Ceknricek.com — Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM memproyeksikan realisasi investasi pada tahun ini akan lebih baik dibanding tahun lalu. Sayang, investasi yang naik itu tidak banyak memberi sumbangan atas penyerapan tenaga kerja baru.
Pemerintah menargetkan investasi sebesar Rp886 triliun pada 2020. Maknanya itu naik 11% dibanding tahun lalu. Untuk mencapai target ini pemerintah telah melakukan sejumlah perbaikan dan perbaikan iklim investasi. Sinergi antara kementerian/lembaga (K/L) mulai digalakkan.
“Kita coba kontribusi penyelesaian proyek-proyek yang sudah di-pipeline tetapi sempat terhambat. Sebagian lagi kontribusi dari proyek ukuran menengah yang sedang kita kejar realisasinya. Secara kumulatif kami optimistis untuk mencapai target Rp886 triliun,” ucap Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Wisnu Wijaya Soedibjo, Selasa (28/1).

Dari jumlah target ini pihak BKPM membaginya menjadi dua kelompok, yaitu 55% berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan 45% berasal dari Penanaman Modal Asing (PMA).
Presiden Joko Widodo sudah menargetkan agar porsi ini diubah menjadi 53% dari PMDN dan 47% dari PMA. Wisnu mengatakan ada perbedaan paradigma mengenai porsi investasi ini. Jika investasi asing tidak terlalu besar berarti domestik kurang berkembang. Tetapi kalau investor asing rendah ini dianggap asing tidak tertarik. “Memang dilihatnya berbeda. Kami tetap optimistis proporsinya 45 sampai 55% baik asing maupun domestik,” ucapnya.
Baca Juga: BKPM: Sepanjang 2019, Realisasi Investasi Indonesia Capai Rp809 Triliun
Pada periode kedua ini Jokowi memang sudah berkomitmen untuk fokus kepada investasi. Di dalamnya termasuk memperbaiki iklim investasi yang pada akhirnya meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Pemerintah antara lain sudah melimpahkan kewenangan perizinan dari K/L terkait kembali ke BKPM sebagai Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Dalam penciptaan dari pelimpahan-pelimpahan itu izin yang masuk ke daerah akan dimasukan ke Online Single Submission (OSS).
Tugas BKPM setelah proses ini tuntas adalah menyederhanakan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) dari setiap izin. BKPM bertekad menyederhanakan Izin Operasional Komersial (IOK).
Insentif fiskal seperti tax holiday, tax allowance dan super tax deduction juga terus digenjot.
Mangkrak
Catatan BKPM menunjukkan masih ada investasi yang mangkrak dengan nilai sekitar Rp706 triliun. Saat ini, BKPM sudah memfasilitasi proyek-proyek tersebut dan menjalin komitmen kerja sama lagi.

Potensi investasi di Indonesia masih sangat besar. Bahkan tahun lalu saja masih banyak investasi yang belum terfasilitasi akibat berbagai hambatan usaha dengan potensi sekitar Rp708 triliun. Ada 4 megaproyek yang 90% sudah pasti masuk dan BKPM sudah bantu fasilitasi.
Hambatan investasi yang masih dialami para pelaku usaha baik asing maupun lokal ini di antaranya seperti permintaan fasilitas dan insentif tax holiday, dan masalah lahan.
Selain itu, sudah ada 20 perusahaan skala besar baik PMA maupun PMDN yang sudah melakukan izin prinsip dan diharapkan bisa tergarap tahun ini. Dari potensi Rp708 triliun tersebut, kebanyakan mengincar investasi di wilayah Banten, Kepulauan Riau dan sejumlah daerah di luar Jawa.
Baca juga: Kolaborasi BKPM dan BEI untuk Integrasikan Investasi Riil dan Pasar Modal
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjadja Kamdani, mengatakan untuk meningkatkan jumlah PMDN, Indonesia harus lebih berani dan cepat dalam mereformasi kebijakan investasi dan ekonomi nasional. Masalah perizinan usaha harus jauh lebih sedikit, lebih mudah, cepat dan tepat waktu diproses.
Pemerintah juga harus menyelesaikan masalah konflik regulasi dan koordinasi antar pemerintah di tingkat nasional dan daerah. “Perlu juga diciptakan task force khusus untuk memastikan tidak ada bottlenecking dalam realisasi investasi,” ucapnya, seperti dikutip Investor.
Selain itu, pemerintah harus lebih disiplin dan konsisten melaksanakan reformasi. Jangan sampai reformasi di satu kebijakan tetapi kemudian membuat dua sampai tiga kebijakan baru. Di level teknis aparat pemerintah yang berhubungan langsung dengan pelaku usaha juga perlu aktif menjadi lebih service oriented, terbuka dan fleksibel mengakomodasi kebutuhan investor.

