Ceknricek.com–Dulu saya pernah kost di rumah seorang dosen teknik kimia perguruan tinggi terkenal di Jogja. Orangnya gemuk. Rambutnya selalu dipotong pendek. Usianya mendekati 60 tahun. Kegemarannya selain memelihara bunga anggrek adalah menonton telenovela Marimar. Di usia mendekati pensiun, beliau memang memilih untuk tetap melajang. Sehari hari hanya ditemani ponakan, yang antar jemput menggunakan Suzuki Forsa.
Saat di rumah, baju kesukaannya adalah daster. Khas emak emak. Namun bukan itu yang membetot perhatianku. Saban kali kami ngobrol santai di belakang area kost-kostan, beliau tak lepas emosinya, jika sudah bicara nasib Thalia, yang berperan sebagai Marimar Perez. Juga Eduardo Capetillo, yang jadi Sergio. Jika Marimar bahagia, ia ikut bahagia. Begitu sebaliknya. Bahkan yang kerap bikin saya tersenyum, jika mau menerima bimbingan skripsi mahasiswa, bu dosen selalu memilih waktu diluar jam tayang telenovela asal Meksiko itu.
“Penasaran je…Ceritane apik rif. Sayang nek ketinggalan,”katanya.
Mahfud MD cerita, hikmah pandemik Corona, ia bisa nonton sinetron Ikatan Cinta. Jika bu dosen terombang ambing emosinya melihat nasib Marimar, Mahfud lebih menyoroti bagian yang jadi keahliannya. Pria asal Madura ini menyayangkan penulis cerita Ikatan Cinta, yang tidak faham soal hukum. Sarah yang mengaku dan minta dihukum karena membunuh Roy langsung ditahan. Padahal pengakuan dalam hukum pidana itu bukan bukti yang kuat, cuit Mahfud di akun twitternya.
Saat Mahfud duduk santai menyimak Ikatan Cinta di malam hari, mungkin saat yang sama banyak UGD dan selasar rumah sakit yang dilanda kepanikan. Keluarga korban Covid-19 cemas karena tabung oksigen habis. Ada juga yang telepon ke sana sini minta donor plasma konvaselen. Banyak pula yang menyusut air mata jatuh, saat dokter jaga mengumumkan berita duka pada keluarga pasien. Para penggali kubur pun masih sibuk membuat lubang, ditengah harap harap cemas penjual bubur, warung kopi, mie ayam, tukang cukur, tukang bakso dll yang harus tutup lebih awal.
Mahfud memang suka mencuit apa saja di twitternya. Namun cuitan Ikatan Cinta itu seolah menegaskan satu hal, ia sedang tidak ada kerjaan. Sebagai Menkopolhukam, setelah tukang ontran-ontran diluaran diseret semua ke bui, praktis pekerjaan berat beralih ke Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Lainnya, sudah kipas kipas cari angin. Termasuk Moeldoko, yang ditengah kebingungan rakyat untuk makan, masih saja mengajukan gugatan dan rilis iklan ngaku sebagai Ketua Partai Demokrat.
Selama ini, publik memang lumayan terbantu dengan cuitan Mahfud, jika ada isu hukum. Tapi fakta hukum di Ikatan Cinta bukan sesuatu yang urgent untuk dikomentari. Para kru dan penulis skenario sinetron pasti terbahak. Wong selama ini sinetron kita memang ndak main logika kok (saya jadi inget waktu nulis skenario sinetron Muslimah, ada adegan orang melahirkan bayi bermata satu). Mosok menteri yang terpelajar tidak tahu itu?
Di sisi lain, kurangnya sensitifitas mungkin dilatari oleh koordinasi yang lemah antar anggota kabinet. Menteri BUMN rilis vaksin berbayar. Setelah diprotes, baru Presiden Jokowi membatalkan. Beredar video menteri investasi tertawa tawa tanpa masker di Amerika Serikat. Setelah viral di sosmed, Presiden Jokowi menghimbau semua menteri tidak boleh ke LN, kecuali menteri luar negeri.
Contoh lain, PPKM Darurat yang diperpanjang saja, antar anggota kabinet saling bantah. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi bilang PPKM sudah diperpanjang sampai akhir Juli. Berselang tak lama, Luhut membantahnya. Baru semalam, Presiden Jokowi mengumumkan perpanjangan, itupun hanya sampai 25 Juli. Bukan akhir Juli.
Dengan pola sakarepe dewe seperti ini, ya pantas Indonesia sekarang jadi episentrum baru Covid-19 di Asia. Ada harapan tiga hari terakhir positif Covid-19 mulai menurun, tapi itupun lantaran jumlah testingnya yang juga menurun. Kata orang Betawi,ebusehh,main lagu laguan. Terang saja jika sebelumnya testing satu RW, terus jadi satu RT, ya menurun hasilnya.
“Mestinya genjot testing semaksimal mungkin, biar ketahuan berapa sebetulnya jumlah positif covid yang riil,”protes para epidemiolog.
Mahfud dan lain lain pejabat negara, sudah pasti tidak akan pusing mikirin besok makan apa tidak. Bagaimana bayar anak sekolah. Kontrakan sudah dilunasi belum. Listrik,beras,minyak sayur sudah terbeli dan aman tidak. Para menteri itu cuma disuruh bekerja mengelola anggaran, dan disaat semua menjerit, entah karena berita duka atau ekonomi yang terluka, mereka hanya perlu empati. Sekali lagi, cuma perlu empati.
Betul, bu dosen butuh hiburan nonton Marimar. Tidak salah juga, Mahfud MD butuh refreshing nonton Ikatan Cinta. Namanya manusia, wajar saja. Menjadi tidak wajar, ketika kemudian dipolitisir. Ahaiii, jika itu yang dikatakan para pembela Mahfud, kita jadi semakin faham, pandemik Covid ini dikelola secara ugal-ugalan, hingga hasilnya pun ikut ugal ugalan. Opo tumon?