Ceknricek.com — “Telah habis teori di gudang!” celoteh kawan saya dengan mimik serius pada suatu kesempatan, mengomentari situasi KPK saat ini. Telah banyak pesan kritik kepada pemimpin negara untuk menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi, bahkan telah sampai di karpet merah Istana, namun hanya dianggap angin lalu.
Ia sangat khawatir dengan situasi itu, terkhusus kepada KPK yang menurutnya sedang “ditandu ke peristirahatan terakhirnya”. UU No 19 Tahun 2019 menjadi “liang lahat” peristirahatan KPK. Tentu, KPK yang saya maksud di sini adalah KPK dalam baju UU No 30 Tahun 2002, bukan KPK dalam balutan undang-undang baru.
Kekhawatiran kawan saya itu, barangkali juga mewakili sekian juta rakyat Indonesia, termasuk saya. Ini bukan situasi yang baik-baik saja, tidak saja bagi pemberantasan korupsi dan KPK, tapi juga bagi demokrasi. Padahal satu prasyarat kunci dalam demokrasi adalah partisipasi publik. Dalam demokrasi, setiap keputusan dan kebijakan penting harus melibatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Demokrasi bisa tegak pada relnya jika didukung dengan pranata demokrasi itu sendiri, salah satunya adalah antikorupsi.
UU No 19 Tahun 2019 adalah “pelemahan paripurna KPK” dan pemberantasan korupsi. Mengapa saya sebut paripurna, karena pelurunya mengenai jantung KPK. UU KPK adalah jantung KPK. Sebagai orang yang pernah berada di sana, saya tidak akan sekhawatir ini jika seandainya KPK hanya diserang secara fisik atau kriminalisasi.

Penyidik dan penuntut KPK adalah orang-orang yang sudah siap mati dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Cerita penyidik diteror, keluarganya diancam, hendak dibunuh, seperti yang dialami oleh Novel Baswedan dkk, bukan isapan jempol.
Kriminalisasi pun sudah sering dirasakan. Tapi ini situasinya lain, peluru langsung ditembakkan ke jantung KPK, melalui UU KPK yang menjadikan KPK sebagai “kuda troya”.
Saya pernah menulis beberapa pasal kontroversial dalam poin revisi yang bisa membuat KPK lumpuh, bahkan “shutdown”. Dan situasi sekarang sedang menuju ke arah itu. Apalagi Perppu tak kunjung terbit, Perppu yang akan menyelamatkan KPK dari kematian, sebatas asa yang tak berbalas.
Baca Juga: KPK Wajah Jokowi
Tidak hanya soal UU KPK baru dan Perppu yang tak kunjung terbit, beberapa situasi yang menyiratkan alarm bahaya terhadap masa depan pemberantasan korupsi tampak jelas di pelupuk mata. Pasca UU KPK baru diberlakukan, rentetan peristiwa telah membunyikan alarm bahaya itu.
Pertama, putusan MA yang memvonis bebas tersangka tipikor Bank Century Syarifuddin A. Tumenggung (SAT). Vonis bebas itu sangat ganjil mengingat di belakang hari terkuak jika salah satu hakim yang menangani perkara SAT bertemu dengan pengacara SAT. Padahal KPK ekstra serius mengusut kasus dengan nilai kerugian Negara Rp6 triliun lebih.

Kedua, muncul tekanan dari koruptor dan anteknya untuk mendorong SP3 terhadap beberapa tersangka tipikor di KPK. Wewenang SP3 dalam UU baru KPK dilihat sebagai “alat tawar yang manis” untuk menerbitkan SP3. Menjelang pergantian pimpinan KPK pada Desember ini, masyarakat sipil menerima banyak informasi jika beberapa tersangka tipikor sedang mengupayakan SP3 terhadap kasus yang menjeratnya. Ini adalah situasi yang sangat berbahaya jika tidak direspons.
Tulisan saya sebelumnya juga menyinggung kekhawatiran itu. SP3 akan menjadi ‘kartu sakti’ yang akan diburu para tersangka tipikor, betapapun mahalnya. Dan di tangan Pimpinan KPK yang kontroversial, pelamar kartu sakti SP3 akan mengantre panjang dalam satu barisan.
Baca Juga: Omong Kosong Anti Korupsi
Ketiga, vonis bebas mantan Dirut PLN Sofyan Basir. Pada 04 November lalu, Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis bebas kepada SB dalam kasus korupsi PLTU Riau-1.

