Ceknricek.com — Ustaz Arifin Ilham telah tiada. Pengasuh Pondok Pesantren Az-Zikra itu mengembuskan nafas terakhir di sebuah rumah sakit di Penang, Malaysia, Rabu (22/5) malam. Almarhum diwartakan menderita kanker getah bening.
Menurut informasi dari Bagian Protokol Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Pulau Penang, jenazah disalatkan di Masjid Al-Munawar, Pulau Penang, Malaysia, sebelum kemudian diterbangkan dengan pesawat sewa dan tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (23/5) pukul 11.00 WIB.
Sebelum wafat, Ustaz Arifin Ilham sempat menuliskan wasiat yang berisi keinginan dia dimakamkan di dekat sebuah masjid di wilyah Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, serta ingin disalatkan dua kali di dua masjid yang berbeda.
Foto: Ashar/ceknricek.com
“Kafani, salatkan dua kali, dan makamkan di Gunung Sindur,” begitu antara lain wasiat dari Ustaz Arifin Ilham yang ditulisnya dalam kondisi sakit.
Damai dengan Berzikir
“Hamba yang beriman itu hatinya damai dengan berzikir kepada Allah, hanya dengan zikir hati itu akan damai,” adalah kalimat yang sering disampaikan Arifin Ilham.
Lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 8 Juni 1969, Arifin Ilham adalah putra kedua dari lima bersaudara. Ayah Arifin memiliki nasab dengan Syeh Al-Banjar, seorang ulama besar dari Kalimantan. Sementara ibunya, Hj. Nurhayati, kelahiran Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Dikutip dari blog Arifin Ilham, Nurhayati menceritakan, saat dikandung janin putranya itu sangat aktif. Tendangan kakinya kuat sehingga ia acap meringis menahan rasa sakit. Bayi lelakinya yang lahir seberat 4,3 kilogram dan panjang 50 sentimeter itu berbeda dengan keempat saudaranya yang lain. “Bayi ini sejak lahir sudah bergigi, di rahang bagian atasnya,” kenang Nurhayati.
Saat berumur dua tahun, bayi itu sempat hanyut terjatuh dan nyaris hanyut terbawa arus sungai tak bernama di Banjarmasin. Untunglah ia masih bisa diselamatkan ibunya. Bayi yang dimaksud adalah Arifin Ilham.
Usia lima tahun Arifin dimasukkan ibunya ke TK Aisyiah, dan setelah itu langsung ke SD Muhammadiyah tidak jauh dari rumahnya.
Arifin mengaku saat di SD ia tergolong pemalas dan bodoh. “Kata orang Banjarmasin, Arifin itu bebal. Arifin baru bisa baca-tulis huruf Latin setelah kelas 3,” kenang sang ustaz yang setiap kali berbicara tentang dirinya selalu menyebut nama pemberian orang tuanya itu.
Di SD Muhammadiyah ia hanya sampai kelas 3, karena ketahuan berkelahi melawan teman sekelasnya. Ia tidak rela ada salah seorang temannya yang berbadan kecil diganggu teman sekelasnya yang berbadan cukup besar. Ia pun berkelahi dengannya, dan tentu saja kalah, karena lawannya jagoan karate. Wajahnya babak belur, bibirnya sobek. Agar tidak mengulangi perbuatannya lagi, ia kemudian dipindahkan ayahnya ke SD Rajawali.
Tukang Kelahi Masuk Pesantren
Saat menginjak masa SMP, kenakalannya justru bertambah. Ia terpengaruh berbagai macam kenakalan remaja seperti merokok, berjudi kelereng, mencuri uang ayahnya. Bahkan ia pernah mengancam akan membakar rumahnya gara-gara keinginannya minta dibelikan motor trail tidak dipenuhi ayahnya.
Sumber: Istimewa
Hingga suatu ketika kedua orang tuanya pergi haji tahun 1982. Pikirannya pun mulai tidak tenang dan mencoba membenahi diri. Betapa terkejut kedua orang tuanya saat mereka kembali dari Tanah Suci melihat perubahan sikap anaknya yang drastis. Anak lelaki satu-satunya itu minta dimasukan ke pesantren.
“Saya ingin masuk pesantren, tapi tidak mau pakai sarung. Saya ingin masuk pesantren yang bercelana panjang dan berdasi,” kenang Arifin sembari tertawa.
Pesantren yang diharapkan bocah yang masih kelas 1 SMP itu tidak ada di Banjarmasin bahkan di Kalimantan. Pesantren yang dimaksud adalah pesantren modern yang hanya ada di Pulau Jawa.
Begitu menerima rapor kenaikan ke kelas 2 SMP, Arifin bersama adiknya, Siti Hajar, diantar sang ibu ke Jakarta tahun 1983. Kakak-beradik itu dimasukkan ke Pesantren Darunnajah di Ulujami, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Meski masuk pesantren atas kemauannya sendiri, pada awalnya sang bocah merasa sangat tidak betah tinggal di pesantren yang jaraknya sangat jauh dari kedua orang tuanya itu. Padahal, di pesantren itu ia juga ditemani oleh adiknya.
“Kalau di rumah kami ingin makan lauk yang enak, tinggal ngomong sama Mama. Di pesantren, makanan serba terbatas dan rasanya masih kurang pas di lidah kami. Setiap minggu kami hanya sekali bisa makan daging serta ikan, selebihnya setiap hari kami hanya makan tahu-tempe.”
Di pesantren itu ia hanya sampai kelas dua aliyah. Pada 1987, ia kemudian meneruskan kelas dua aliyah hingga kelas 3 di Pesantren Assyafi’iyah di Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan. Sejak di pesantren, ia sudah berceramah. Baik ceramah di kampung halamannya maupun di Jakarta dan sekitarnya.
Sumber: Istimewa
Lulus dari pesantren, ia melanjutkan ke perguruan tinggi. Ia masuk FISIP, Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Nasional (Unas), Jakarta. Ia lulus tahun 1994 saat berusia 25 tahun. Berbekal gelar sarjana, ia kemudian mengajar di Universitas Borobudur.
Pengalaman Spiritual
Selain dikenal sebagai dai dengan suaranya yang khas, lelaki yang sempat menggumamkan zikir di beberapa lapas di Indonesia tersebut juga dikenal sebagai seorang penyayang binatang. Ia memelihara burung hantu, ayam kate, bahkan kera. Pada awal April 1997, Ia diberi ular hasil tangkapan warga kampung di semak belukar. Namun, nahas terjadi, ular tersebut menggigitnya hingga keadaanya kritis.
Ia pun dilarikan ke rumah sakit. Namun, beberapa rumah sakit yang dikunjungi tidak menerimanya karena alasan perlengkapan medis sementara kondisi Arifin makin kritis. Sampai akhirnya, ia dibawa oleh Cut Tursina, ibu angkatnya, ke RS St. Carolus, Jakarta. Di sinilah akhirnya ia mendapat pertolongan dan pengobatan.
Tapi, keajaiban terjadi. Setelah satu bulan melalui masa kritis ia memasuki masa penyembuhan. Selama kritis, ia mendapatkan pengalaman spiritual dari alam bawah sadarnya. Hal tersebut semakin mengkukuhkan hatinya untuk jadi pengingat manusia agar selalu berzikir kepada Allah.
Sejak itulah ia mulai kembali mendalami dan berkonsentrasi di bidang agama. Yang tadinya dosen, ia beralih menjadi penceramah. Ia mulai hadir sebagai penceramah pengganti bila ustaz utamanya tidak hadir. Mulai dari sana, namanya mulai dikenal jemaah pengajian. Bahkan jamaah langsung memintanya untuk mengisi pengajian sebagai penceramah utama.
Sumber: Istimewa
Pada tahun 1999, ia pindah ke Depok dan mulai memimpin zikir di Masjid Al-Amr Bittaqwa di Perumahan Mampang Indah II, Depok. Ia mengenalkan zikir berjamaah. Pada awalnya pengajian tersebut hanya dihadiri oleh tiga orang. Selanjutnya, jemaahnya terus bertambah. Alhasil, pengajian zikir yang digelar selalu dipenuhi jemaah dengan seragam baju warna putih. Sejak itu, tempat kegiatannya berdakwah dikenal sebagai Majelis Azzikra.
Namanya pun makin populer sebagai ustaz dengan suara khas dengan lantunan lafal-lafal zikir kepada Allah. Ia mulai tampil di acara-acara besar dan beberapa media televisi. Jemaahnya makin banyak. Ia pun mengembangkan majelis zikirnya ke luar daerah Depok. Pada 7 Juni 2009, majelis zikir secara resmi dipindahkan ke kawasan perumahan Bukit Az-Zikra, Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Melawan Kanker
Pada akhir Desember 2018, pendiri majelis di Gunung Sindur itu bercerita kalau dirinya sempat didiagnosis kanker kelenjar getah bening. Saat itu ia menegaskan sudah sembuh setelah menjalani kemoterapi yang membuat kulit wajahnya menghitam.
Sumber: Republika
“Terima kasih doa kalian semua, Arifin sudah tidak dikemo lagi. Sudah selesai, sekarang ini sedang recovery dari pengobatan. Sudah dinyatakan free cancer,” buka sang ustaz.
Sumber: Tempo
Namun awal Januari 2019 lalu, ia menjalani perawatan. Arifin Ilham sempat menjalani pengobatan di RSCM Jakarta, sebelum kemudian diterbangkan ke Penang, Malaysia.
Foto: Ashar/ceknricek.com
Sepulang dari Malaysia, Arifin Ilham sempat beraktivitas seperti biasa sebelum kemudian dikabarkan kembali menjalani perawatan di Penang. Ia mengembuskan nafas terakhir, Rabu (22/5) malam waktu setempat. Inalilahi Wainalilahi Rojiun.