Ceknricek.com–Pasti yang baca judul diatas bakal mengeryitkan dahi. Apa hubungannya kasus Irjen (Pol) Ferdy Sambo dan kemerdekaan, yang kini sedang kita rayakan? Ngawur bae, kata orang Betawi mah. Ya, memang ngawur. Tapi boleh dong di saat moment moment seperti ini, aku coba merenung kembali makna kemerdekaan, dan aku kaitkan dengan peristiwa yang lagi hits; tragedi pembantaian Brigadir Joshua oleh Sambo.
Kemarin seorang jurnalis kawakan mencoba memotret Sambo dengan segala kesuksesannya di usia muda. Kemudian tulisan diakhiri, harta dan pangkat tinggi, tidak selalu berakhir baik, jika pemegangnya tidak amanah. Kalau aku, justru lebih suka melihat satu bagian yang, mungkin karena sudah umum terjadi, hingga luput dari perhatian publik. Atensi publik.
Ini mungkin dugaan, atau pertanyaan, tapi lagi lagi boleh dong aku kaitkan dengan semua manuver Sambo sebelum ia dibui. Sambo diduga mencoba menyuap petugas LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dengan amplop coklat setebal 1 cm, kala petugas LPSK sedang melakukan asesmen terkait permintaan istri Sambo minta perlindungan ke LPSK. Bersyukur, petugas LPSK tidak tergiur, dan menolak tawaran amplop itu.
Namun yang bikin nggegirisi adalah ini. Sambo juga diduga menjanjikan duit 1 Milyar pada Bharada E, yang bertugas mengeksekusi Brigadir Joshua, serta masing-masing 500 juta untuk dua tersangka lainnya, sebagai ‘balas jasa’ karena sudah membantu membunuh Joshua. Total 2 Milyar bakal digelontorkan, jika saja kasus rekayasa ini aman terkendali tak bisa dikuak.
Terbaru, ada aliran dana Rp 200 juta dari almarhum Joshua yang ditransfer ke rekening salah seorang tersangka. Transaksi itu terjadi setelah Joshua meninggal dunia, hingga mengundang tanya. “Apa mungkin orang sudah mati bisa mentransfer uang?”kata pengacara Joshua.
Ditengah carut marut kasus Sambo, seorang Mantan Duta Besar Polandia dan pengusaha besar menayangkan pidato Mahfud Md soal bagaimana mafia hukum bermain. Jaksa, hakim, pengacara dan polisi kongkalingkong, yang ujung-ujungnya semua demi cuan. Siapa berkantong tebal akan mengatur pasal, yang miskin akan keblangsak tanpa ampun. Ini Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia loh yang ngomong…
Ketika Sambo merencanakan pembunuhan itu, mungkin ia berfikir, semua bisa diatur dengan uang. Lagi -lagi pikiran liar aku bertanya, jika keyakinan itu benar-benar jadi keteguhan hati, hingga seorang perwira tinggi bintang dua tega membantai ajudannya yang setia melayani tanpa ampun, apakah memang perjalanan hidup dia yang lancar jaya semua karena sogokan?
Ayah Sambo adalah jenderal purnawirawan polisi bintang dua. Mungkinkan Sambo masuk Akpol benar benar karena kemampuannya, atau karena ‘titipan’, rumor yang sering terdengar untuk anak anak jenderal yang bisa tembus di Akpol atau Akmil, yang butuh pembuktian. Sebegitu jauh, karirnya melesat sangat cepat, hingga sebelum umur kepala lima sudah bintang dua, apakah murni karena prestasinya atau ada faktor lain?
Semua tahu, jabatan di Indonesia ada banderol harganya. Belum lama Bupati Pemalang dicokok KPK, karena bikin ‘harga’ posisi strategis di Pemkab Pemalang, dari Rp60 juta sampai Rp350 juta. Sebelumnya modus serupa dipakai para bupati dan walikota lain.
Tidak dalam kerangka membanding bandingkan, tapi jika dalam waktu singkat kenaikan pangkat Sambo seperti kecepatan mobil Formula A, boleh dong aku patut curiga, karena terbukti ia tidak punya kecerdasan emosional (emotional quetiont/EQ) yang memadai, untuk polisi setingkat Inspektur Jenderal.
Nilai-nilai yang terinternalisasi, seolah jadi cerminan hidup dia; semua bisa diatur dengan uang. Dengan suap. Di sinilah refleksi kemerdekaan itu menemukan celahnya, jika semua lini kehidupan sudah diukur dengan uang -bukan hukum dan aturan- apakah kita merasa sudah hidup merdeka?
Dulu mungkin penjajah Belanda membatasi kaum pribumi untuk sekolah di sekolah sekolah tertentu, menduduki jabatan-jabatan tertentu, tidak boleh ini itu, maklum bangsa terjajah. Tapi sekarang coba, aku misalnya, sejak SD-SMA nilai bagus, pengalaman kerja lengkap, apakah jika punya keinginan atau cita cita jadi kepala desa misalnya, bakal direspon positif kalau tidak punya duit untuk ‘nyiram’?. Begitu juga untuk jadi anggota DPR, bupati, gubernur apalagi presiden.
Sekarang jabatan jabatan publik, cukup modal ganteng/cantik, asal orang tua mantan bupati atau gubernur, duit banyak, kemungkinan jadi lebih besar, meski otak goblog. Maindset seperti ini, celakanya sudah berurat berakar, dan pada akhirnya potensi potensi yang dimiliki mereka yang punya kemampuan, kalah besar jika tidak bisa masuk lingkaran oligarki.
Jika demikian kondisinya, apakah kita masih pantas teriak merdeka, merdeka, merdeka, kalau cita cita anak bangsa tidak semua bisa terakomodir lantaran mereka lahir dari keluarga miskin dan kalangan rakyat biasa. Pada akhirnya kita hanya terperangkap pada sikap euphoria merayakan kemerdekaan -ikut balap karung, sepak bola daster, karnaval dll- yang bersifat artifisial, tanpa mencoba berbuat untuk mendobrak ‘kaki kaki’ yang congkak berdiri mengangkang.
Kasus Sambo seolah jadi pelajaran penting, pertama;untuk naik ke ‘atas’, dakilah tangga satu persatu, dengan peluh dan perjuangan, hingga kita tidak tertarik untuk mengandalkan uang. Kedua, bagi kelompok oligarki dan penganut asal ada uang beres, tunggulah saat kejatuhan kalian, karena kemerdekaan ini diperjuangkan untuk semua anak bangsa. Bukan untuk keluarga dan golongan semata. Sejarah bangsa bangsa telah membuktikan, dan itu jadi pelajaran, tinggal tunggu masa itu datang, jika bukan sekarang, ya nanti…Merdeka!