Ceknricek.com — Zaman keemasan televisi sudah masuk injury time. Saya mulai menyadari itu ketika menjadi narasumber seminar tentang broadcast di Yogyakarta enam tahun silam. Selain saya, ada dua narasumber lain. Yang satu, doktor ilmu komunikasi lulusan Jerman, dosen UGM. Dan satu lagi seorang anak muda yang tampangnya kurang meyakinkan. Usianya masih anak kuliahan. Gaya berpakaiannya nyeleneh, dan menurut saya tak layak jadi narasumber seminar bergengsi ini. Dia hanya memakai kaos oblong yang sudah lusuh dan sepatu cat yang, maaf seribu maaf, kotor dan sudah lama.
Saya, yang mewakili “praktisi televisi nasional”, diperkenalkan duluan oleh moderator. Hadirin menyambut dengan tepuk tangan meriah. Demikian pula ketika moderator memperkenalkan pengamat komunikasi yang juga dosen Universitas Gadjah Mada (UGM). Peserta, yang didominasi mahasiswa, bertepuk tangan meriah.
Moderator kemudian memperkenalkan narasumber ketiga, yang seusia anak saya. Namanya sangat asing di telinga saya. Saya belum pernah dengar nama ini di jagat televisi. Tapi, ya ampun, sambutan hadirin sungguh membuat saya terpana. Mereka seperti menyambut seorang artis papan atas. Tak sekedar tepuk tangan meriah, tapi suitan-suitan ditingkahi teriakan histeris. Si anak muda hanya mesem, seraya melambaikan tangan dan berteriak, ”Hallo gaes!” Suasana makin riuh. Waduuh siapa nih anak. Saya jadi penasaran dan mulai tumbuh rasa kagum bercampur minder melihat sambutan ini.
Saya diberi kesempatan pertama untuk presentasi. Saya sampaikan materi tentang proses kreatif di media televisi, bagaimana kiat-kiat membuat konten yang menarik pemirsa. Seperti biasa materi saya sampaikan dengan gaya populer, cair dan menghibur sehingga mendapat tepuk tangan beberapa kali dari hadirin. Okelah presentasi saya disambut meriah seperti biasa. Paparan berikutnya dari pengamat komunikasi UGM. Seperti pengamat pada umumnya, paparan bu dosen ini berkaitan dengan teori-teori komunikasi dan kepemirsaan. Menarik data-data yang disajikan bu dosen ini.
Tibalah giliran si anak muda tampil. “Sudah nonton video saya yang terakhir?” Ia mengawali presentasinya dengan sebuah pertanyaan. Sebagian besar penonton menjawab antusias dan serempak bahkan ada yang histeris segala.”Sudaah, kakak.” Satu pertanyaan itu sontak saja membuat perhatian audiens terfokus pada si anak muda. Suasana menjadi penuh nuansa emosi dari para penggemar kepada sang idolanya. Tidak ada beda dengan jumpa artis papan atas.
Baca juga: Nyawa Rangkap Dahlan
Selanjutnya ia bercerita tentang konten-konten video yang telah dibuat bersama lima orang anggota timnya. Mereka memilih tema-tema lucu atau serem, karena itulah tema yang paling banyak ditonton. Kemudian ia upload kontennya di Instagram atau Youtube. “Dari konten-konten itulah saya mendapat uang untuk biaya kuliah,” katanya meyakinkan. Hampir sepanjang presentasi anak muda ini hadirin tidak henti-hentinya meneriakan dukungan dan kekagumannya pada nara sumber ini.
Dia bukan pemuda dari kalangan tak berpunya. Malah sebaliknya, ia lahir dari keluarga kelas menengah atas. Tapi setamat SMA, ia memilih tidak melanjutkan kuliah. Sontak orangtuanya marah besar. Semua kakaknya kuliah di universitas-universitas negeri terbaik republik ini. Tapi dia keukeuh pada pendiriannya, meskipun berakibat dikucilkan oleh orangtua dan kakak-kakaknya. Hadirin ikut terharu. Suasana hening. Saya pun mulai mengagumi Sang Pemuda pujaan hadirin ini.
“Tapi sekarang keluarga hormat sama saya, karena bisa kuliah dengan biaya sendiri,” kata sang pemuda, sambil bercerita bahwa semua kakaknya kuliah atas biaya orangtua. “Berkat pembuatan konten-konten itulah saya bisa mandiri.” Sang Pemuda bertutur dengan kemampuan berbahasa Indonesia alakadarnya. Di sini hadirin mulai bertepuk tangan lagi dan tambah meriah sambil meneriakan yel yel yang saya sendiri tidak paham. Tidak ada makalah dan tidak ada power point. Tapi meriah dan seru.
Mungkin kita masuk ke era Kamu bisa apa bukan siapa Kamu. What can you do bukan Who you are. Tidak penting lagi status yang disandang. Yang penting karya apa yang sudah dihasilkan. Sang pemuda ini hanyalah keluaran SMA. Tapi dia sudah memiliki karya yang digemari oleh kalangan mahasiswa ini.
Tiba giliran tanya jawab. Hampir semua pertanyaan tertuju pada pemuda ini. Hanya satu-dua pertanyaan untuk saya dan bu dosen. Itu pun pertanyaan kedua, setelah pertanyaan pertama ditujukan pada sang pemuda. Ah, biasanya, saat seminar broadcast seperti ini, pasti saya jadi bintang.
Selesai acara, para peserta rebutan untuk berfoto dengan Sang Pemuda. Hanya satu-dua orang yang minta berfoto dengan saya. Itupun kayaknya dosen yang usianya sudah separuh baya. Realitas ini lagi-lagi menyadarkan saya, bahwa era televisi sudah memasuki injury time.
Mungkin anda sekarang sudah jadi milyader raja konten. Saya turut kagum dan bangga walaupun tidak pernah tahu lagi siapa anda. Maaf, zaman sudah berubah. Ini eranya anak milenial, bung!
Nurjaman Mochtar/Praktisi televisi
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini