Ceknricek.com — Budi Waseso penuh kejutan. Di mana ia di tempatkan, di situ dia membuat kejutan. Pensiunan Komisaris Jenderal Polisi ini memang sensasional. Kala menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional atau BNN pada 2016 dan 2017, Buwas sukses menyita 100 ton lebih narkoba dari berbagai jenis. Pada periode itu, BNN menangani 807 kasus dan menangkap 1.238 tersangka. Itu kejutan positif.
Sayangnya, tatkala ia menjabat sebagai Direktur Utama Perum Bulog saat ini, Buwas bikin kejutan buruk. Ia bertekuk lutut dengan mafia pangan. Prestasi kerja Buwas di bawah target. Ia banyak mengeluh.
Belakangan ia memaparkan kondisi buruk perusahaan yang punya tugas melaksanakan pengadaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) itu.
Sekadar mengingatkan saja, pada era Orde Baru, Bulog adalah sebagai lembaga stabilisasi harga pangan. Peran Bulog memiliki arti khusus dalam menunjang keberhasilan Orde Baru sampai tercapainya swasembada beras tahun 1984.
Pada 1 April 1969, Bulog sesuai dengan misi barunya berubah dari penunjang peningkatan produksi pangan menjadi buffer stock holder dan distribusi untuk golongan anggaran. Kemudian dengan Keppres No.39/1978 tanggal 5 Nopember 1978 Bulog mempunyai tugas pokok melaksanakan pengendalian harga beras, gabah, gandum dan bahan pokok lainnya guna menjaga kestabilan harga, baik bagi produsen maupun konsumen sesuai dengan kebijaksanaan umum pemerintah.
Sedangkan sejak era Reformasi, tugas pokok Bulog dibatasi hanya untuk komoditas beras dan gula pasir. Tugas ini lebih diciutkan lagi dengan Keppres RI No.19 tahun 1998. Bulog hanya mengelola komoditas beras saja.
Pada tahun 2000, Bulog diharapkan lebih mandiri dalam usahanya. Bulog baru dengan fungsi utama manajemen logistik ini diharapkan lebih berhasil dalam mengelola persediaan, distribusi dan pengendalian harga beras serta usaha jasa logistik.
Pada saat ini, Bulog beroperasi berdasarkan Keppres No.103/2001. Tugas Bulog sesuai Keppres itu adalah melaksanakan tugas pemerintahan di bidang manajemen logistik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Baca Juga: Bulog Pastikan Tahun Ini Tak Impor Beras
Dalam sejarah Bulog, belum ada pimpinannya yang mengeluh seperti Buwas. Awalnya, sempat mengancam mundur dari Bulog jika Kementerian Sosial mencabut penugasan penyaluran beras untuk program Bantuan Pangan Non Tunai atau BPNT. Langkah mundur ini tidak jadi karena Kemensos mengalah.
Lalu pada September lalu, ia juga mengeluh ada mafia pangan yang mempermainkan beras BPNT. Akibat praktik culas ini, ia berdalih, distribusi beras Bulog untuk BPNT baru mencapai 6% dari target 700.000 ton sampai Oktober 2019.
Ia kemudian menunjukkan cuplikan gambar yang memperlihatkan jual-beli karung beras di platform online. Harganya berkisar Rp1.000 per karung.
Hal lainnya yang menjadi keluhannya adalah beredarnya e-Warong ‘siluman’. Ada 300 e-Warong ‘siluman’ dari total 3000 e-Warong. Artinya, mereka hanya beraktivitas saat penyaluran bantuan BPNT, tetapi setelah itu tidak. Tambal ban pun, kata Buwas, ikut menyalurkan beras BPNT.
Dengan kejahatan ini, Buwas mengatakan, oknum-oknum tersebut bisa menerima keuntungan sekitar Rp9 miliar per bulan.
Di Bawah Target
Kembali ke masalah cadangan beras pemerintah atau CBP. Sumber beras CBP adalah beras petani dalam negeri dan impor. Pengadaan beras itu butuh biaya triliunan. Buwas menyebut itu sebagai masalah besar, karena duit untuk CBP adalah duit utang dari bank. Bunganya bunga komersial. “Sedangkan CBP ini tidak bisa kita jual belikan kecuali ada penugasan,” ungkap Buwas dalam acara Ngopi BUMN, di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (1/11).
