Ceknricek.com — Wakil Presiden Jusuf Kalla punya hitungan sendiri soal Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Ia berpendapat Kota Makassar belum cocok memgembangkan listrik jenis ini. Pria kelahiran Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942, ini mengatakan PLTSa biaya mahal.
“Tidak cukup visible. Butuh anggaran yang besar. Kota sebesar Makassar tidak cocok mengembangkan itu,” ungkapnya, Minggu (6/10). Pada hari itu JK berkunjung di Rumah Jabatan Wali Kota Makassar.
Pernyataan RI2 ini berbanding terbalik dengan peraturan yang telah dibuat pemerintah. PLTSa bahkan sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Dalam Perpres tersebut terdapat 12 daerah di Indonesia yang didorong untuk menjadi percontohan antara lain DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado.
Sejak Perpres diterbitkan, ada enam daerah yang didorong untuk mengembangkan PLTSa. Hasilnya, belum menunjukkan progres yang signifikan.
Di Makassar sendiri, rencana PLTSa sudah pada tahap penjajakan dengan investor. Sebelumnya, Pemerintah Kota Makassar telah mengaet sejumlah investor dari beberapa negara di antaranya Italia, Korea, dan yang terbaru investor asal Jepang.
Baca Juga: Presiden Jokowi Minta Pengawasan Ketat Impor Sampah dan Limbah
Potensi proyek PLTSa Makassar bila terealisasi, maka energi listrik yang dihasilkan sebesar 400-800 kWh untuk setiap 1 ton sampah.
Sedangkan di Ibu Kota, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta sudah menargetkan akan mengubah 20 juta meter kubik sampah Bantargebang menjadi energi listrik.
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang saat ini menampung sampah di lahan seluas 110,3 Hektare di Kelurahan Ciketing Udik, Cikiwul dan Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
Saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memiliki fasilitas pengolahan sampah menjadi energi berupa PLTSa. Fasilitas ini hasil kerja sama pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sejak 25 Maret 2019. PLTSa itu diklaim sanggup memproduksi listrik 400 kiloWatt per jam (kWh) dari 100 ton pembakaran sampah nonorganik.
Area produksi listrik berbahan bakar sampah itu layaknya sebuah pabrik yang memiliki bermacam alat produksi pembakaran sampah berteknologi termal yang mengolah sampah secara cepat dan ramah lingkungan, serta menghasilkan produk samping listrik.
Proyek percontohan PLTSa itu dibuat kompak dan tertutup rapi untuk mengubah citra pengolahan sampah yang semula kumuh menjadi lebih baik.
Kepala Unit Pelaksana Teknis TPST Bantargebang, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto, pernah mengatakan DKI akan membangun fasilitas serupa sebanyak tiga hingga empat unit untuk menekan volume sampah Bantargebang berkisar 7.452 ton per hari. “PLTSa sekarang masih dimiliki oleh BPPT karena dalam fase pendampingan operasional. Rencananya pada 2020 akan menjadi aset Pemprov DKI,” katanya.
JK yang mulai habis masa jabatannya pada 20 Oktober ini, berpendapat untuk mengatasi permasalahan dan volume sampah di Makassar, sebaiknya sampah tersebut diolah menjadi pupuk kompos saja. Sebab jika dilihat dari sisi ekonomi, pemanfaatan sampah menjadi pupuk bisa menghemat anggaran dan lebih visible. “Di negara besar manapun belum ada yang bisa kembangkan PLTSa ini. Lebih baik dibuat kompos, biayanya jauh lebih murah. Kita buat listrik dari tenaga laiin saja,” ungkapnya.
Tidak Layak
Soal mahalnya proyek PLTSa, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) juga pernah melakukan riset. Menurut Walhi, penerapan teknologi termal untuk mengurangi volume sampah di beberapa kota tidak realistis, mahal dan berpotenai gagal. Dari sisi pembiayaan maupun teknis, rencana tersebut dinilai berlawanan dengan prinsip pengelolaan sampah sebagai sumber daya material secara berkelanjutan.
Riset Walhi juga menyebut kelayakan proyek PLTSa yang akan dibangun itu juga masih menjadi tanda tanya.
PLTSa memang mahal. Itu sebabnya, pemerintah menetapkan Feed in Tariff yang tinggi untuk listrik dari sampah, yaitu US$18,77 sen/kWh sampai US$22,43 sen/kWh. Angka itu setara dengan Rp2.628-3.140/kWh (dengan asumsi kurs dolar Rp14.000).
Baca Juga: Pemprov DKI Akan Bentuk Lembaga Pengelolaan Sampah
Tarif yang tinggi ini dibuat supaya investor tertarik mengembangkan PLTSa di Indonesia. Sebagai pembanding, harga listrik dari batu bara yang hanya Rp800-900/kWh.
Di sisi lain, tarif yang dikenakan PLN kepada para pelanggannya rata-rata Rp450-1.350/kWh. PLN jelas rugi untuk PLTSa. Sudah begitu pemerintah tidak menyiapkan anggaran untuk menalangi selisih antara harga yang harus ditanggung PLN. Kini, listrik yang dikelola PLN dari PLTSa hanya 50 MW lebih.
Listrik yang diperoleh memang tidak seberapa, hanya 10-20 MW untuk setiap kota. Manfaat sebenarnya dari PLTSa adalah membuat kota menjadi bebas dari polusi, bau, dan tumpukan sampah. Jadi, poinnya bukan listriknya. Terpenting kota bersih dulu, habiskan dulu sampahnya, listrik menjadi bonus.
Feed in Tariff yang tinggi untuk listrik dari sampah dibuat supaya pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) yang membangun PLTSa berupaya menghabiskan sampah sebanyak mungkin untuk diolah menjadi listrik.
Ide JK juga solusi yang baik. Sampah bisa dibuat kompos. Kompos digunakan untuk memupuk tanaman. Jadi sama-sama baik. Kini kota-kota yang tengah mengupayakan mengelola sampah dengan baik perlu membuat studi kelayakan yang cermat. Makassar mungkin memang tak cocok untuk membangun PLTSa. Kota lain mungkin lain lagi.
BACA JUGA: Cek LINGKUNGAN HIDUP, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.