Cekricek.com — Ia merupakan tokoh utama dalam sejarah filsafat di Andalusia (Spanyol) pada abad pertengahan yang dikenal di Barat dengan nama Avempace. Selain filsuf, ia juga diketahui menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan seperti kedokteran, astronomi, musik, fisika, dan matematika.
Dialah filsuf muslim Abu Bakr Muhammad ibn alSayigh atau lebih dikenal dengan Ibnu Bajjah, yang kelak dari aktivisme pemikirannya akan memiliki pengaruh yang jelas pada karya-karya Ibnu Rusyd, Albertus Magnus, Galileo Galilei, hingga Thomas Aquinas.
Si Penyendiri Avempace
Ibnu Bajjah ‘Si Penyendiri’ merupakan filsuf muslim pertama di dunia Islam barat (Maghribi) yang muncul pada tiga atau empat dasawarsa pertama pada abad ke-12 di Andalusia. Ia lahir di Saragosa dalam abad ke-5 Hijriah, yang berasal dari keluarga al-Tujib yang dikenal sebagai pedagang emas. Di kota inilah kelak ia dikenal sebagai seorang ilmuwan, penyair, dan politikus yang sangat dekat dengan istana penguasa dan diangkat sebagai Perdana Menteri.
Tidak banyak yang diketahui bagaimana masa mudanya, dan siapa saja guru yang berjasa dalam membentuk sosok Ibnu Bajjah sehingga menjadi seorang filsuf andal. Namun, menurut beberapa riwayat, ia merampungkan jenjang akademisnya di Saragosa dan berkat hubungannya dengan pihak penguasa istana berjalan baik. Ia pun diangkat sebagai menteri pada dinasti Murabithun oleh Abu Bakar Yahya Ibnu Yusuf Ibnu Tasifin untuk waktu yang lama.
Sumber: Pinterest
Ibnu Bajjah adalah ahli yang menyadarkan pada teori dan praktik ilmu-ilmu matematika, astronomi, musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi spekulatif seperti logika, filsafat alam, metafisika, sebagaimana dikatakan De Boer dalam History of Philosophi in Islam (2019:249), bahwa dia sesuai dengan al-Farabi dalam tulisan-tulisannya tentang logika dan secara umum setuju dengannya, bahkan dengan doktrin fisika dan metafisikanya.
Selain menyandarkan filsafat dan logikanya terhadap karya-karya Al-Farabi dan memberikan sejumlah tambahan terhadap karya-karyanya, dia juga mengikuti jejak filsuf besar tersebut untuk menjadi seorang penyendiri. Namun, menurut beberapa ahli, pengamatannya memiliki karakter yang tidak beraturan; di satu waktu kadang ia memberikan pendahuluan, namun di tempat lain ia kadang mengulanginya lagi.
Akan tetapi, ia terus-menerus memperbaharui pendekatan tersebut dan lewat segala celah berusaha memasuki pemikiran Yunani dan sain kuno tanpa mengabaikan filsafatnya. Sekilas pandang, menurut De Boer, hal tersebut tampak menimbulkan kesan yang membingungkan. Namun dalam gerak hati muram yang menimpanya, ia telah menyadari jalan yang ditempuh dalam mencari kebenaran dan ketepatan. Hingga akhirnya sampai pada sesuatu yang lain-kesatuan dan kegembiaraan dalam hidupnya sendiri.
Hidup Mengembara
Menjelang akhir abad ke-11 ketika Ibnu Bajjah dilahirkan, kerajaan-kerajaan di Andalusia sedang mendekati saat-saat terakhirnya sebagai kerajaan dalam sistem negara-negara kecil. Dari Utara, negara ini terancam oleh para kesatria Kristen yang kurang beradab, namun sangat kuat dan berani. Setelah ia dewasa, sewaktu Saragossa berada di bawah kekuasaan Abu Bakar Ibnu Ibrahim al-Shahrawi (terkenal sebagai Ibnu Tifalwit) dari Daulah Al-Murahbithun, Ibnu Bajjah dipercayakan sebagai wazir (penasihat). Tetapi, pada tahun 512 H Saragossa jatuh ke tangan raja Alfonso I dari Arogan dan Ibnu Bajjah terpaksa pindah ke Sevilla.
Sumber: Deskgram
Di kota ini ia bekerja sebagai dokter, kemudian ia pindah ke Granada, dan dari sana ia pindah ke Afrika Utara, pusat Dinasti Murahbithun. Namun, malang bagi Ibnu Bajjah, setibanya di kota Syatibah ia ditangkap oleh Amir Abu Ishak Ibrahim Ibnu Yusuf Ibnu Tasifin yang menuduhnya sebagai murtad dan penyebar bid’ah, karena pikiran-pikiran filsafatnya yang asing bagi masyarakat Islam di sana yang sangat kental dengan sunni ortodoks. Akhirnya, berkat jasa Ibnu Rusyd yang pernah menjadi muridnyalah Ibnu Bajjah dilepaskan.
