Ceknricek.com — Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) telah mengubah beberapa daerah di Pulau Sumatera menjadi seperti planet Mars. Langit berubah menjadi merah. Nitizen menebar foto-foto langit merah Jambi di media sosial, Sabtu (21/9).
Eka Wulandari, dari Desa Mekar Sari, Jambi, memosting serangkaian foto yang diambil sekitar tengah hari pada hari Sabtu (21/9) di Facebook. “Kondisi kabut asap sangat tebal hari itu,” katanya, melampirkan foto langit merah membara di desanya.
Pengguna Twitter lain memosting video yang menunjukkan langit berwarna sama. “Ini bukan Mars. Ini Jambi,” kata pengguna Zuni Shofi Yatun Nisa. “Kita manusia membutuhkan udara bersih, bukan asap.”
Seorang warga yang mengeluh kabut asap itu “melukai mata dan tenggorokannya”.

Warga masyarakat sekitar terpaksa menyalakan lampu karena langit semakin gelap meski saat itu baru pukul 12.00 siang. Kabut asap memenuhi atmosfer sehingga menghalangi sinar matahari.
Baca Juga: Negeri di Atas (Awan) Asap!
Pengendara sepeda motor dan mobil pun harus berjalan ekstra hati-hati karena jarak pandang terbatas. Sejumlah foto dan video yang menunjukkan kondisi tersebut diunggah di media sosial dan menjadi viral.
Hamburan Rayleigh
Profesor Koh Tieh Yong, dari Universitas Ilmu Sosial Singapura, menjelaskan bahwa fenomena ini, yang dikenal sebagai hamburan rayleigh, berkaitan dengan jenis partikel tertentu yang hadir selama periode kabut. “Dalam kabut asap, partikel yang paling banyak berukuran sekitar 1 mikrometer, tetapi partikel-partikel ini tidak mengubah warna cahaya yang kita lihat,” katanya kepada BBC.
Ada juga partikel yang lebih kecil, sekitar 0,05 mikrometer atau kurang, yang tidak membentuk banyak kabut tetapi masih agak lebih banyak selama periode kabut (dari periode non-kabut normal). “Tetapi ini cukup untuk memberikan kecenderungan ekstra untuk menyebarkan cahaya merah lebih banyak ke arah depan dan belakang daripada cahaya biru dan itulah mengapa Anda akan melihat lebih banyak merah daripada biru,” lanjutnya.
Dia mengatakan fakta foto yang diambil sekitar tengah hari bisa menyebabkan langit tampak lebih merah. “Jika matahari berada di atas kepala dan Anda melihat ke atas, (Anda akan melihat) di garis matahari, sehingga akan tampak bahwa lebih banyak langit berwarna merah.”
Mie Scattering
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut fenomena langit merah yang terjadi di Muaro Jambi disebabkan oleh adanya hamburan sinar matahari oleh partikel yang mengapung di udara dan berukuran kecil (aerosol).
Diameter aerosol dari polutan yang panjangnya sama dengan panjang gelombang sinar tampak (visible) matahari menyebabkan fenomena hamburan mie (mie scattering).
Kepala Sub bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto mengatakan, panjang gelombang sinar merah adalah 0,7 mikrometer. Konsentrasi debu partikulat polutan berukuran “Langit yang berubah merah terjadi di Muaro Jambi. Ini berarti debu polutan di daerah tersebut dominan berukuran sekitar 0,7 mikrometer atau lebih dengan konsentrasi sangat tinggi,” kata Siswanto dalam siaran pers, Senin (23/9). Sebaran partikel tersebut juga luas sehingga membuat langit berwarna merah.

