Ceknricek.com — Sesosok lelaki dengan segelas anggur di tangan, duduk di atas kulkas bersama perempuan berkostum era Yunani. Sesekali mereka memeragakan pose beberapa adegan.
Sementara itu, lelaki lain yang bertindak sebagai juru foto mengatur timer di kamera yang diproyeksikan ke belakang layar. Ia kemudian bergabung di atas kulkas hingga terciptalah adegan album “Keluarga Hamlet”.
Peristiwa singkat yang menimbulkan tawa penonton ini merupakan adegan pembuka dari pertunjukan Komunitas Teater Ghanta, “Mesin Hamlet”/Die Hamletmaschine, karya Heiner Muller di Teater Utan Kayu Jakarta, Jumat (16/8).
“Dulu aku Hamlet. Aku berdiri di pantai dan berbicara dengan hempasan gelombang BLABLA, di belakangku reruntuhan Eropa,” Hamlet memulai dialog.
Hamlet (Aseng Komaruddin) mengucapkan kalimat itu sesudah peristiwa reka adegan Perselingkuhan Gestrude (Haifa Marwan), Racun untuk Bapakmu (Ikke Dirga Santoso) dan adegan Keluarga Baru Hamlet lewat pose-pose yang mengisahkan tragedi naskah tersebut .
Namun, selepas dialog yang diucapkan Hamlet, narasi pertunjukan pun berubah seketika. Penonton yang duduk lesehan di atas level, “diseret” untuk ikut melacak sejarah dunia pada paruh abad 20, lewat beberapa dialog dan komponen arsip sejarah dari kekosongan politik di Asia paska Perang Dingin (1947-1991).
Baca Juga: Pertunjukan Teater ‘I La Galigo’ Menyapa Publik Jakarta
Sutradara Yustiansyah Lesmana, memang ingin memproyeksikan drama pertunjukan yang ditulis dramawan Jerman ini sebagai kata kunci untuk mengakses peristiwa dalam satuan waktu negara dunia ketiga tatkala masih bergulat mencari bentuk dirinya setelah Perang Dingin berlangsung.
“Pertunjukan ini sebenarnya ingin membicarakan seberapa jauh dan seberapa keras efek domino dari Perang Dingin yang dimenangkan oleh Sekutu hingga akhirnya meninggalkan kehancuran di Asia Tenggara serta cengkraman mereka terhadap modernitas” ungkap Yustiansyah saat ditemui seusai pementasan.
Narasi Sejarah & Konsep Sosiologi
Mesin Hamlet/Die Hamletmaschine ditulis Heiner Muller, seorang dramawan, penyair dan sutradara dari Jerman bersamaan dengan proyek terjemahannya terhadap naskah Hamlet karya Shakespeare untuk Volksbuhne di Berlin Timur.
Dari 200 halaman teks karya Shakespeare, ia kemudian memadatkannya menjadi delapan halaman untuk membentuk apa yang disebut “Kepala Tragedi Hamlet yang Menyusut”.
Die Hamletmaschine yang diterjemahkan oleh Dewi Noviami ke dalam bahasa Indonesia menjadi Hamlet Mesin, mencerminkan ketegangan dan tragedi yang menimpa banyak orang di Jerman Timur yang berusaha melepaskan diri dari kediktatoran Uni Soviet setelah PD II.
Dengan meminjam ilmu sosiologi yang dalam praktiknya tidak melepas hubungan antara seniman dengan lingkungannya lewat konsep Panopticon yang dikembangkan oleh Michel Foucault, tentang pengawasan atau pendisplinan masyarakat modern di era sekarang.
Komunitas Teater Ghanta akhirnya mendekonstruksi ulang sejarah yang dulunya dipakai Muller untuk mengkritik pemerintahan Jerman, di Asia Tenggara terkait polarisasi politik kepentingan setelah Perang Dingin.
Kamera CCTV yang diproyeksikan sebagai simbol ‘pengawasan’, arsip-arsip sejarah Perang Indocina Kedua (Vietnam), Southeast Asia Treaty Organisation (SEATO) hingga pemberontakan di Asia pun, ditempel di dinding sebagai rangkaian peristiwa yang berentetan (Teori Domino).
Setelah mata penonton dimanjakan oleh berbagai aksi dan narasi lanskap sejarah global serta simbol-simbol peradaban modern, pertunjukan itupun usai. Sebelumnya dua sisi panggung ditutup dengan kelambu serta dialog terakhir Ophelia di atas kulkas.
“Ganyang kebahagiaan penaklukan. Hiduplah kebencian, penghinaan, pemberontakan, kematian. Ketika mereka melintas kamar tidurmu dengan pisau jagal, kalian akan tahu tentang kebenaran.”
BACA JUGA: Cek FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini