— Pada hari yang jatuh pada tanggal yang sama 24 tahun lalu, Suharto akhirnya menyatakan diri berhenti sebagai Presiden RI —
+++
Editorial Koran Tempo kemarin, tajam sekali. Malah ‘rasanya’ cukup sarkastis. Mungkin mereka lelah dengan bahasa ‘santun’ yang digunakan selama ini. Dengan ‘kenyinyiran’ seperti itu pun, saya ragu mampu mengusik nurani wakil-wakil rakyat kita. Padahal, editorial pedas Koran Tempo kemarin itu, lebih pantas dikategori sebagai ‘ejekan’ dibanding ‘sindiran’.
Baca saja alinea pembukaannya,
“Proyek pengadaan gorden tak mencerminkan wajah dan tabiat anggota DPR kita. Semestinya mereka meniru Jokowi membangun gedung di ibukota baru.”
Jleb!
Lalu pada alinea kedua sebelum editorial itu ditutup, koran tersebut menulis begini,
“Proyek gedung DPR atau rumah dinas baru di IKN tentu lebih gurih karena butuh anggaran besar, plus menguntungkan pemilik konsesi hutan dan perkebunan kroni mereka.”
Banyak lagi ‘ejekan’ terbuka yang mereka lontarkan di tengah tulisan itu. Tapi bagi saya pribadi, semuanya pantas kok. Karena para wakil rakyat yang dulu mengumbar segudang janji sambil termehek mengharap dirinya terpilih, kini dalam kesehariannya dengan santai kerap ‘mengejek’ akal sehat, bahkan ‘melecehkan’ kecerdasan konstituen mereka.
Mau contoh?
+++
Paling anyar soal minyak goreng. Bukan pesawat ruang angkasa yang bisa men-transmigrasi-kan sebagian penduduk negeri ini ke planet Mars.
Bayangkan, urusan yang bahan bakunya terhampar di permukaan bumi dan mudah diakses saja, mereka bergeming. Belum lagi jumlah dan letak pabriknya yang tak tersembunyi di bawah tanah atau di luar angkasa. Produk olahannya pun kasat mata. Meski dari jarak belasan meter. Bukan seperti virus corona yang tanpa alat pembesaran khusus dan canggih, tak mungkin terlihat oleh mata kita. Pergerakan fisiknya pun — di tengah kemajuan teknologi sederhana yang tersedia hari ini — tak masuk akal bisa luput dari pantauan.
Di tengah hiruk pikuk masyarakat yang berbulan-bulan bingung menyaksikan drama yang dipertontonkan soal kelapa sawit hingga minyak goreng itu, mereka menganggapnya biasa-biasa saja.
Maka Joko Widodo pun jadi begitu leluasa melakukan langkah coba-coba. Meski pun tanpa perhitungan matang. Hal yang kemudian diakuinya sendiri sebagai upaya yang tak efektif dan gagal. Karena semua langkah dan akrobat kebijakan pemerintahannya untuk menormalisasi pasokan dan harga minyak goreng di tengah masyarakat, selama kurun waktu hampir setengah tahun belakangan, memang tanpa hasil yang memadai. Malah melahirkan sejumlah persoalan baru yang tak perlu. Seperti penurunan penerimaan devisa. Penyelundupan minyak goreng itu sendiri yang tersebab disparitas harganya dengan luar negeri. Penurunan pendapat petani. Dan seterusnya.
Apakah berlebihan melontar kesimpulan ‘mengejek’ akal sehat, jika para wakil kita di DPR itu, nyatanya memang tak sigap melakukan fungsi perwakilan yang diamanahkan?
Bukankah lebih dari patut dan wajar jika mereka memanggil, meminta penjelasan, hingga menuntut pertanggung jawaban Joko Widodo sebagai presiden yang memimpin pemerintahan negara ini, dalam konteks mengatasi soal minyak goreng itu?
Belum lagi soal kesemerawutan terbuka yang dipertontonkan jajaran kementerian di bawah kepemimpinan dia, dalam menterjemahkan rangkaian kebijakan yang diputuskannya. Semua itu alasan yang lebih dari pantas untuk dipertanyakan oleh masyarakat. Tentu lewat wakil-wakilnya yang sudah dipilih dan duduk di sana.
+++
Jangankan minyak goreng. Mereka malah dengan santainya ‘berternak’ berbagai kekisruhan lain. Seperti ‘revitalisasi’ KPK hingga ibu kota negara baru yang kontroversial itu. Alih-alih berkaca pada jejak sejarah keputusan MK, atas gugatan terhadap UU Cipta Kerja yang proses penyusunannya dianggap inkonstitusional, mereka malah segendang-sepenarian dengan lembaga eksekutif pimpinan Joko Widodo. Maka UU IKN-nya pun diproses hanya dalam tempo 40 hari.
Dugaan ‘pelecehan’ kecerdasan publik justru semakin mengemuka, ketika mereka kembali bergeming terhadap kritik dan protes yang bertebaran terkait rencana IKN tersebut. Meski MK belum memutuskan sikap terhadap gugatan yang diajukan masyarakat terhadap UU IKN, ‘yurisprudensi’ UU Cipta Kerja patut belaka dipertimbangkan.
Bagaimana jika MK kelak mengabulkan tuntutan itu?
Dua tahun lagi, masyarakat akan kembali menggunakan hak pilih mereka. Jika terus diingatkan pasti tak ada yang mau dianggap seperti ‘keledai’ yang berkali-kali terperosok. Pada lubang yang semakin dalam dan becek. Bau busuk pula.
Mardhani, Jilal — 21 Mei 2022