Ceknricek.com — Indonesia dan Malaysia sepakat menyampaikan keberatan keras atas diskriminasi produk CPO dan turunannya oleh Uni Eropa. Keberatan disampaikan melalui surat yang ditandatangani bersama oleh Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad.
Ada enam poin yang mereka sampaikan dalam surat yang ditujukan kepada President European Council Donald Tusk, dan President European Parliament Antonio Tajani itu. Mengutip salinan surat yang diterima redaksi di Jakarta, Selasa (9/4), Presiden Jokowi dan PM Mahathir secara tegas menolak tindakan Uni Eropa, sebagai sikap perlawanan kedua negara produsen terbesar kelapa sawit itu agar tidak diperlakukan seenaknya oleh negara lain.
Dalam salah satu poin disebutkan, jika Peraturan Delegasi (Delegated Regulation) mulai berlaku, Indonesia dan Malaysia akan mengkaji hubungan dengan Uni Eropa secara keseluruhan, serta negara-negara anggotanya. Hal ini bisa saja termasuk meninjau kembali negosiasi kemitraan, kontrak pengadaan, dan impor utama dari Uni Eropa.
Secara terbuka, Jokowi dan Mahathir menulis, pemerintah kedua negara akan menentang Delegated Regulation melalui Penyelesaian Sengketa WTO dan hal-hal lain yang disebabkan oleh diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit.
Kedua pemimpin itu merasa perlu mengirim surat mengingat kritik luas yang dilontarkan terhadap Regulasi Delegasi, terutama kurangnya ketelitian ilmiah, sehingga mereka menganggap kebijakan itu harus ditarik.
Sumber : Istimewa
“Uni Eropa telah memilih untuk mengabaikan upaya kami yang sedang berlangsung untuk bertemu 2030 Agenda of United Nations Sustainable Development Goals (UN SDGs), komitmen nasional kami adalah pelestarian hutan, produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan, khususnya upaya kami terhadap pengentasan kemiskinan terutama di lingkungan pedesaan,” tulis Jokowi dan Mahathir.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan berdasarkan data 2017, wilayah hutan di Indonesia mencapai 63 persen dari total daratan, dan 42,95 persen dari total hutan berstatus dilindungi dan hutan konservasi. Dia juga menyinggung data resmi Uni Eropa pada 2015, wilayah hutan Uni Eropa hanya terdiri 37,89 persen dari total area dan hanya 16,43 persen hutan yang tersedia untuk pasokan kayu.
Dengan fakta itu, ia mempertanyakan kebijakan Uni Eropa yang mempertanyakan kebijakan alih fungsi untuk kelapa sawit, sebagai dasar kerusakan hutan di Indonesia. “Ini sangat ironis, mereka mengusik Indonesia dengan isu ini (padahal hutan kita lebih luas),” kata Darmin mengklaim.
Darmin menyebut, kelapa sawit merupakan komoditas penting yang berkontribusi sangat signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran di Indonesia, karena ada 5 juta pekerja mencari nafkah, dan sekitar 19,5 petani maupun keluarganya terlibat dalam sektor ini. Darmin mengatakan, pemerintah Indonesia sudah melakukan langkah penting untuk memperbaiki berbagai kekurangan terkait kelapa sawit.
Bisa dipastikan, itulah salah satu pertimbangan Indonesia dan Malaysia menabuh genderang perang atas diskriminasi kelapa sawit oleh Uni Eropa.