Baca Juga: Pudarnya Garis Tangan Sofyan Basir
Keempat, Mahkamah Agung (MA) menyunat hukuman politikus Golkar dan bekas Menteri Sosial, Idrus Marham, dari 5 menjadi 2 tahun penjara. Ini adalah putusan “land mark decision” MA yang teramat ganjil setelah ditinggalkan hakim agung Artidjo yang memasuki usia pensiun.
Kelima, isu ancaman resign massal pegawai KPK karena terpilihnya Pimpinan KPK kontroversial dan Perppu tak kunjung terbit. Selama disana, saya mengenal baik beberapa pegawai (termasuk penyidik kepolisian dan penuntut umum) yang punya integritas. Di KPK, mereka menemukan apa yang dicari, penghargaan terhadap dedikasi, dedikasi terhadap pemberantasan korupsi tentunya.
Ini apa yang saya sebut sebagai “monoloyalitas” loyalitas mereka semata-mata hanya pada track KPK dalam pemberantasan korupsi. Akan berbahaya jika pemimpin Negara tidak bijak dalam merespon ini.
Peran Negara
Rentetan peristiwa itu membawa kita pada satu kesimpulan, bahwa pelemahan antikorupsi tidak selamanya hanya berasal dari perlawanan balik koruptor (corruptor fight back), tapi juga berasal dari negara. Padahal Negara telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) melalui UU No 7 Tahun 2006. Ratifikasi itu tidak hanya melahirkan kewajiban hukum, tapi juga kewajiban moral Negara untuk melindungi dan memperkuat pranata antikorupsi dari setiap serangan yang bisa melemahkannya.
Maka sebagai pihak yang berjanji, negara bukan saja selalu berpotensi, tetapi secara faktual mengingkari atau melanggar janjinya sendiri untuk melindungi pranata antikorupsi dan personelnya. Sehingga pelanggaran terhadap itu adalah mutlak tanggung jawab negara. Karena negara inilah yang mengingkari atau melanggarnya. Atas pengingkaran atau pelanggaran ini pula, negara dituntut tanggung jawabnya.

Baca Juga: Pernyataan Lengkap Jokowi Terkait Demo Mahasiswa dan Perppu UU KPK
Ibarat menonton drama berseri, tidak keliru jika KPK periode 2015-2019 akan menjadi serial akhir KPK. Meskipun tidak sedikit kekurangan dalam catatan masyarakat sipil pada era Agus Rahardjo cs, terluntanya penyelesaian kasus penyiraman air keras Novel Baswedan salah satunya. Akan tetapi, KPK di era ini masih “mau mendengar dan berbicara dengan rakyat.” Beberapa kasus korupsi besar juga diungkapnya meskipun sebagian tidak sampai menyentuh intelektual dader.

Beberapa Pimpinan berani berdiri bersama masyarakat sipil menolak revisi UU KPK, sedangkan sisanya menunjukkan mental pengecut. Jika tidak ada langkah konkret Presiden untuk menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi, tidak lama lagi kita akan menyanyikan lagu “sayonara KPK”. Sedihnya, lagu sendu itu dinyanyikan justru pada saat dunia memperingati Hari Anti-Korupsi (anti corruption day) pada 09 Desember. Nawacita antikorupsi menjadi dukacita.
Jakarta, Desember 2019
Abraham Samad, Ketua KPK 2011-2015.
BACA JUGA: Cek OLAHRAGA, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.