Ceknricek.com–Baru-baru ini dalam salah satu kelompok WhatsApp kalangan “diaspora”Indonesia di luar negeri, terkirim sebuah pesan berbunyi: ”Bung sekarang ada tendensi dari orang-orang tertentu mem-Chinese – kan banyak berita-berita media”.
Gugatan (?) ini muncul sesudah ada kiriman ke WhatsApp itu yang menguraikan tentang asal usul Presiden Rusia Vladimir Putin adalah dari Tiongkok, antara lain karena bentuk matanya yang agak sipit. Pesan yang mempertanyakan tentang “mem-Chinese-kan” berita-berita itu kemudian ditambahi dengan bantahan:“Putin tak berdarah Chinese.”
Sebelumnya memang sudah banyak masukan ke WhatsApp dari kalangan warga atau bekas warga Indonesia keturunan Tionghoa, yang mengelu-elukan kehebatan Tiongkok. Sebagaimana diketahui, seorang yang diakui sebagai konglomerat di Indonesia, ketika berada di Tiongkok dan diwawancarai oleh televisi di negara itu mengaku bahwa meski dia lahir, besar dan menjadi kaya raya di Indonesia, namun ia tetap menganggap Tiongkok sebagai “ayah kandungnya”.
Belakangan perihal masuknya Islam ke Indonesia juga disimpulkan melalui orang-orang Tionghoa, bukan saudagar dari Gujarat, India, atau perantau- perantau dari Hadramut, Yaman. Bahwa Tiongkok memang hebat payah untuk dibantah. Dan hebatnya bukan sekarang ini saja melainkan sudah sejak dari kapan-kapan. Sebut saja kertas dan kompas – dua-duanya ditemukan di Tiongkok. (Kertas kemudian dikembangkan oleh bangsa Arab yang menyebutnya “Qartas” dan kemudian di Indonesia-kan menjadi kertas – salah satu sumbangan kadrun kepada kosa kata bahasa Indonesia).
Begitu hebatnya Tiongkok hingga pernah ada hadits yang sampai sekarang masih diperdebatkan kesahihannya oleh banyak orang. “Utlubul Ilma Walau Fissin” – Tuntutlah ilmu meski pun sampai ke Negeri Cina. Yang berkeyakinan bahwa hadits ini sahih – memang pernah diucapkan oleh Rasulullah (saw) – merujuk pada Surah Al Faathir (35) ayat ke-27 yang tafsirnya dalam bahasa Indonesia berbunyi sebagai berikut: “Tidakkah engkau perhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan air dari langit, lalu Kami keluarkan dengan air itu buah-buahan yang beraneka warnanya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka warnanya, dan ada (pula) yang sangat hitam.” (Al Quran Terjemah Indonesia karya TNI Angkatan Darat cetakan ke xx).
Jadi sebagian dari ayat itu menyebutkan tentang pegunungan pelangi. Beberapa tahun silam badan Perserikatan Bangsa-Bangsa UNESCO menyatakan bahwa “Pegunungan pelangi di Giansu, Tiongkok, merupakan bagian dari warisan dunia kepada Umat Manusia).
Kata sementara pengamat tentang Islam, sangat boleh jadi ketika Jibril (as) menyampaikan ayat ini dalam bentuk wahi kepada Rasulullah (saw) beliau membisikkan ke telinga Rasul bahwa “gunung pelangi dimaksud berada di fissin, alias di Cina/Tiongkok.” Allahu a’lam.
Itulah sebabnya, kata sementara ahli, Rasulullah (saw) “berkenalan” dengan Tiongkok, hingga tidak mengherankan apabila baginda Rasul (saw) kemudian menyarankan agar Muslim, kalau perlu, demi mencari ilmu, pergi ke Tiongkok, sebagaimana yang kemudian dilakukan oleh banyak Muslim, termasuk Ibnu Bathuthah. Yang menarik adalah uraian yang terdapat dalam buku “Lost Islamic History – Reclaiming Muslim Civilisation From The Past” oleh Firas Al-Khateeb, Hurst and Company, London hal. 180.
Dikatakan, setelah berjaya dalam tahun 600-an dan 700-an, Islam menyebar kemana-mana, dari Spanyol hingga ke India, dan berbagai budaya yang berada bahkan jauh dari wilayah Islam secara berangsur-angsur menerima atau kembali ke Islam hingga lambat laun menjadi wilayah dengan mayoritas rakyat atau penduduknya beragama Islam. Islam menyebar sampai ke Asia Tengah.
Islam juga secara berangsur-angsur sampai ke Tiongkok sekitar masa itu. Namun berbeda dari wilayah-wilayah lainnya yang menerima Islam sebagai agama, Tiongkok tidak semudah itu ditembus oleh Islam.
Di zaman Khalifah Usman bin Affan (ra), penguasa di Madinah sekitar tahun 650 Masehi mengutus seorang mualaf Sa’ad ibn Abi Waqqas, sebagai duta besar ke negeri yang waktu itu diperintah oleh Dinasti Tang. Namun barulah sekitar tahun 750 Masehi tentara Muslim diundang oleh pemerintah Dinasti Tang untuk mengabdi dalam ketentaraan Tiongkok.
Para Muslim tersebut kemudian ikut bergabung bukan saja dalam ketentaraan melainkan juga dalam birokrasi Tiongkok. Mereka kemudian dianjurkan agar menikahi perempuan-perempuan setempat dan bermukim terus menerus di Tiongkok. Peranan mereka kian meningkat. Begitu ditulis oleh Firas Al-Khateeb yang juga menguraikan bahwa bagi rakyat Tiongkok waktu itu, memang sulit untuk menerima Islam, karena latar belakang keyakinan mereka, seperti ajaran Kong Hu Chu dan Buddha, tidak mengenal para nabi/rasul seperti Ibrahim, Musa, ‘Isa (as), utusan-utusan Allah yang dikenal oleh para penganut agama Samawat.
Perihal masuknya Islam ke Asia Tenggara (Malaya, Indonesia dll). Profesor Anthony Jonhs dari Universitas Nasional Australia di Canberra, pernah menguraikan sebagai berikut: “Di Melaka (sekarang bagian dari Malaysia) dalam sebuah pekan ada seorang saudagar dari Gujarat, India, yang berjualan perhiasan-perhiasan sederhana terbuat dari logam yang murah. Ia ikut menggelar perdagangannya di pinggir jalan. Ketika ia melihat mata hari telah tinggi, ia menggulung daganganya itu ke dalam sehelai kain, dan segera menuju ke tepi sungai, lalu berwudhu, dan setelah mereka-reka arah kiblat, lalu melakukan salat zuhur. Selesai salat sejumlah orang yang sejak awal memperhatikannya menghampiri saudagar dari Gujarat itu dan bertanya apa yang telah dilakukannya tadi (yaitu melaksanakan salat).
“Oh, saya baru salat,” katanya, dan kemudian menjelaskan bahwa itu adalah suatu bentuk ibadah dalam agama Islam.
Begitulah, kata Profesor Anthony Johns, Islam masuk ke Asia Tenggara. Allahu a’lam.