Ceknricek.com– Saat seorang konsumen menimang sebotol kecap atau sebungkus sosis, mengecek tanda halalnya lalu dalam hitungan menit memutuskan untuk membeli atau tidak, sempatkah ia menyerap gambaran “golong gilig” bahwa semakin tinggi ilmu dan semakin tua usia, maka manusia harus semakin mengerucut?
Untuk kebutuhan konsumen seperti itu, adakah perlunya suatu label halal juga bermuatan penyampaian manunggaling jiwa, rasa, cipta, karsa, dan karya dalam kehidupan, atau semakin dekat dengan Sang Pencipta. Seperti yang dimaksudkan dalam label halal baru yang dikeluarkan oleh BPJPH?
Rasanya kok tidak. Dalam realitasnya, yang dibutuhkan seorang konsumen pada proses tersebut hanya suatu informasi cepat, sederhana, dan to the point yang meyakinkannya bahwa produk yang hendak dikonsumsinya halal.
Masyarakat kini tengah ramai membicarakan penggantian label halal. Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Muhammad Aqil Irham menjelaskan bahwa label halal yang baru secara filosofi mengadaptasi nilai-nilai ke-Indonesiaan (“Tentang Gunungan di Logo Halal Baru yang Jadi Sorotan”, detiknews, (14-3-22).
Selama ini label halal yang dikeluarkan oleh MUI berbentuk lingkaran dengan tulisan “halal” berhuruf Arab berwarna hijau sudah akrab dikenali masyarakat luas. Selain sudah berlangsung lama, label ini juga simpel. Hanya ada tulisan halal, dan Majelis Ulama Indonesia. Ringkas dan tegas, membuat masyarakat mudah mencernanya.
Format ini juga relatif sama dengan yang digunakan di beberapa negara lain. Konsumen disana mengenali dan telah terbiasa dengan label halal yang berlaku umum tersebut. Juga mempermudah konsumen Indonesia tatkala sedang berbelanja di sana.
Lalu terhitung 1 Maret 2022, label itu diganti dengan yang baru menggunakan warna ungu sebagai warna utama dan hijau toska sebagai warna sekundernya. Tulisan “halal” dalam kaligrafi Arab berbentuk gunungan. Di bawahnya dalam huruf latin tertulis: Halal Indonesia.
Kata Aqil Irham, bentuk Label Halal Indonesia terdiri atas dua objek, yaitu bentuk gunungan dan motif surjan atau lurik gunungan pada wayang kulit yang berbentuk limas, lancip ke atas. “Ini melambangkan kehidupan manusia,” ujarnya.
Sedangkan motif surjan yang juga disebut pakaian takwa mengandung makna-makna filosofi yang cukup dalam. Di bagian leher baju surjan memiliki 3 pasang kancing yang semuanya menggambarkan rukun iman. Selain itu, motif surjan/lurik yang sejajar satu sama lain juga mengandung makna sebagai pembeda/pemberi batas yang jelas.
Alangkah kompleksnya motif dan kandungan yang melatarbelakangi disain label yang semestinya sederhana ini. Demikian kompleksnya misi yang dipikul label ini. Padahal hakikatnya, fungsi label ialah alat informasi. Gunanya untuk memberitahukan sesuatu. Kaidah komunikasi-informasi mematoknya: harus ringkas, sederhana, tidak menjelimet, langsung to the point. Apalagi info disini sifatnya akan digunakan secara cepat, dalam waktu yang singkat. Bukan soal yang lain- lain seperti hendak mempromosikan bangsa, budaya dan sebagainya. Salah tempat. Apalagi hendak menyisipkan pula filosofi golong gilik segala.
Tidak heran, kalau belum-belum logo ini sudah menuai banyak reaksi. Orang sekelas Anwar Abbas, sekjen MUI saja, ketika melihat logo label halal yang baru, mengatakan lebih melihat gunungan daripada kaligrafi tulisan halal. Padahal, daya tangkap persepsi beliau akan tulisan huruf Arab tentunya tak diragukan lagi. Bagaimana dengan mata orang awam? Makanya, label sepenting ini, mutlak harus seinformatif mungkin, gampang dicerna, tidak membelokkan perhatian, dan dapat dimengerti segera oleh semua orang.