Ceknricek.com — Duta Besar RI untuk Republik Rakyat China dan Mongolia Djauhari Oratmangun, mengunjungi Paviliun Indonesia, sekaligus menghadiri pembukaan the 14th China (Fuzhou) International Fisheries EXPO (FIFE) 2019. Acara diselenggarakan di Fuzhou Strait International Conference & Exhibition Center, Fuzhou, Kamis (30/5) hingga Sabtu (1/6).
FIFE 2019 diikuti sekitar 30 negara pemasok produsen hasil-hasil perikanan mancanegara antara lain, Amerika Serikat, Kanada, Australia Norwegia, Zimbabwe, Singapura, Thailand, Indonesia. Sekitar 11 ribu pembeli potensial yang bergerak di bidang “dealers, processors, hotels, restaurants, caterings, retails, importers, exporters, dan hospitals”, khususnya “buyers” yang berasal dr wilayah selatan dan timur China, hadir pada acara tersebut.
Dalam kesempatan bertemu dengan pelaku usaha Indonesia dan awak media Tiongkok, Duta Besar Djauhari Oratmangun, bersama Atase Perdagangan RI Beijing, Marina Novira Anggraini, dan Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), Safari Azis–juga Ketua Komite Tetap Pengembangan Perdagangan, Distribusi & Perdagangan, Bidang Perdagangan, KADIN Indonesia–memberi penjelasan tentang peran penting budidaya rumput laut di Indonesia pada sektor hulu dalam upaya pengentasan kemiskinan, kesejahteraan rakyat, ketahanan ekonomi daerah pesisir dan pulau-pulau serta perolehan devisa untuk negara.
Kondisi perairan tropis Indonesia membuat rumput laut bisa tumbuh sepanjang tahun dengan jumlah biomassa tinggi. Tahun 2015 produk rumput laut dalam negeri mencapai 10,8 juta ton atau setara dengan 38,5 persen dari produksi dunia (28 juta ton). Indonesia bahkan menduduki posisi kedua negara pengekspor rumput laut terbesar kedua di dunia setelah Cina. Hingga saat ini, komoditas tersebut menjadi salah satu unggulan dalam pengembangan sektor perikanan budidaya nasional.
Foto: istimewa
Tetapi, pemerintah Indonesia mengakui kalau rumput laut masih kalah bersaing produsen besar lainnya di dunia, dan itu menyebabkan daya saing produk dari Indonesia tidak sebagus negara-negara tersebut, khususnya Korea Selatan.
Hal itu diakui sendiri oleh Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Kemaritiman Agung Kuswandono di Jakarta, beberapa waktu lalu. Mengutip Mongabay, salah satu faktor yang masih menghambat daya saing produk-produk rumput laut Indonesia di pasar global, adalah kurangnya inovasi pada semua rantai nilai (value chain) rumput laut.
“Produk-produk itu, utamanya adalah produk karaginan dan agar-agar. Di sisi lain, Indonesia adalah produsen terbesar di dunia untuk jenis rumput laut tropis,” kata Agung Kuswandono.
Agar produk rumput laut bisa meningkatkan daya saingnya di pasar global, Indonesia perlu menguatkan kerja sama antar pembudidaya dan lembaga yang terlibat, baik pemerintah ataupun nonpemerintah. Salah satu yang dilakukan adalah dengan ikut terlibat dalam platform digital yang pembentukannya diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, yaitu Tropical Seaweed Innovation Network (TSIN).
Melalui TSIN yang menjadi platform digital, pemerintah menginginkan jaringan kerja sama, sinergi, dan inovasi antara lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan (research and development/R&D), dan juga keterlibatan para ahli dalam bidang rumput laut dari hulu ke hilir. Langkah tersebut bisa memberi sumbangan pada kemajuan, hilirisasi, dan saing produk rumput laut Indonesia di pasar global.
Foto: istimewa
Dalam kaitan itulah tampaknya Duta Besar Djauhari Oratmangun, bersama Atase Perdagangan RI Beijing, Marina Novira Anggraini, dan Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), Safari Azis perlu memberi penjelasan tentang peran penting budidaya rumput laut di Indonesia dalam program the 14th China (Fuzhou) International Fisheries EXPO (FIFE) 2019.
Rumput laut tropis dari Indonesia juga merupakan bahagian dr “Global Supply & Value Chains”.
“Mohon restu dan dukungan dari Tanah Air,” tulis Dubes Djauhari dalam pesan yang diterima redaksi di Jakarta, Jumat (31/5).