Ceknricek.com — Perang belum selesai. Itu jika pemilihan presiden dianggap sebagai perang. Pada Rabu (17/4) malam, sekitar pukul 20.00 WIB, dengan suara khasnya, Prabowo melakukan update penghitungan real count hasil pilpres di Jalan Kertanegara No. 4 Jakarta. Dia memaparkan angka-angka dari 350 ribuan tempat pemungutan suara atau TPS. Angka kemenangan Prabowo-Sandi 62%, ujarnya, diiringi teriakan histeris pendukungnya. Di antara mereka ada yang menangis dan bertakbir.
Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar, pekik Prabowo mengakhiri pidato update itu diiringi pendukungnya. Sepintas kemudian Prabowo sujud syukur. Sampai detik itu, Prabowo merasa menang.
Maklum saja, data C1 dari 350 ribu TPS itu adalah 40% dari total TPS yang berjumlah total 809 ribu. Secara hitungan matematika, angka sebesar itu tidak akan berubah banyak saat data C1 dari seluruh TPS masuk semuanya.
Lagi pula, bagi pendukung Prabowo-Sandi atau Padi, kekalahan jagoannya itu terasa tidak masuk di akal. Apalagi dengan selisih angka 10%. Lebih tidak masuk akal lagi paslon 01 dinyatakan menang mutlak di Madura.
Ya, pada malam itu, stasiun televisi berulang-ulang mengumumkan hasil quick count lembaga survei yang rata-rata memenangkan pasangan Joko Widodo-Maruf Amin (Jokma) dengan 54% berbanding 45%. Lembaga survei yang merilis hitung cepat sejak Rabu pukul 15.00 WIB itu adalah Litbang Kompas, Indobarometer, SMRC, Indikator, Charta Politika, dan Poltracking. Publik mencatat bahwa pentolan para surveyor ini pernah diundang makan siang di istana. Dan sejak itu, mereka lebih banyak berperan sebagai opini maker.
Asal tahu saja, selisih persentase kemenangan Jokma versi hitung cepat yang dilansir sejumlah media survei itu adalah dua kali lipat dari perolehan Jokowi-JK tahun 2014. Itu bisa dimaknai Maruf Amin lebih hebat dari JK dan Sandiaga Uno lebih buruk dari Hatta Rajasa. Lebih jauh lagi, kondisi itu juga menggambarkan bahwa dukungan Ustaz Abdul Somad, Habib Rizieq Shihab, Ustaz Adi Hidayat, Aa Gym, dan semua ulama dan habib tidak punya efek apa pun. Sambutan luar biasa di 1.500 titik blusukan Sandiaga Uno seolah tidak pernah ada. Milenial lebih gandrung kepada Maruf daripada Sandiaga Uno.
Lebih daripada itu, kini juga bertebaran informasi hasil-hasil pendataan dari beberapa lembaga. Data TNI, misalnya, menghasilkan angka 62% kemenangan Prabowo-Sandi. Tapi data ini tidak dibuka ke publik. Karena untuk konsumsi internal. Namun pada tengah malam, data TNI itu beredar di grup-grup WhatsApp. Belum pernah TNI memastikan diri seperti ini.
Tiga Perhitungan
Bagaimana pun, kini ada tiga versi perhitungan yang sudah terpublikasi, menyebar lewat WAG dan platform lain dengan sangat deras. Perhitungan itu adalah quick count lembaga survei, C1 oleh BPN, dan angka resmi KPU. Masalahnya, ketiga-tiganya belum bisa dijadikan sandaran.
Hitung cepat atau Quick Count (QC) yang diumumkan oleh para penyelenggara quick count di televisi itu bisa diperdebatkan hasilnya karena ada “margin of error”. QC hanya bisa dipakai sebagai bahan prediksi awal. Tak bisa dipakai untuk merumuskan konklusi. QC berguna tapi ada batasnya. Tak bisa dipakai membuat konklusi resmi, tulis Eep Saefulloh Fatah, peneliti dan konsultan politik, dalam pesan WhatsApp yang viral.
Sedangkan hasil real count berbasis berita acara perhitungan suara di TPS (Formulir C1) yang dilakukan kubu Prabowo-Sandi, juga baru 40% dari seluruh TPS. Secara statistik angkanya juga belum konklusif. Selain itu, angka ini belum bisa dipakai sebagai hasil resmi karena baru perhitungan satu pihak Prabowo-Sandi. Kubu Jokma bisa saja membuat bantahan dengan cara berhitung yang sama. Konklusinya berpotensi diperdebatkan secara politik.
Ilustrasi : Kiki/Ceknricek.com
Selanjutnya, angka perhitungan KPU yang diumumkan di website resmi KPU. Angka ini diperoleh dengan cara yang sama dengan perhitungan kubu Prabowo-Sandi, berbasis berita acara perhitungan suara di TPS. Masalahnya, data yang sudah dihitung KPU masih sangat terbatas, yakni di bawah 1%. Jadi, sekalipun ini angka “resmi” di website KPU, tapi datanya masih amat sangat kecil untuk dipakai membuat konklusi.
Makna semua itu adalah kita mesti bersabar. Bersabar menjalani proses pasca-pencoblosan yang sangat krusial ini. Sabar menjalani proses perhitungan suara sesuai prosedur dan mekanisme yang sudah disepakati.
Melihat hal tersebut, Eep mendorong KPU harus menyegerakan proses pendataan di websitenya berbasis Formulir C1. Berbasis teknologi yang digunakan, input data bisa dilakukan dengan cepat.
Selanjutnya, atas nama akuntabilitas, KPU harus memasukkan data per TPS yang dilengkapi dengan gambar hasil scan Formulir C1 per TPS. Dengan itu, kredibilitas data terjaga. Berbasis pengalaman dalam Pilkada 2015, 2017 dan 2018, KPU semestinya punya kemampuan mengerjakan ini dengan cepat.
Lebih jauh lagi kubu Jokma dan Padi juga harus menyegerakan proses “quick real count”, memasukkan data dari semua TPS dari semua daerah pemilihan berbasis Formulir C1. Ada baiknya proses update mereka berikan kepada publik untuk setiap tahap penting yang sudah dilewati proses perhitungan real ini, saat suara yang dihitung sudah 50%, 60%, 80%, 90%, dan (mendekati) 100%.
Jika selisih cukup lebar, pada saat data masuk sudah melampaui 80% dan beringsut mendekat ke 90%, maka konklusi bisa dibuat. Jika selisih tipis, maka satu-satunya jalan adalah mempertarungkan perhitungan masing-masing kubu dalam proses rekap per kecamatan. Rekap berbasis berita acara hasil rekap suara di PPK (kecamatan) inilah yang kemudian bisa kita pakai membuat konklusi.
Mengapa? Sebab dalam proses rekap ini, kubu 01, 02, KPU, dan Bawaslu resmi terlibat dalam perhitungan. Konklusi sebaiknya dibuat berbasis ini.
Selanjutnya, kita semua mesti bijak. Yakni, dengan menunggu hasil perhitungan resmi ditetapkan KPU berbasis proses yang layak. Proses yang layak adalah proses yang demokratis, adil, transparan berbasis aturan main yang sudah disepakati, yakni dari kecamatan ke kabupaten/kota dan kemudian provinsi. Kedua kubu berhak dihormati hak konstitusionalnya untuk terlibat dalam semua tahapan dalam proses perhitungan yang krusial ini, ujar Eep.