Baca Juga: Musibah Berulang Kebakaran Hutan
Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Agus Wibowo Soetarno, juga mengatakan warna merah tersebut disebabkan pula oleh titik api atau hotspot yang sangat banyak. “Ini data tadi pagi di Muaro Jambi, terjadinya hotspot 430 yang validitasnya di atas 80%. Jadi memang di sana banyak sekali titik api,” kata Agus kepada CNNIndonesia.com, Minggu (22/9).
Pada 2015, langit di Palangka Raya juga diberitakan berwarna oranye akibat kebakaran hutan dan lahan.
Menurut Siswanto, hal ini menunjukkan bahwa partikel polutan yang ada di Palangka Raya pada saat itu lebih kecil atau lebih halus sehingga warnanya tidak merah seperti yang terjadi di Muaro Jambi.
Berdasarkan hasil citra satelit Himawari 8 pada 21 September 2019, di sekitar Muaro Jambi terdapat banyak titik panas (hotspots) dan sebaran asap karhutla yang sangat tebal. Asap dari kebakaran hutan dan lahan ini berbeda dari daerah lain yang tampak berwarna coklat. “Di Muaro Jambi menunjukkan warna putih yang mengindikasikan lapisan asap sangat tebal,” kata Siswanto.
Fenomena langit berwarna merah juga pernah terlihat di Amazon, Brasil pascakebakaran yang melanda hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia tersebut, Agustus lalu.
Lembaga Antariksa Amerika Serikat (NASA) menggunakan instrumen Atmospheric Infrared Sounder (AIRS) yang memotret kawasan tersebut dari ketinggian 5.500 meter. Dalam animasi yang ditunjukkan oleh NASA pada 23 Agustus 2019, tingginya konsentrasi karbon monoksida (CO) di udara menyebabkan atmosfer bumi berubah warna dari hijau menjadi merah. Warna hijau menunjukkan konsentrasi karbon monoksida mencapai 100 bagian per semiliar (parts per billion/ppbv). Warna kuning menunjukkan konsentrasi karbon monoksida sebanyak 120 bagian per semiliar. Adapun warna merah menunjukkan konsentrasi karbon monoksida di atas 160 bagian per semiliar.
Baca Juga: Greenpeace Ajak Publik tak Gunakan Produk Pembakar Hutan
Citra satelit NASA menunjukkan awan berwarna merah menutupi langit Brasil sebelum mengarah ke barat dan timur, yakni ke Samudra Pasifik dan Atlantik.
Seperti dilansir globalnews.ca, debu berisi polutan hasil kebakaran hutan dan lahan bisa terbang terbawa angin hingga ke tempat-tempat yang jauh. Partikel karbon monoksida yang ada di udara juga bisa bertahan hingga sebulan lamanya di atmosfer.
Memicu Gangguan Pernafasan
Partikel debu dan karbon monoksida yang terbawa angin bisa memicu gangguan pernapasan, asma, hingga penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Di beberapa daerah yang dilanda karhutla, dilaporkan jumlah pasien yang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) meningkat mencapai puluhan hingga ratusan ribu orang. Gejalanya adalah batuk, pilek, dan demam hingga radang pada paru-paru.

Menurut Pusat Krisis Kementerian Kesehatan, sampai Jumat total 885.026 orang menderita infeksi saluran pernapasan akut. Dari total jumlah tersebut, 291.807 kasus tercatat di Provinsi Sumatra Selatan dan 268.591 kasus di Provinsi Riau, keduanya di Sumatera. Selanjutnya terdapat 163.662 kasus dari Provinsi Kalimantan Barat di Kalimantan.
Buruknya kualitas udara yang ditimbulkan oleh kabut asap karhutla juga memperburuk kondisi masyarakat yang sudah memiliki riwayat penyakit asma. Mereka akan merasa sesak napas dan asmanya kambuh. Sementara itu, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) ditandai dengan batuk kronis berkepanjangan, batuk berdahak, dan peningkatan infeksi pernapasan.
Penderita juga akan merasakan sesak napas ketika beraktivitas, dada sakit, kelelahan, hingga demam ringan. Jika penderita mulai kesulitan mengatur napas atau berbicara, bibir berubah berwarna biru, atau kehilangan kesadaran maka penderita harus segera mendapat pertolongan medis.
BACA JUGA: Cek HUKUM, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini