Ceknricek.com — Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menandatangani nota kesepahaman (MoU) untuk bersinergi dalam pengamanan dan penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan.
Dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Rabu (31/7) Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Luar Negeri, Lilly Aprilya Pregiwati mengatakan, MoU tersebut ditandatangani langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Kapolri Tito Karnavian di Auditorium Rupatama, Mabes Polri, Jakarta, Selasa (30/7).
Menurut Lilly, ruang kerja sama yang disepakati melingkupi pertukaran data dan/atau informasi; bantuan pengamanan; penegakan hukum; pemanfaatan sarana dan prasarana; peningkatan kapasitas dan pemanfaatan sumber daya manusia; dan bidang lain yang disepakati.
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Susi mengapresiasi kerja sama yang telah terjalin antara KKP dan Polri selama ini. Salah satunya, dalam menangkap kapal pelaku illegal fishing sesuai dengan arahan Presiden Jokowi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Setidaknya 516 kapal telah ditenggelamkan dalam 4,5 tahun terakhir.
Foto: Doc. Kementerian KKP
KKP juga sudah menyita kapal-kapal raksasa yang jauh lebih besar dari kapal KRI kita dengan isi 1.000-3.000 ton ikan. Namun, sampai hari ini pihaknya tidak bisa memidanakan para pemiliknya.
Berdasarkan peraturan yang ada, saat ini pemerintah Indonesia hanya bisa menahan ABK, nakhoda, dan juru mesin kapal pelaku illegal fishing. Sementara mayoritas para pemilik kapal masih belum bisa terjangkau. Bahkan, pemilik kapal tidak mau menebus para ABK, nakhoda, dan juru mesin kapalnya yang ditahan untuk dipulangkan.
“Bagaimana bisa kapal sebesar itu yang beroperasi antar negara tidak ada pemiliknya? Ini adalah sebuah kejahatan transnasional terorganisir (transnational organized crime),” ujar Menteri Susi.
Menteri Susi juga menyinggung perekonomian Indonesia yang didera neraca defisit saat ini. Menurutnya, hal itu bukan disebabkan oleh kinerja ekonomi yang buruk, melainkan tidak adanya pelaporan (unreported) dalam kegiatan ekonomi yang masih kerap terjadi, termasuk dalam sektor kelautan dan perikanan.
“Ternyata illegal fishing dilakukan bukan hanya oleh kapal-kapal asing tapi juga oleh pelaku-pelaku dalam negeri. Ternyata unreported-nya pun masih lebih dari 70 persen,” ungkap Susi.
Foto: Doc. Kementerian KKP
Ia menyatakan, dengan segala upaya mengatur tata kelola perizinan selama 4,5 tahun terakhir, KKP telah berhasil menaikan pajak perikanan dari Rp734 miliar pada tahun 2014 menjadi Rp1 triliun pada tahun 2017.
Namun, angka itu semestinya masih dapat dioptimalkan. Saat ini, Indonesia telah menjadi penyuplai ikan terbesar ke-2 di Eropa. Di peringkat dunia, Indonesia menduduki peringkat ke-4.
“Yang nomor 1 di dunia Tiongkok. Tapi saya yakin, kalau yang transshipment ke Tiongkok ini kita bisa kejar, sebetulnya Indonesia sudah nomor 1. Namun, unreported tadi masih banyak. Kita harus membawa semua pelaku bisnis mulai compliance,” ungkap Susi.
Menteri Susi juga menyoroti permasalahan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) yang masih marak di Indonesia dan sangat merugikan. Tak hanya merugikan secara bisnis, destructive fishing juga merugikan secara lingkungan karena sangat merusak terumbu karang di perairan Indonesia.
“Setiap hari, di lautan Indonesia disuntik atau disebarkan lebih dari 100 kilogram konsentrat portasium sianida. Indonesia sekarang sudah kehilangan 65 persen terumbu karangnya,” jelas Menteri Susi.
Untuk mengatasi berbagai masalah yang ada, Menteri Susi menyatakan pihaknya tak bisa melakukannya sendirian. “Kami sangat butuh dukungan penuh dari pihak kepolisian untuk bisa menata kelola dan mengusut tindak-tindak kejahatan yang ada di industri perikanan,” tutur Susi.