Nah, karena penugasan itu, menurut Asisten Deputi Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN, Agus Suharyono, beban bunga pinjaman yang dipikul Bulog Rp10 miliar setiap harinya. Ini belum termasuk biaya operasional perusahaan dan 4.000 karyawan yang menelan biaya Rp6 miliar setiap hari. Maknanya, saban hari Bulog mesti merogoh kocek Rp16 miliar untuk memutar roda bisnisnya.
Angka-angka tersebut sengaja diungkap Agus boleh jadi untuk menunjukkan bahwa tak mudah mengurus Bulog. Utang gede sedangkan pendapatan mini.
Saat ini Bulog memiliki stok beras berupa CBP sebanyak 2,3 juta ton, termasuk 900.000 ton beras eks-impor dari tahun 2018. Repotnya, Bulog gagal melepas ke pasar beras sebanyak itu. Akibatnya, pendapatan Bulog menjadi seret. Jangankan untuk membayar utang, untuk memenuhi biaya operasional saja susah.
Saat ini adalah kemarau panjang. Banyak sawah gagal panen. Anehnya, Bulog gagal mencapai target melepas 15.000 ton beras per hari. Perum ini hanya bisa menjual 3.000-4.000 ton saja. “Kendalanya memang pasarnya jenuh, terus kita tak punya pangsa pasar juga karena dikuasai mereka-mereka,” keluh Buwas.
Baca Juga: Buwas Batal Mundur Dari Bulog
Konon Bulog pernah menawarkan berasnya langsung ke pedagang. Para pedagang itu menolak. Bulog tak bisa berkutik.
Kini upaya yang dilakukan Bulog adalah tidak sekadar jual beli beras. Bulog, misalnya, mulai menggarap pasar beras premium. Bulog juga mengembangkan produk beras fortivikasi atau beras bervitamin. Selain itu, badan usaha milik negara atau BUMN ini membuat tepung dari bahan baku bekatul yakni bulir beras, atau yang biasa dikenal dengan dedak. Bulog menjual produk itu melalui platform online.
Toko virtual Bulog di platform e-commerce tersebut sudah mulai buka lapak sejak 25 Oktober 2019. Menurut Buwas, antusiasme masyarakat terhadap toko virtual tersebut cukup baik.
Jauh sebelum ini, Buwas juga punya rencana ekspor beras. Rencana itu tinggal rencana saja. Soalnya, harga beras di pasar internasional lebih murah dibandingkan dengan beras di Indonesia.
Tak hanya dalam hal menjual beras, kerja di bawah target juga terjadi pada penyerapan beras petani. Pada tahun ini Perum Bulog menargetkan serapan beras petani sebesar 1,8 juta ton setara beras. Target ini tak akan direalisasikan. Ia berdalih, pasokan di gudang masih cukup berlimpah.
Baca Juga: Gangguan Beras Impor di Gudang Bulog
Bila Bulog tetap mengejar target tersebut, dikhawatirkan jumlah pasokan di gudang menjadi berlebihan. Jika terlalu banyak beras disimpan di gudang dan pada akhirnya tidak terpakai, maka kualitas akan turun dan berujung tidak terpakai.
Target penyerapan tidak bisa terpenuhi juga karena distribusi beras Bulog untuk program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) lagi ‘seret’. Sebelumnya, Bulog memperkirakan bisa mendistribusikan beras untuk BPNT mencapai 700 ribu ton pada semester II 2019. Dari target itu, asumsinya distribusi beras akan mencapai 110 ribu sampai 150 ribu per bulan.
“Buktinya, (penyerapan BPNT) sebulan hanya 60 ribu ton, berarti kan perkiraan kami 700 ribu ton sampai Desember tidak akan tercapai dan stok kami masih banyak,” terangnya.
Saat ini, Bulog melakukan penyerapan dengan menggunakan ketentuan harga pembelian pemerintah sebesar Rp3.900/kg ditambah fleksibilitas 10% untuk gabah. Daerah yang menjadi pusat penyerapan saat ini antara lain Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi, dan Sumatra Selatan.
Memang tak mudah memimpin Perum dengan banyak masalah macam Bulog. Itu sebabnya, Bulog butuh orang yang lebih ahli.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini