Ceknricek.com –Sosok dokter Reisa Broto Asmoro tengah menjadi perhatian publik. Sejak ditunjuk sebagai juru bicara tim komunikasi publik Gugus Tugas Covid-19 pada 8 Juni 2020, wajah bening model dan presenter televisi ini menghiasi percakapan di media sosial dan meramaikan pemberitaan di media massa.
Konferensi pers Gugus Tugas Covid-19 yang biasanya tegang dan kaku, mulai hari itu menjadi adem dan cair. Penjelasan Jubir Covid-19 Achmad Yurianto biasanya cukup menakutkan karena mengumumkan angka-angka jumlah pasien baru yang terpapar Corona, termasuk tambahan jumlah orang mati hari itu. Dengan munculnya dr Reisa, ada daya tarik baru. Setidaknya publik merasa ‘terhibur’ melihat wanita cantik mengajak pakai masker dan cuci tangan.
Ini dibuktikan dengan sambutan warganet yang meriah dan positif. Seorang netizen bernama Dayat Piliang (@dayatpiliang) menulis, “Wah, tim komunikasi gugus tugas covid-19 ada juru bicara baru nih, dr. Reisa Broto Asmoro (2Reisa_BA). Kalau jubirnya seperti ini sih sudah pasti rakyat akan dengar dan nurut dgn apa yang dikatakan bu dok Reisa. Selamat bertugas, bu dokter Reisa”.
Baca Juga : Update Covid-19 Indonesia 13 Juni: 37.420 Positif, Jawa Timur Sumbang Kasus Tertinggi
Menurut data Kominfo, jumlah percakapan isu dr. Reisa Broto Asmoro di media online dan media sosial pada 9 Juni 2020 sebanyak 1.975 mentions. Perbincangan di media sosial didominasi Twitter sebanyak 1948 mentions. Sentimen positif berisi harapan warganet agar hadirnya Reisa bisa mengedukasi masyarakat dan menyampaikan informasi yang lebih mudah dipahami.
Tulisan ini akan membahas secara Ilmu Komunikasi mengapa publik menyambut positif dr Reisa Broto Asmoro sebagai Jurubicara Covid-19 mendampingi Achmad Yurianto, seorang dokter dengan latar belakang tentara.
Ahli komunikasi Harold J Lasswell menyatakan bahwa cara yang terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah menjawab pertanyaan : Who, Says What, In Which Channel, To Whom, With What Effect (Siapa Mengatakan Apa Melalui Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Efek Apa).
Agar mudah difahami, kepada mahasiswa saya biasanya menjelaskan model komunikasi Laswell itu sebagai “Siapa penyanyi, apa lagunya, apa panggungnya, siapa penonton, dan apa responnya”.
Baca Juga : WHO: Vaksin Korona Harus Jadi Barang Publik Global
Siapa penyanyi (narasumber) pembawa lagu (pesan) itu sangat penting diperhitungkan. Jika dia penyanyi jazz tentu tidak cocok kalau menyanyikan lagu dangdut Sekuntum Mawar Merah. Begitu juga panggung (saluran komunikasi) dan target audiennya (penerima pesan) sangat menentukan, apakah itu untuk pemirsa TV, online atau pembaca suratkabar. Intinya, saya mau katakan bahwa untuk menggelar konser musik klasik mungkin perlu gedung kesenian, tapi untuk dangdutan lebih pas di alun-alun karena penggemarnya berbeda.
Gaya Tentara
Saya jelaskan satu persatu. Dalam komunikasi publik Covid-19, penyanyinya selama ini adalah Achmad Yurianto atau Pak Yuri, seorang dokter militer. Postur dan gaya bicaranya tentara banget. Waktu pertama kali Pak Yuri ditunjuk sebagai jurubicara, saya langsung teringat sosok Jenderal Vincent Brooks, jurubicara Komando Pusat (CENTCOM) tentara Amerika Serikat di Doha, Qatar, saat perang Irak meletus tahun 2003.
Setiap jam 06.00 pagi, Jenderal Brooks menggelar konferensi pers untuk menjelaskan update terakhir perang, pergerakan pasukan, bom yang diledakan, atau kehancuran yang ditimbulkannya. Konferensi pers selalu tampak tegang karena biasanya diumumkan juga berapa banyak tentara AS yang tewas dan harus dibawa pulang dalam kantong-kantong mayat.
Baca Juga : What is The People’s Right to Know?
Saya menduga, pemilihan Pak Yuri mungkin karena pemerintah menilai Indonesia sedang perang melawan Corona, sehingga perlu jurubicara dari militer. Pada bulan-bulan pertama perang melawan Covid-19, sosok Pak Yuri mungkin pas dan publik bisa menerima. Tapi ketika keadaan sudah mulai berubah, publik butuh penyanyi yang sesuai dengan suasana relaksasi PSBB. Ketika new normal tiba, Reisa datang. Klop. Pucuk dicinta, ulam tiba.
Pesan, narasi, atau lagu yang dinyanyikan juga dituntut berbeda. Kalau selama ini publik mendengarkan lagu katakanlah seriosa atau irama keroncong dari Pak Yuri, sekarang bisa diselang-seling dengan lagu pop yang dibawakan Reisa. Sebagaimana karakter lagu pop, syairnya tidak mesti indah sempurna seperti ciptaan Ismail Marzuki atau Taufik Ismail. Yang penting enak didengar dan asyik penyanyinya.
Makanya potongan video Reisa tentang tips-tips jaga kesehatan, pakai masker, cuci tangan, bawa sabun, atau protokol masuk rumah viral mengalir dari satu grup WA ke grup WA lain. Semua suka Reisa bicara yang ringan-ringan saja. Biarlah isu-isu berat ditangani Pak Yuri. Mengutip ucapan Dilan kepada Milea, Pak Yuri bisa mengatakan: “Corona itu berat, kamu tidak akan kuat. Biar aku saja”.
Pembagian Tugas
Sebaiknya ada pembagian tugas antara Pak Yuri dengan Reisa. Pak Yuri nyanyi lagu apa, Reisa lagu apa disesuaikan dengan pemirsa dan penggemarnya masing-masing. Pak Yuri bisa menyampaikan informasi yang formal untuk target audien resmi, seperti presiden, kalangan Istana, Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Reisa menyampaikan informasi sedikit informal untuk target audien masyarakat umum. Jadi ada pangsa pasarnya masing-masing yang berbeda.
Baca Juga : Peneliti LIPI Temukan Katak Mini ‘Micrylette Sumatrana’ di Selatan Pulau Sumatera
Kalau ada pembagian tugas seperti itu, wartawan yang meliput konferensi pers Gugus Tugas Covid-19 pasti senang, publik lebih senang lagi. Di dunia media sekarang ini terjadi apa yang disebut “Blurring line between news and entertainment”. Ada praktek liputan dimana terdapat garis abu-abu antara berita dan hiburan. Intinya bahwa pada sebuah berita haruslah ada unsur hiburannya.
Maka duet pak Yuri dan Reisa ini bisa membuat apa yang disebut dalam terminologi jurnalistik sebagai “a media feeding frenzy”, yaitu liputan media yang intens terhadap peristiwa yang menjadi kepentingan besar publik, seperti pandemi Corona ini.
Bagi masyarakat, kehadiran Reisa juga sebuah relaksasi. Selama ini publik mengalami ketakutan dan kepanikan seperti terjadi dalam peristiwa ‘panic buying’ berlomba-lomba membeli sembako dan keperluan lain. Konferensi pers Pak Yuri yang mengumumkan angka-angka pasien baru dan kematian baru seperti meneror publik. Barangkali ada yang lupa dari hukum besi tatacara menjadi PR yang baik, yaitu jangan hanya bicara angka-angka tapi apa yang terjadi di balik angka-angka itu lebih penting disampaikan.
Baca Juga : Bamsoet: Diperlukan Penambahan Rumah Sakit Khusus Covid-19
Joseph Stalin pernah mengatakan, “A single death is a tragedy; a million deaths is a statistic”.
Jadi, jumlah korban mati akibat Corona yang diumumkan Pak Yuri tetap penting untuk catatan statistik. Tapi publik juga ingin tahu bagaimana angka-angka korban itu tidak bertambah terus, apa saja upaya-upaya pemerintah yang telah dilakukan, kontribusi apa yang bisa diberikan masyarakat untuk membantu mengurangi penyebaran pandemi.
Maka ketika Reisa yang cantik mantan Puteri Indonesia itu muncul dengan ajakan untuk diam di rumah dan cuci tangan, siapa yang tidak mau dengar dan mematuhinya?
Saya pun betah melihatnya.
Akhmad Kusaeni,Dosen Ilmu Komunikasi Tanri Abeng University
BACA JUGA: Cek SOSOK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini