Ceknricek.com — Tahun 1900 sebuah surat kabar bernama Pewarta Wolanda yang baru terbit perdana, sudah bikin riuh. Pasalnya, dalam koran itu terjadi perang pena antara Abdul Rivai dan A.A. Fokker, seorang pejabat Hindia Belanda yang mengklaim fasih berbahasa Melayu dibandingkan dengan orang Melayu sendiri.
Abdul Rivai, sebagai anak Melayu tentu saja geram mendengar pengakuan itu. Ia yang pada saat itu berada di Amsterdam untuk menempuh pendidikan kemudian saling berbalas serangan melalui koran. Setahun kemudian setelah pulang ke Tanah Air, Rivai mengajak Fokker debat terbuka.
Di sinilah Fokker ditelanjangi oleh Abdul Rivai dengan kelihaiannya berbahasa Melayu asli. Fokker pun limbung, perlahan namun pasti ia tersudut oleh ketangkasan Rivai dalam berargumen. Di ujung debat, untuk menutupi kekalahannya, ia kemudian berdalih: “Seorang Belanda tidak boleh berbahasa Melayu.”
Siapakah Abdul Rivai yang mampu menguliti salah satu pakar bahasa Melayu itu?
Bumiputera dari Palembayan
Abdul Rivai lahir di Palembayan, Agam, Sumatera Barat pada tanggal 13 Agustus 1871 dari pasangan Abdul Karim dan Siti Kemala Ria. Ayahnya seorang guru di Sekolah Melayu, sedangkan ibunya adalah keturunan raja di Muko-Muko.
Abdul Rivai menempuh pendidikan di Palembayan, lalu meneruskan sekolah Dokter di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) pada 1886. Setelah lulus pada 1894 ia ditugaskan menjadi dokter di Medan. Tiga tahun ia mengabdi di kota itu.
Baca Juga: Ernest Douwes Dekker Indo yang Memuliakan Pribumi
Semangat belajar mencari ilmu sepertinya tidak pernah padam dari Rivai. Tidak puas hanya sekolah di Hindia Belanda, ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Belanda. Rivai Tiba di Belanda tahun 1899. Ia menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Utrecht.
Namun di sana ia hanya setahun, karena lulusan Stovia tidak bisa mengikuti ujian dokter (arts) sebelum memiliki ijazah sekolah menengah atas Belanda. Selama di Negeri Kincir Angin itulah Rivai menerbitkan surat kabar berbahasa melayu, Pewarta Wolanda.
Pewarta Wolanda terbit pada 14 Juli 1900 dari Amsterdam (Ahmat Adam, The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness 1855-1913, 1995:94). Inilah koran milik orang Indonesia pertama dengan bahasa Melayu yang diterbitkan dari mancanegara.
Menerbitkan Bintang Hindia
Sepulang ke Hindia Belanda pada 1901, Abdul Rivai bekerja sama dengan Henri Constant Claude Clockener Brousson, mantan tentara Belanda yang juga seorang jurnalis untuk menerbitkan Bandera Wolanda.
Koran Bandera Wolanda merupakan peleburan dari Pewarta Wolanda milik Rivai dengan Soerat Chabar Soldadoe yang diterbitkan Brousson. Namun, kiprah mereka tidak bertahan lama dan terpaksa mundur dari keredaksian koran tersebut.
Dimuatnya artikel sensitif berjudul “Agama Protestan dan Islam” pada edisi Juni 1901 memantik reaksi keras dari berbagai kalangan. (Taufik Rahzen, dkk., Kronik Kebangkitan Indonesia: 1908-1912, 2008:127). Sepeninggal Rivai dan Brousson, Bandera Wolanda pun perlahan-lahan melemah.
Baca Juga: Mengenang Sitor Situmorang, Sang Penyair Pengelana
Bagi Rivai, selain kedokteran, pers adalah dunianya. Ia pun tak jera dengan pengalamannya tersebut. Tahun 1902, dengan bantuan dari beberapa relasinya ia kemudian mendapat hibah dari Kementrian Urusan Jajahan Hindia Belanda untuk menerbitkan koran baru bernama Hindia Belanda.
Lewat koran inilah Abdul Rivai berperan sebagi salah satu tokoh yang kelak memupuk nasionalisme dan memajukan jurnalisme dengan ikut mencerdaskan masyarakat Bumiputera.
“Meski berbeda dengan Tirto, Abdul Rivai ini dulu lebih ‘kooperatif’ terhadap Belanda. Dia memimpin surat kabar Milik Belanda. Di dalam surat kabar itu dia mengajarkan kemajuan, dia menjadikan Bumiputera ini sebagai kemajuan jurnalisme.” Ungkap Asvi Warman Adam kepada suara.com.

Baca Juga: Mengenang Penyair Seribu Tahun, Chairil Anwar
Melalui Bintang Hindia, Rivai juga mempopulerkan istilah “Bangsa Hindia” dan “Anak Hindia” yang kelak tatkala wacana nasionalisme kian matang kemudian berubah menjadi “Bangsa Indonesia” yang ditegaskan dalam Sumpah pemuda pada 1928.
Akhir Hayat Sang perintis
Abdul Rivai cukup bertahan lama dalam surat kabar Bintang Hindia hingga ia mengundurkan dari dewan keredaksian pada 1907. Alasan ini bukan tanpa sebab. Hasratnya untuk kembali mereguk ilmu pendidikan dokternya kembali membuncah. Ia lulus dari Universitas Gent, Belgia satu tahun kemudian, tepatnya pada bulan Juli 1908.

Selama hidupnya Rivai sempat berkelana di berbagai negara, dari Amerika hingga Eropa. Di kemudian hari ia nantinya juga menjadi mentor bagi pemuda-pemuda Indonesia yang belajar ke luar negeri, seperti Mohammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdoelmadjid, dan Nazir Datoek Pamuntjak.
Tahun 1932, Abdul Rivai kembali ke Tanah Air dan menetap di Tanah Abang. Ia berprofesi sebagai dokter dan masih menyempatkan diri untuk terus menulis di surat kabar. Dari Jakarta Ia kemudian memilih untuk pindah ke Kota Kembang, Bandung. Di kota inilah perintis itu mengembuskan napas terakhirnya hari ini 82 tahun silam, tepatnya pada 16 Oktober 1937, di usia 66 tahun.
Kepergian sosok langka dari kalangan Bumiputera itu bahkan sempat membuat Soetomo, tokoh penting Boedi Oetomo (BO), merasa kehilangan. Ia pun menulis:
“Dengan meninggalnya Dr. Abdul Rivai, maka seorang manusia yang aneh dan luar biasa telah meninggalkan kita. Dr. Rivai harus dihitung di kalangan mereka yang membuka jalan ke Indonesia baru, ke Indonesia di hari yang akan datang.”
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.