Ceknricek.com — Namanya bagi kalangan gerilyawan dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia adalah legenda. Bagaimana tidak. Mayor Jenderal satu ini dikenal nyentrik dan memiliki ide-ide liar terkait strategi perang.
Beberapa kisah kocak, nyeleneh dan penuh kegilaan pun tidak lepas dari kiprah Jenderal yang meninggal tepat hari ini, 33 tahun yang lalu, pada 29 September 1986 tersebut.
Aksi-Aksi Gila Moestopo
Suatu ketika pada saat revolusi Indonesia pecah (1945-1949) Mayor Jenderal Moestopo diperintahkan oleh Panglima Sudirman untuk menghambat gerakan Tentara Sekutu di Subang, Jawa Barat.
Komandan Resimen Siliwangi Bandung Utara ini kemudian memimpin Pasukan Terate (Tentara Rahasia Tertinggi) dengan tidak hanya menggalang pasukan reguler, melainkan juga melibatkan non-militer alias orang-orang biasa.
Namun, alih-alih menggunakan rakyat biasa, Moestopo malah melibatkan bromocorah, pelacur, copet, begal, preman, dan residivis-residivis yang ia temui di perjalanan selama bergerilya.
Mereka kemudian disebar untuk menimbulkan kekacauan di pihak musuh, melakukan sabotase, juga menyediakan pasokan logistik dari garis belakang. Selain itu ia juga melakukan propaganda dengan menyebar pamlet-pamlet di pohon-pohon, serta mengungsikan rakyat yang lemah.
Aksi gila dari Moestopo yang lain, sebagaimana diungkapkan Barlan Setiadijaya dalam bukunya 10 November 45: Gelora Kepahlawanan Indonesia (1991) adalah di depan anak buahnya ia pernah membakar ujung bambu runcing hingga hangus dan kemudian dimasukkan ke dalam kotoran kuda (hlm.571).
Kisah konyol dan tak lazim itu bukanlah tanpa alasan. Maksud Moestopo mengoleskan kotoran kuda di ujung bambu runcing adalah agar lawan yang tertusuk senjata tersebut terkena penyakit tetanus. Ia pun pernah menuliskan makalah ini tatkala pelatihan militer, dan mendapat nilai tinggi karenanya.
Baca Juga: Kiprah John Lie: Sang Penyelundup yang Menjadi Pahlawan
Lain dari itu, Moestopo juga pernah memerintahkan pasukannya memakan daging kucing. Menurutnya, dikutip dari buku Ganster and Revolutionaries, The Jakarta People’s Militia and Indonesian Revolution 1945-1949 karya Robert B. Cribb, supaya dapat melihat dalam gelap layaknya mata seekor kucing di malam hari.
Sebagai seorang tentara, Moestopo memang dikenal nyeleneh dan keluar dari lazimnya kebiasaan parjurit yang biasanya kaku. Dikutip dari Historia, ketika Ia memimpin Divisi Mobil yang beroperasi menggunakan kereta api, dia bahkan kerap nekat menyerang militer Belanda dari atas kereta api yang dikendarai dengan kecepatan tinggi.
Sambil bertempur, dia berdiri sambil berkacak pinggang di depan pintu kereta api yang terbuka dan berteriak: “Hei Nederlandse soldaat! Als je witt vechten, kom dan hier tevoorschijn: Generaal Moestopo! (Hei serdadu Belanda!, kalau kalian ingin berkelahi, ayo hadapi aku: Jenderal Moestopo!).
Tak jarang juga kereta yang sekaligus dijadikan markas itu berhenti sekonyong-konyong di tengah perjalanan gerilya mereka. Hal tersebut di dilakukan oleh masinis sekadar memenuhi perintah komandannya yang kebelet buang air kecil.
Dokter Gigi yang Menjadi Tentara
Moestopo lahir di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, pada 13 Juli 1913. Sejak kecil ia sudah bercita-cita menjadi dokter gigi. Maka, setelah lulus sekolah menengah, ia mantap mendaftarkan diri ke Sekolah Kedokteran Gigi milik pemerintah kolonial Hindia Belanda atau School Tot Opleiding van Indische Tandartsen (STOVIT) di Surabaya.
Kariernya mulai terlihat cerah tatkala menjabat sebagai asisten dokter gigi pada tahun 1937. Hingga kemudian menjelang runtuhnya kekuasaan Belanda ia juga sempat menjabat sebagai Wakil Direktur STOVIT sekaligus Kepala Bagian Klinik Gigi CBZ (kini Rumah Sakit Umum Pusat) Surabaya.
Setelah Jepang menjajah Indonesia pada tahun 1942, Moestopo menjabat sebagai dokter gigi militer bagi Jepang namun kemudian ditangkap oleh Kempeitai karena dianggap sebagai mata-mata Belanda. Meskipun demikian, ia lalu dibebaskan karena tuduhan tersebut tidak terbukti.
Tatkala pendudukan Dai Nippon, Moestopo memutuskan untuk masuk pendidikan militer Jepang. Ia satu angkatan dengan Soedirman dan Gatot Soebroto. Karena otaknya yang cemerlang Ia langsung diangkat sebagai Komando PETA (Pemebela Tanah Air).
Baca Juga: R.E Martadinata, Panglima Angkatan Laut yang Tewas di Udara
Tak lama berselang, Moestopo kembali dipromosikan sebagai komandan pasukan pribumi untuk melindungi Gresik dan Surabaya, Jawa Timur. Tidak banyak orang Indonesia yang menerima promosi jabatan seperti ini, Moestopo termasuk oarng yang beruntung di antara mereka semua.
Setelah perang berakhir, Moestopo pindah ke Jakarta pada 1952. Ia lalu menjabat sebagai Kepala Bagian Bedah Rahang di Rumah Sakit Angkatan Darat (sekarang RS Gatot Subroto). Di sana ia memberi pelatihan dasar bagi para dokter gigi yang akan melakukan praktik.
Pada tahun 1958 Moestopo mendirikan “Pendidikan Dr. Moestopo”, yang terus berkembang dan kemudian menjadi universitas pada 15 Februari 1961 dengan nama Prof. Dr. Moestopo (Beragama) di Jalan Hang Lekir, Jakarta Pusat. Di tahun yang sama, Moestopo mendapat gelar doktor dari Universitas Indonesia.
Sang jenderal eksentrik itu tutup usia pada tanggal 29 September 1986 di usia 73 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Cikutra, Bandung. Ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 9 November 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.