Di masa itu memang, di kalangan muslim, sejumlah orang mengkhususkan diri untuk mengkaji filsafat sangat terbatas. Tidak ada guru filsafat muslim yang dikerumuni banyak murid. Pertemuan-pertemuan kaum terpelajar untuk mendiskusikan pelbagai persoalan filsafat juga jarang dilakukan. Karena yang tinggal hanya kaum tradisionalis yang senatiasa hadir di depan publik, sementara para filsuf mengalami banyak persekusi atau dihukum mati, kecuali mau bersembunyi dari sorotan publik.
Kondisi masyarakat Baeber yang belum bisa berfikir filosofis tersebutlah, akhirnya yang membuat Ibu Bjjah melanjutkan pengembaraannya ke Fez di Maroko. Di sana ia masih dapat melanjutkan kariernya sebagai ilmuwan di bawah perlindungan penguasa Murabithun hingga akhir hayatnya. Ia meninggal pada 533 H (1138 M) di Fez, dan dimakamkan di samping makam Ibn ‘Arabi. Menurut satu riwayat, ia meninggal karena diracun oleh seorang dokter bernama Abu al-‘Ala Ibnu Zuhri yang iri hati terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya.
Sumber: Pinterest
Kehidupannya yang singkat, sebagaimana diakuinya sendiri, bukanlah kehidupan yang bahagia. Ia sering mendambakan kematian sebagai tempat perlindungan terakhirnya. Keinginan material dan isolasi sosial terhadap intelektualisme yang berat telah menghantui hidup dan meruntuhkan semangatnya. Tulisan-tulisannya yang sangat melimpah menunjukkan dengan jelas bahwa ia tidak merasa nyaman dengan zaman dan lingkungannya pada masa itu.
Karya-karya Ibnu Bajjah
Ibnu Abi Ushaybi’ah, seorang ahli sejarah muslim, banyak mencatat karya-karya ilmiah Ibnu Bajjah yang sebagian sampai sekarang masih tersimpan dan terpelihara dengan baik. Catatan lengkap tentang hidup dan kehidupannya, masih dapat dijumpai dalam buku Ibnu Khallikan, Biographical Dictionary jilid III terbitan 1842 M. Begitu pula dalam biografi karangan Ibnu Abi Ushaybi’ah yang diterjemahkan dalam bahasa Prancis oleh De Gayangs.
Sumber: Republika
Menurut Ibnu Thufail seorang filsuf besar yang sekaligus murid Ibnu Bajjah, ia menyampaikan bahwa gurunya adalah seorang filosof muslim yang paling cemerlang otaknya, paling tepat analisisnya, dan paling benar pemikirannya. Meskipun patut disayangkan atas pembahasan filsafatnya dalam beberapa bukunya tidaklah matang dan sempurna karena kematiannya yang begitu cepat.
Kontribusi Ibnu Bajjah pada filsafat, tulis Ibnu al-Imam sungguh sangat mencengangkan. Kontribusi itu mencakup sebuah para frase tentang fisika Aristoteles (Paraphase of Aristotle Physics), pokok-pokok pikiran al-Farabi dalam logika, makalah politik berjudul The Conduct of The Solitary (Arab: Tadbir al-Muthawahhid), dan Epistle on The Conjuction.
Sumber: Elevenia
Beberapa karya Ibnu Bajjah juga meliputi berbagai aspek, seperti: Risalat al-Wada’, yang membahas tentang penggerak pertama (Tuhan), manusia, alam, dan kedokteran; Kitab an-Nafs, menjelaskan tentang jiwa; Risalat al-Ittishal, uraian tentang hubungan manusia dengan Akal Fa’al; Tardiyyah, berisi tentang syair pujian; Majalah al-Majma’ al-‘Ilm al-‘Arabi; Kitab Tadbir al-Muwahhid, yang berisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu menjauhkan diri dari segala macam keburukan-keburukan dalam masyarakat negara, yang disebutnya Insan Muwahhid (manusia penyendiri).
Menurut Carra de Vaux, kitab Tadbir al-Mutawahhid, yang merupakan salah satu dari 24 risalah manuskrip di perpustakaan Berlin adalah salah satu manuskrip yang paling penting yang disimpan di sana. Isi risalah tersebut menurutnya cukup jelas, sehingga memungkinkan kita dapat mempunyai gambaran tentang usaha si penyendiri tersebut untuk bertemu dengan pemikiran yang menjadi salah satu unsur pokok bagi sebuah negeri yang ia dambakan.