Catatan untuk Pemerintah #3:
Ceknricek.com — Pada tanggal 15 Desember 2020, saya berangkat ke Medan bersama adik perempuan. Sebelumnya, dia heboh berkirim pesan. Agar saya mengunduh aplikasi e-HAC (health alert card) yang dikeluarkan Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI.
“Nanti abang isi semua ya. Lengkap dengan data penerbangan. Kata kawan Koko, biar ga ribet. Tinggal scan. Kalau ga gitu, nanti kita disuruh ngisi formulir berlembar-lembar.”
Sejak Maret 2020, saya memang tak pernah berpergian dengan pesawat. Tentu banyak yang saya tak paham. Termasuk protokol-protokol baru yang harus dipatuhi terkait pandemi sekarang.
+++
Pertama tentu kita diminta memasukkan data pribadi. Lengkap dengan identitas. Lalu di sana tersedia fasilitas dokumen setiap perjalanan yang akan dilakukan. Data unik yang perlu dimasukkan adalah alamat detail di kota tujuan. Juga sarana transportasi yang digunakan. Kemarin, saya memasukkan nama dan kode penerbangan, jam keberangkatan, hingga nomor tempat duduk.
Setelah diisi, data tersebut akan menciptakan barcode khusus. Petugas di bandara tempat kita mendarat nanti, tinggal memindainya saja.
+++
Tentu saya membayangkan sistem yang canggih. Apalagi ketika selesai membaca penjelasan tentang tujuan dan manfaat aplikasi tersebut. Berikut dengan syarat dan ketentuannya. Antara lain disebutkan soal kewenangan pemilik aplikasi menggunakan data-data kita yang ada di sana. Termasuk menggabung-gunakannya (merge) dengan data-data lain. Dalam rangka mengendalikan penyebarluasan penyakit yang menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat luas saat ini. Maksudnya tentu pandemi virus corona.
Aplikasi tersebut katanya juga akan memantau informasi lokasi di mana kita berada, dari waktu ke waktu.
Dengan membayangkan kecanggihan teknologi informasi yang digunakan sebagai alas aplikasi itu — dengan segala keluasan wewenang penggunaan data kita yang dimintanya — saya pun mengira pemindaian petugas dipintu keluar nanti sebagai bagian proses verifikasi semata. Bahwa saya sudah memasukkan data perjalanan yang dilakukan saat itu dengan benar.
+++
Keraguan pertama saya muncul, ketika harus melakukan verifikasi keterangan rapid test, sebelum masuk ruang tunggu. Petugas hanya memeriksa lembaran dan memberi stempel. Tak terlihat mencocokkannya dengan sistem pendataan berjaringan. Lewat desktop maupun gawai telfon yang bersangkutan. Juga tak menanyakan dokumen e-HAC perjalanan yang saya lakukan.
Fakta permulaan yang cukup bagi kecurigaan tak adanya integrasi 3 serangkai informasi rapid tes, bandara, dan e-HAC saya.
Saya pun mulai mengingat proses pendaftaran keberangkatan yang baru dilakukan.
Aha!
Baik perangkat otomatis untuk mencetak boarding pass, maupun petugas counter yang menerima bagasi, memang tak menggubris e-HAC juga.
Maka ketika petugas memindai barcode e-HAC perjalanan saya saat mendarat di Kualanamu, saya mahfum tak ada kecanggihan yang dibayangkan semula. Andaikata saya mengisinya dengan data perjalanan kereta api Yogya yang dilakukan bulan Februari lalu, kemungkinan besar sistem dibalik aplikasi e-HAC itu, tak menyadarinya.
Dugaan tersebut sebetulnya tak perlu pembuktian apa-apa lagi. Sebab, ketika penerbangan kembali dari Kualanamu ke Soekarno-Hatta dibatalkan, lalu saya dialihkan ke penerbangan lain 2 jam setelahnya, tak ada notifikasi apapun yang disampaikan aplikasi e-HAC itu.
Begitupun, saya tetap memperbaiki data penerbangan tersebut. Saat berjalan meninggalkan pesawat menuju pengambilan bagasi. Semata karena berfikir positif tentang pemanfaatan paling minimal aplikasi itu.
Siapa tahu penumpang yang duduk di sebelah saya, kemudian diketahui tertular virus corona. Kebenaran informasi penerbangan yang diberikan, akan memudahkan petugas untuk melakuksn pelacakan dan menginformasikan saya nantinya.
Tak ada ruginya bukan?
Meski demikian, saya sebetulnya semakin bulat meyakini, pemindaian yang dilakukan sebelum pengambilan bagasi, tak akan mengetahui kebenaran data yang saya isi.
+++
Dari hal di atas, kita sangat paham, betapa kedodoran dan berantakannya kerja aparat pemerintah, dalam upaya menanggulangi pandemi Covid-19 ini. Sistem pendataan yang kerap dikritik banyak kalangan itu, memang amat memprihatinkan. Mustahil kita berharap upaya penelusuran dapat dilakukan dengan semestinya. Kesia-siaan aplikasi e-HAC itu, hingga tahap ini, sudah terendus begitu nyata.