“Khususnya untuk melakukan aktivitas usaha sehingga investor dan pelaku usaha betul-betul merasa nyaman dan tertarik untuk melakukan kegiatan usaha lebih banyak di Indonesia,” ucap Shinta.
Penyerapan Tenaga Kerja
Nilai investasi di Indonesia memang cukup besar. Hal ini terlihat dari porsi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terhadap PDB yang mencapai lebih dari 30%. Selain itu, nilai investasi langsung (Foreign Direct Investment/FDI dan Domestic Direct Investment/DDI) yang tercatat di BKPM juga terus meningkat.
Sepanjang Januari-September 2019 saja, nilai investasi langsung (FDI dan DDI) mencapai Rp205,7 triliun atau telah meningkat 12,3% dibanding periode yang sama tahun 2018. Hanya saja, menurut INDEF, investasi tersebut terlihat belum memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, pertumbuhan investasi yang terjadi, belum mampu menggerakkan ekonomi untuk tumbuh lebih besar dari 5%-an.
Kedua, investasi belum mampu mendorong pertumbuhan sektor pertanian dan industri sebagai leading sektor dari perekonomian Indonesia. Ketiga, investasi yang masuk semakin memberikan dampak yang kecil terhadap penyerapan tenaga kerja.
Meskipun investasi langsung terlihat tumbuh relatif tinggi, namun sektor industri belum mampu tumbuh tinggi untuk menjadi lokomotif pendorong perekonomian. Sepanjang 2015-2019 (hingga triwulan III), rata-rata pertumbuhan investasi langsung mencapai 11,97%, namun rata-rata pertumbuhan industri pengolahan dan pertanian masing-masing hanya mencapai 4,26% dan 3,6%.
Tanpa mengesampingkan sektor-sektor jasa, namun upaya untuk mendorong pertumbuhan industri dan pertanian amatlah penting, karena kedua sektor ini merupakan kontributor utama ekonomi Indonesia dan penyerap lapangan kerja terbanyak.
Baca juga: Mencermati Kondisi Global 2020

Lebih lanjut, pertumbuhan FDI yang dinilai cukup tinggi, ternyata semakin tidak berdaya dalam membuka lapangan kerja. Sebagai contoh, jika dibandingkan dengan 2016:III, ketika FDI mencapai Rp155,3 triliun, penyerapan tenaga kerja mencapai 276,02 ribu orang. Namun, 2019:III, ketika FDI mencapai Rp205,7 triliun, penyerapan tenaga kerja hanya 212,6 ribu orang.
Penurunan ini lebih disebabkan karena semakin minimnya minat PMA masuk ke sektor padat karya.
Turunnya kemampuan investasi dalam menyerap tenaga kerja ternyata disebabkan karena adanya perubahan struktur investasi langsung berdasarkan sektor utama. Berdasarkan data BKPM, pada 2015 porsi investasi yang masuk ke sektor industri pengolahan masih relatif besar (43%). Namun porsi ini terus menurun. Pada 2019:III, FDI ke sektor industri pengolahan hanya 25%. Sebaliknya investasi yang masuk ke sektor jasa terlihat semakin besar. Pada 2019:III, porsi investasi ke sektor jasa mencapai 59%, naik dari 39% pada 2015.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sektor jasa semakin diminati investor dibanding sektor industri pengolahan. Sektor industri maupun pertanian masih menyuguhkan berbagai hambatan dan masalah yang menyebabkan keengganan investor untuk masuk ke sektor ini. Di antaranya permasalahan akses lahan untuk industri, ketenagakerjaan, biaya logistik, dukungan bahan baku dan energi untuk industri, stimulus fiskal serta berbagai perizinan yang masih dinilai terlalu rumit.
BACA JUGA: Cek BREAKING NEWS, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini