Ceknricek.com–Celetukan dalam sebuah kampanye bisa jadi bukan merupakan hasil kajian mendalam dan komprehensif. Tetapi ketika dijadikan janji kampanye maka tidak ada pilihan lain kecuali harus dilaksanakan. Begitu dijadikan kebijakan ternyata menuai banyak kontroversi. Dan ketika dilaksanakan ternyata lebih banyak menimbulkan masalah. Karena memang, kebijakan makan siang gratis buat anak sekolah, ini bukan merupakan hasil kajian yang mendalam.
Upaya peningkatan gizi anak ini memang memiliki sejarah panjang. Tujuannya sama bagaimana meningkatkan gizi anak-anak terutama balita. Indikator gizi buruk itu adalah prevalensi stunting. Semakin tinggi angka stuntingnya suatu wilayah maka itu menandakan gizinya semakin buruk. Itulah yang harus diupayakan agar prevalensi stunting ini semakin rendah dengan, diantaranya, meningkatkan kualitas gizi anak-anak yang rawan stunting ini.
Ketika zaman orde baru terobosan untuk peningkatan kualitas gizi anak-anak itu dilakukan melalui gerakan Posyandu yang didirikan di tiap RW. Di Posyandu inilah perkembangan gizi anak-anak ini dipantau oleh kader-kadernya yang dibimbing oleh bidan desa atau puskesmas. Posyandu ini membimbing ibu-ibu agar memanfaatkan lingkunganya untuk bertanam sayuran, buah-buahan dan ikan untuk konsumsi anak-anaknya. Bagi yang tidak mampu maka para kader membelikan telur, susu, biskuit bergizi dan membuat masakan bergizi dari uang yang disiapkan pemerintah pusat.
Bahkan lebih jauh lagi. Posyandu itu memantau sejak bayi itu masih dalam kandungan ibunya. Jangan sampai anak lahir dalam keadaan tidak sehat karena kualitas makanan ibunya. Jadi ibu hamil itu dipantau dari bulan ke bulan kualitas kandungannya. Diharapkan setiap ibu tidak melahirkan bayi bergizi buruk sejak lahir. Jadi untuk meningkatkan kualitas generasi kita ini harus komprehensif mulai dari kehamilan hingga balita sehingga tidak melahirkan generasi stunting.
Ketika masuk era reformasi kegiatan Posyandu ini dilanjutkan dengan dilakukan modifikasi oleh daerah masing-masing. Maklum sudah masuk ranah otonomi daerah. Tapi patokannya sama yaitu prevalensi stunting. Masing-masing daerah berlomba-lomba melakukan kreativitas untuk menurunkan stunting, diantaranya, dengan memberikan makanan bergizi.
Angka stunting nasional saat ini, per 2023, 21,1 persen. Angka ini hanya menurun 0,1 persen dari tahun 2022 yang berada 21,6 persen. Provinsi dengan prevalensi stunting paling tinggi yaitu Papua Tengah dengan angka 39,2 persen dan disusul Provinsi Nusa Tenggara Timur 37, 9 persen. Hanya dua provinsi yang bisa mencapai target angka penurunan stunting yaitu Provinsi DKI Jakarta dan Bali yaitu 14 persen.
Jadi target untuk mengintervensi gizi buruk itu jelas pijakannya yaitu prevalensi stunting. Karena kelompok inilah yang jelas-jelas, secara darurat, memerlukan sentuhan khusus kualitas makanan yang bergizi. Jadi fokus kebijakan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia ini adalah menurunkan stunting secara radikal.
Nah kembali lagi ke pemberian makan siang gratis buat anak sekolah. Kebijakan ini akan sangat merepotkan di sisi pelaksanaanya karena basisnya sekolah. Sedangkan di sekolah itu sendiri, di sekolah negeri misalnya, muridnya sangat beragam. Mulai anak orang kaya sampai orang yang tidak mampu berkumpul di kelas yang sama. Sehingga ketika makanan siang disuguhkan tanggapannya menjadi beragam. Tentu saja bagi anak yang kurang mampu makan siang gratis ini merupakan anugerah. Tapi buat keluarga menengah ke atas makanan itu biasa saja karena sehari-harinya juga sudah biasa bahkan mungkin lebih baik dari itu.
Di sinilah makan siang gratis di sekolah-sekolah menjadi sulit untuk dilaksanakan. Mengapa tidak langsung saja ke anak-anak yang tidak mampu saja. Datanya pasti sudah jelas yaitu keluarga penerima Bantuan Langsung Tunai selama ini. Tapi jangan diberikan dalam bentuk uang karena bisa jadi tidak akan dibelikan makanan bergizi. Karena mungkin mereka lebih butuh beras buat keluarganya. Tentu saja ini akan lebih mengena dibandingkan dengan pembagian makan gratis di sekolah-sekolah.
Atau mungkin pemerintah membuat gerakan makan bergizi secara nasional dengan konsep yang komprehensif. Seperti pernah dilakukan di beberapa daerah. Contohnya sebuah gerakan yang dilakukan oleh kabupaten Sragen untuk menangani kemiskinan secara gotong royong. Dan Inovasi Kabupaten Sragen ini memenangkan juara di tingkat dunia.
Jadi prinsip gerakan Kabupaten Sragen ini adalah Orang Yang Tidak Mampu itu adalah Raja. Karena dia raja maka harus mendapatkan perhatian dan pengabdian dari masyarakat sekitar. Kalau rumahnya tidak layak maka masyarakat akan bergotong royong untuk memperbaiki rumahnya. Kalau tidak bisa makan maka masyarakat akan bergotong royong memberikan sumbangan untuk dimakan. Kalau sudah tidak bisa masak maka warga sekitar akan bergiliran memberi makan mulai pagi, siang, dan sore. Dunia menganggap gerakan ini sebagai suatu yang hebat sehingga juara Inovasi Pelayanan Publik sejagat.
Nah pemberian makan siang gratis ini bisa meniru gerakan yang dilakukan Kabupaten Sragen. Tentu saja harus melakukan modifikasi, terutama, di tataran teknis pelaksanaannya. Sehingga pemberian makan bergizi ini bisa lebih efektif dan efisien. Dan kunci gerakan ini cuma satu. Dan itu khasanah kekayaan Indonesia yang terlupakan. GOTONG ROYONG.
Nurjaman Mochtar/ Wartawan Senior