bisa dijinakkan dengan mengandalkan senjata rasionalitas semata karena rasionalitas mempunyai batas-batas dan lagi pula, manusia adalah kehidupan itu sendiri sehingga untuk menciptakan kedirian (the self) manusia harus masuk dalam kehidupan itu sendiri. Jadi titik pijak yang tepat untuk memahami tragedi Nietzschean adalah penerimaan eksistensi akan kontradiksi-kontradiksi kehidupan itu sendiri yang dalam istilah Heidegger disebut dengan “that-it-is” murni dan sederhana, yaitu suatu titik awal yang tak dapat direduksi.
Pertanyaan lebih lanjut, apakah eksistensi manusia sebagai homo mensura lantas menjadikannya tragedi di dunia ini? Atau, dengan kata lain, kemunculan manusia menandai kelahiran tragedi? Hal ini mengingat, kemampuan setiap manusia dalam menafsir lewat pikiran dan perasaannya secara otonom, cepat atau lambat, disukai atau tidak; pastilah bakal melahirkan perpecahan, bahkan yang terparah: pertumpahan darah sebagaimana dipaparkan di awal. Jarak antara kita dan peristiwa yang telah terjadi menjadi silam seperti kaca yang pekat berembun, dengan kepungan kabut tebal dalam rinai hujan yang menggusarkan kejernihan rasionalitas. Di situ, dalam temaram yang kelam, upaya menemukan kembali asal-usul sesuatu selalu berupa upaya coba-coba dalam kegagapan. Tidak ada jalan kembali ke asal-usul murni.
Pada gilirannya, kita seyogyanya memahami Mas, bahwa dunia fana ini adalah hasil dari pikiran dan tindakan kita bersama. Kita pun hidup di bawah pengaruh besar dari dunia yang kita ciptakan. Oleh karena dunia itu adalah hasil dari pikiran dan tindakan kita bersama, maka ia tidak mutlak, perubahan lalu menjadi kemungkinan yang menunggu untuk diwujudkan. Perubahan inilah yang abadi, entah diinginkan atau tidak.
Pada konteks inilah, kita bisa memahami adanya berbagai Langkah tindak-lanjut terkait Tragedi Kanjuruhan, perobohan stadion dan pembangunan kembali sesuai standar keamanan. Atau, soal Ketum PSSI yang bakal mundur atau tidak, dan sebagainya. Masih menarik untuk kita nanti dan saksikan bersama sebagai bagian proses hidup yang tidak pasti. Menarik pula bila kita kutip apa yang dituliskan Nietzsche dalam buku The Birth of Tragedy From the Spirit of Music: ….tragedy able through the tragic hero, to deliver us from the intense longing for this existence, and to remind us with warning hand of another existence and higher joy, for which the struggling hero prepares himself by presentienly by his destruction, not by his victory,” demikian pungkas Gus Dur yang kemudian menghilang entah kemana.
Saya hanya bisa termangu, sungguh pas dan kena betul dengan situasi saat ini yang memang penuh tragedi kehidupan serta membuat saya pribadi galau nyaris setiap hari.
*)Greg Teguh Santoso, pemikir bebas, mengajar di beberapa universitas sembari terus menuntaskan studi S3-nya.