+++
Sebetulnya, berlatar syarat dan ketentuan yang diminta untuk disetujui penggunanya — sebagaimana dijelaskan di awal tadi — pemberdayaan aplikasi tersebut amat sangat pantas dan mungkin untuk dilakukan lebih jauh.
Pertama, pengintegrasiannya dengan dokumen kesehatan. Baik saat masih menggunakan standar rapid tes. Maupun swab Antigen yang berlaku sekarang.
Indonesia katanya sudah mengembangkan QRIS (quick response Indonesia standard) untuk sistem pembayaran. Tentulah tak sulit menduplikasinya untuk kebutuhan informasi dan pendataan dalam menanggulangi pandemi ini. Utamanya pada bagian penelusuran. Hal yang dari grafik peningkatan kasusnya, kegagalan bangsa kita kini sudah terlihat semakin nyata (cc: Paulus Santosa, Australia).
Penggunaan teknologi basis pendataan itu, tentu akan memudahkan proses verifikasi dokumen kesehatan. Sehingga tak perlu lagi antrian sekedar mendapatkan stempel. Juga antrian untuk pemeriksaan silang yang dilakukan petugas lain. Sebelum memasuki ruang keberangkatan.
Karena kedua antrian itu mengundang resiko.
Kedua, pengintegrasian sistem informasi mestinya juga sangat mudah dilakukan dengan data penerbangan yang digunakan. Sehingga verifikasi e-HAC yang dilakukan saat turun dari pesawat, lebih sebagai proses pembaharuan data perjalanan penggunanya. Bahwa yang bersangkutan memang sesuai dengan sistem database aplikasi. Juga sudah berada di daerah tujuan.
Ketiga, bahkan pengintegrasian dengan data mobilitas pengguna setelah meninggalkan bandara dan selanjutnya pun, amat mudah dikembangkan. Aplikasi dapat mengadakan notifikasi dan sistem permintaan untuk pembaharuan data. Misalnya ketika data lokasi pengguna yang berpindah koordinat telah teridentifikasi. Tata cara tersebut bahkan memungkinkan penelusuran kontak yang dilakukan pengguna. Apakah setelahnya menggunakan kendaraan taxi atau angkutan lainnya.
Keempat, tentulah pantas dan wajar, jika kemudian dikembangkan hingga kebijakan dan prosedur yang melibatkan peran serta petugas rumah sakit maupun fasilitas kesehatan yang berhadapan dengan pasien, seperti saya kemarin. Dalam salah satu daftar periksa (checklist) yang menjadi bagian protokol yang harus dilakukan tenaga medis Puri Cinere atau Mayapada tersebut, mereka cukup memindai QR code e-HAC yang saya miliki.
Jika seandainya saya bukan pasien yang baru saja melakukan perjalanan, sebagai ‘ikan yang mendatangi bubu’, saat itu pula, petugas bersangkutan dapat segera menjaring data saya. Sehingga masuk dalam sistem penelusuran (tracing) yang mestinya tersedia di sana.
Paling tidak, kesempatan itu merupakan pintu masuk utama aplikasi sejenis e-HAC, untuk melakukan penelusuran ke belakang atas aktivitas dan kontak yang saya lakukan. Umpamanya sejak beberapa hari sebelum merasakan gejala pertama.
+++
Begitulah kenyataan sebenarnya yang kita miliki hari ini. Di balik segala gegap gempita kehebohan yang kerap dipertontonkan pemerintah dan organ-organ terkaitnya, selama setahun belakangan.
Padahal yang saya alami dan buktikan sendiri, pada tataran yang amat mudah dijangkau. Selain berada di wilayah metropolitan yang juga pusat dari segala pusat kekuasaan (pemerintah, politik, dan dunia partikelir). Pengguna layanan angkutan udara pun pendataannya tak ‘seambyar’ bus antar kota atau kereta api, misalnya. Juga pelanggan rumah sakit yang tergolong papan atas dan cukup modern di Indonesia ini.
Sungguh saya tak nyaman mengungkap fakta kesemerawutan sistem penanganan pandemi kita. Tapi harapan saya, tak ada kata terlambat untuk berbenah. Terlebih dengan kenyataan mengenaskan kemarin. Yakni data kasus positif harian yang melonjak semakin tajam. Bahkan menjadi rekor tertinggi baru yang hampir menembus angka 10 ribu.
Harus kita akui, persoalan penularan ini, semakin tak terkendali dan mengkhawatirkan. Tentu saja layak untuk melakukan dobrakan mulai dari konsep dan strategi kerja yang terbukti keliru.
Saya akan melanjutkan bagian terakhir tulisan ini, besok.
Saya beriman, bahwa tak ada persoalan yang tak bisa diselesaikan. Sebab, jika demikian, tentu sebutannya bukan persoalan.
Baca juga: ‘Inform Consent’ Isolasi Mandiri Oleh Jilal Mardhani
Baca juga: Mencari IGD dan Swab PCR Mandiri Oleh Jilal Mardhani