Ceknricek.com — Perintah Presiden Djoko Widodo supaya kasus “Polisi Tembak Polisi” dibuka seterangnya, tidak boleh ditutup-tutupi dan transparan hingga sekarang masih penuh misteri sehingga membuat publik – termasuk sejumlah pensiunan Jenderal Polisi — bertanya-tanya apa gerangan yang sebenarnya terjadi di balik kematian Brigadir Yoshua di rumah kediaman Irjenpol Sambo, Kepala Divisi Propam Polri.
Salah satu sosok yang sangat misterius dalam kasus ini adalah Bharada E, yang sejak awal dikatakan (oleh Kapolres Jakarta Selatan) ajudan Irjen Sambo yang menembak tewas Brigadir Yoshua di rumah kediaman Sambo. Tiga pensiunan Jenderal Polisi – Irjenpol Bekto Suprapto, ex Kepala Densus 88 anti-Teror Polri; Irjenpol Aryanto Sutadi, ex. Kepala Divisi Humas Polri dan Komjenpol Susno Duaji, ex. Kepala Bareskrim Polri sama-sama menyebut Bharada E orang yang SAKTI, melebihi kekuatan Jenderal, sama-sama mengungkapkan keheranannya atas “kesaktian” Bharada E.
Dalam akun Youtube “Polisi ohh Polisi” tanggal 30 Juli 2022, Irjenpol Bekto Suprapto menyebut Bharada E “Orang yang paling berkekuatan tinggi, tokoh yang paling kuat dan paling sakti, sekaligus misterius.” Menurut Irjenpol Aryanto Sutadi, E tiba-tiba bisa datang ke Komnas HAM setelah lama “menghilang”, dikawal banyak polisi, [padahal] yang mendapat pengawalan polisi biasanya Jenderal, tapi E cuma berpangkat rendah…… Irjenpol Aryanto percaya bahwa E sudah diperiksa penyidik polisi maupun Tim Khusus yang dibentuk Kapolri. Kenapa? “Dia bebas bela diri. Menembak 5X, dari siapa kalau bukan keterangan saksi; cuma tidak dipublis oleh polisi……
Pendapat senada keluar dari mulut Komjenpol Susno Duadji: E disebut ‘SAKTI’, Lebih Hebat dari Jenderal, seorang Pangkat rendah dikawal sejumlah perwira, ia sakti karena tidak terkena tembakan peluru saat terjadi baku-tembak dengan Brigadir Yoshua.
Pendapat 3 Jenderal pensiunan polisi di atas, jika kita simak dengan cermat, sesungguhnya mengandung satire yang tajam, semacam ketidakpuasan mereka sekaligus mengkritik instansi Polri dalam menangani kasus “Polisi Tembak Polisi”.
Kalau memang demikian, perintah Presiden Jokowi supaya kasus ini dibuka seterang-terangnya sampai sekarang masih belum bisa dilaksanakan oleh Kapolri. KENAPA ?
“Kegelapan” di balik kasus “Polisi Tembak Polisi” tampaknya malah bertambah setelah otopsi mayat Yoshua yang kedua. Keluarga Yoshua baru mengeluarkan pernyataan bahwa Yoshua mendapat ancaman-ancaman sebelum dibunuh. Sumbernya: Vera, kekasih Yoshua, berdasarkan percakapan per telepon antara Vera dan Yoshua.
Semula hasil otopsi jenazah yang kedua oleh pihak Polri dinyatakan tidak bisa dibuka kepada publik, karena hanya untuk konsumsi Penyidik Polri. Sikap Kadiv Humas Polri ini, spontan, mendapat sorotan tajam dari publik, khususnya pihak keluarga Yoshua. Setelah dikritik tajam oleh media massa, termasuk media sosial, dan pembicaraan antara Menko Polhukam dan Kapolri, maka Kapolri kepada pers menyatakan hasil otopsi ke-2 bisa dibuka kepada publik.
Kenapa Polri semula bersikeras mengatakan hasil otopsi ke-2 hanya untuk konsumsi penyidik Polri ? Pasti ada “sesuatu” yang hendak ditutup-tutupi kan ? Mungkin saja ada kekhawatiran jika hasil otopsi ke-2 dibuka seterangnya kepada publik, ada hal-hal yang bisa merugikan pihak tertentu di Polri akan terkuak kepada publik.
Publik tentu tidak pernah lupa bagaimana hasil otopsi pertama telah “dimainkan” oleh oknum-oknum tertentu di Rumah Sakit yang melaksanakan otopsi itu. Dokter yang menandatangani hasil otopsi belakangan mengaku “saya hanya menekan” [tidak baca]. Ini kan kesalahan fatal seorang dokter forensic! Menandatangani hasil otopsi tanpa melihat dan mempelajari isinya terlebih dahulu! Oleh sebab itu, sejak awal publik mendesak agar otposi jenazah ke-2 dilaksanakan oleh beberapa ahli forensic dari beberapa rumah sakit, khususnya RSPAD, RSCM, dan Perkumpulan Dokter Forensik dengan tujuan untuk menutup rapat kemungkinan “dibelokkan” lagi hasil otopsi yang ke-2 itu.
Saran kita, hasil otopsi jenazah ke-2 dibacakan oleh Ketua Tim Otopsi – dokter dari RSCM — di depan media massa sehingga bisa langsung tersebar-luas kepada masyarakat seluruh Indonesia. Bukti-bukti dari hasil otopsi forensic ke-2, terutama, akan mengungkap dengan jelas apakah Yoshua dibunuh setelah atau sebelum dianiaya. Jawaban atas pertanyaan akan membawa konsekuensi SANGAT SERIUS terhadap jatidiri Polri…….
Kasus ini tampaknya akan makin pelik setelah Vera, kekasih Brigadir Yoshua, mengungkap adanya ancaman-ancaman terhadap Yoshua . Tentu, narasi Vera belum tentu benar, toh harus diselidiki dan dibuka kebenarannya.
Kinerja Komnas HAM akhir-akhir ini juga mendapat sorotan tajam dari masyarakat; ada kesan Komnas HAM tidak kritis mengungkap fakta dan bukti-bukti seputar kematian Brigadir E, tapi cenderung berpihak ke “pihak sana”. Profesionalitas dan kualitas Komnas HAM sekarang mungkin sudah berubah dibandingkan beberapa tahun yang lalu.
Kita ingatkan pimpinan Komnas HAM apa harapan dan perintah Presiden Jokowi – BUKA APA ADANYA, JANGAN DITUTUP-TUTUPI dan TRANSPARAN, perintah yang sangat jelas maknanya. Kita juga mengingatkan KAPOLRI jangan main-main dengan perintah Presiden. Jabatan Kapolri – to be or not to be – sangat tergantung pada sikap dan tindakan konkret Kapolri dalam menuntaskan kasus “Polisi Tembak Polisi”!*
#Prof. Dr. Tjipta Lesmana (Ex. Dosen Tamu Secapa, Sespim dan Sespati Polri)