Ceknricek.com – PRESIDEN ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya memastikan posisi partainya. Tidak berkoalisi dengan partai pendukung Presiden Joko Widodo. Melainkan merintis jalan berkoalisi dengan Partai Gerindra dan partai lain yang akan mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden di Pilpres 2019. Selama kurang lebih 1,5 jam, itulah di antara ihwal yang didiskusi SBY dan Prabowo di ruang perpustakaan yang ada di rumah SBY. Dan setelah dialog tersebut, keduanya sepakat untuk bekerjasama di kontestasi Pilpres 2019.
Kesepakatan itu agaknya menampakkan perubahan sikap SBY. Dan ia tampaknya memutuskannya dengan lugas dan asertif. Padahal selama ini orang mengenal SBY sebagai figur yang amat berhati-hati. Apalagi terhadap kolega dekatnya. Presiden Jokowi masuk kategori kolega itu. Dan orang belum lupa. Pada tanggal 10 Maret 2018, ketika melakukan Rapimnas Partai Demokrat di Sentul City, Sentul, Jawa Barat, SBY sempat berpidato dan memuji Presiden Jokowi yang diundangnya hadir di acara rapimnas itu. Malah SBY juga sempat mengemukakan keinginannya mau mendukung pemerintahan Jokowi. “ Kalau persyaratan bisa dipenuhi bersama, ada trust, saling menghargai dan saling menghormati, Partai Demokrat bisa berkoalisi dan mendukung Presiden Jokowi pada Pilpres 2019,” ujar SBY dalam pidatonya yang disambut tepuk tangan peserta rapimnas dan para undangan. Hubungan presiden dan mantan presiden itu tampak akrab dan dekat. Sebelum rapimnas, putera mahkota SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) secara khusus datang menemui Jokowi untuk menyampaikan undangan. Di acara rapimnas itu juga, tampak kedekatan hubungan Jokowi dengan AHY. Tak heran, sempat muncul kesan, AHY kelak bisa menjadi alternatif cawapres Jokowi di Pilpres 2019.
Sikap Baru SBY.
Tapi itulah politik. Hanya empat bulan setelah rapimnas tadi, keadaan sudah berubah. Selama dua malam berturut-turut sejak Selasa malam lalu (24/7/18) SBY tampil menjelaskan sikap dan pandangan baru partainya jelang Pilpres 2019.
Pertama, usai berdialog dengan Ketua Umum Partai Gerindra di rumahnya di Mega Kuningan, Jakarta, SBY mengatakan peluang koalisi Demokrat-Gerindra kini terbuka lebar. “Ini karena sebelum menjalin koalisi, saya dan Pak Prabowo sudah sepakat atas banyak hal yang kini menjadi masalah bangsa dan dialami rakyat kita,” kata SBY. Ia menambahkan, “kami bersepakat atas apa yang selama ini menjadi persoalan dan dirasakan rakyat, dan berusaha memenuhi apa yang dinginkan rakyat hingga tingkat akar rumput pada lima tahun mendatang.”
Prabowo lalu menambahkan. Bahwa di antara masalah yang dikeluhkan rakyat itu umumnya ada di sektor ekonomi. “Harga-harga barang dan kebutuhan pokok yang mahal. Lapangan kerja yang susah, juga masalah banyaknya tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia,” katanya.
Chemistry.
Ketua Umum Gerindra itu mengatakan sangat gembira atas “ kesamaan chemistry” yang diakuinya “sangat bagus,” setelah berdialog dengan SBY.
Mantan presiden yang melalui partainya (Demokrat) terpilih dalam dua Pemilu (2004-2009 dan 2009-2013) itu memang lama diharapkan para petinggi koalisi Gerindra, PKS dan PAN untuk ikut bergabung dengan mereka pada Pilpres 2019. Harapan itu sebenarnya sudah mencuat ketika koalisi partai tersebut berkompetisi sengit dengan partai koalisi pemerintah pada Pilkada DKI tahun 2017. Namun, harapan berkoalisi waktu itu gagal diwujudkan. SBY malah memutuskan partainya mengambil posisi netral dan tidak bersekutu dengan koalisi partai mana pun yang bertarung di Pilkada DKI. Toh, kompetisi itu akhirnya dimenangkan koalisi penantang petahana yang berhasil menaikkan Anies Baswedan/Sandiaga Uno menjadi gubernur DKI Jakarta. Menggusur sang petahana Ahok/ Djarot yang didukung koalisi partai (PDIP dkk) yang kini mendukung Presiden Jokowi.
Dukungan Alumni 212.
Kemenangan itu harus diakui menaikkan moral koalisi partai Gerindra, PKS, yang didukung kuat Gerakan (Persaudaraan Alumni) 212–gerakan ummat Islam yang sebelum Pilkada DKI menggugat Gubernur Ahok yang mereka tuduh sebagai penista Agama Islam–untuk membangun koalisi menantang koalisi partai pendukung presiden petahana di Pilpres 2019. Gerakan atau PA 212 dimotori kelompok ummat bernaung dalam ormas Front Pembela Islam ( FPI) yang dipimpin Habib Rizieq Shihab (HRS). Ulama berpembawaan keras dan dituduh radikal ini, tercatat paling agresif menggerakkan massa untuk menekankan keinginan mereka agar Ahok diadili. Berhasil. Ahok diajukan ke pengadilan dan kemudian divonis bersalah. Ia dihukum dua tahun penjara.
Tapi, usai eforia atas kemenangan melalui putusan hakim, HRS kemudian tersandung serangkaian tuduhan pelanggaran hukum. Di antaranya kasus percakapan mesum dengan seorang perempuan. Dan gara-gara kasus ini Imam Besar FPI itu kemudian buron dan bermukim di Mekah sampai sekarang.
Rekayasa Kekuasaan.
Proses hukum atas HRS itu belakangan dinyatakan tidak memiliki cukup bukti dan dicabut polisi. Ini makin meyakinkan para pendukung HRS pada tudingan mereka sebelumnya bahwa HRS itu korban ”rekayasa politik kekuasaan”.
Persepsi ini tak ayal, menaikkan pamor HRS sebagai tokoh ulama yang sedang dizalimi. Terbukti kemudian. Di tempat buronnya di Mekah, pemondokan HRS menjadi semacam pusat rendezvouz para tokoh partai oposisi pemerintah. Tak kurang, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais dan Ketua Umum PKS Shohibul Iman, awal Juni lalu, sempat melakukan umroh bersama ke Tanah Suci. Dan di Mekah mereka bertemu HRS. Setelah pertemuan itulah melalui pernyataan HRS muncul desakan agar ketiga partai itu segera mendeklarasikan berdirinya Koalisi Keummatan untuk menghadapi Koalisi Petahana presiden di Pilpres 2019.
Desakan HRS belum sempat direalisasikan. Maklum, ketiga partai tadi rupanya belum solid berkoalisi. Antara lain, karena Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan belum seia sekata dengan besannya Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais dalam merealisasikan Koalisi Keummatan itu.
Praktis akhirnya koalisi partai penantang koalisi presiden petahana cuma diisi oleh koalisi dengan jumlah kursi pas-pasan saja. Yakni, Gerindra (11,81% kursi di DPR) dan PKS (6,79 % kursi di DPR. Maksudnya, dengan jumlah kursi hanya sekitar 20% saja—lolos dari ambang batas untuk mencalonkan calon presiden—mereka mau menantang koalisi partai petahana presiden yang bisa menghimpun 55,21% kursi di DPR. Hasil penjumlahan kursi enam partai pendukung Jokowid: PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem dan Hanura.
Kompetisi agaknya baru agak berimbang, jika kekuatan koalisi oposisi itu bisa ditambah. Misalnya, dengan Demokrat ( 10,19 % kursi) dan PAN (7,59 % kursi). Prabowo cukup mempertimbangkan hal itu. Makanya, ketika menyampaikan pandangannya kepada wartawan usai berdialog dengan SBY, ia mengatakan sempat menginformasikan rencana mengajak Demokrat bergabung dalam koalisi kepada mitra lamanya di PKS. “ Mereka menyambut gembira,” ujarnya sambil melirik SBY.
Prabowo menambahkan setelah pertemuan dengan SBY, partai akan menindaklanjuti dengan pertemuan teknis oleh tim kecil dari kedua partai. Termasuk lanjutan berkomunikasi dengan mitra koalisi lain seperti PKS dan PAN.
Ada Halangan dan Rintangan.
SBY sendiri ketika ditanya wartawan sempat menyebutkan bahwa dia dan partainya setahun terakhir ini sebenarnya terus menjajagi keinginan untuk mendukung Presiden Jokowi. “Tapi harus diakui kami seperti menemukan halangan dan rintangan,” katanya.
Dia tak mengelaborasi keluhannya itu. Tapi setelah pernyataan itu dimuat media massa, bantahan pun langsung bermunculan dari koalisi partai pendukung Jokowi.
Pramono Anum, mantan Sekjen PDIP yang juga Menseskab, menepis pengakuan SBY. “ Tidak pernah ada halangan dan rintangan itu. Mungkin tepatnya rintangan berasal dari Pak SBY sendiri,” kata Pramono. Misalnya, ada keinginan untuk mengajukan puteranya AHY agar bisa dimasukan dalam persyaratan bergabungnya Demokrat dalam koalisi partai pendukung Jokowi.
Rupanya sentilan Pramono Anum dan juga Ketum PPP Muhammad Romahurmuzy (Romi) itu cukup mengganggu SBY.
Maka, Rabu malam (25/7/18) usai menjelaskan hasil pertemuanya dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan di rumahnya, SBY sempat meminta waktu pada wartawan. Bahwa dia akan menjelaskan beberapa hal yang semalam sebelumnnya belum sempat dijelaskannya usai bertemu Prabowo.
PAN Mau Rakernas.
Datang lengkap dengan pengurus inti PAN, Zulkifli Hasan juga menyatakan dengan wajah cerah, rasa gembira adanya pertemuan itu. Tapi, ia tidak serta merta menyatakan PAN segera masuk bergabung dalam koalisi oposisi. Zulkifli mengatakan PAN masih akan membahas ihwal koalisi itu nanti dalam Rakernas PAN.
Sebelumnya sempat tersiar kabar, Zulkifli sebelum bertemu dengan SBY telah bertemu lebih dulu dengan Presiden Jokowi. Untuk pamitan karena PAN sudah tidak ikut lagi dalam koalisi partai pendukung Presiden Jokowi.Tapi kabar itu kemudian dibantah Zulkifli.
PAN sendiri sebelumnya tercatat sebagai anggota koalisi partai pendukung pemerintah. Tapi, tidak diundang dalam rembukan enam ketua umum partai koalisi pemerintah dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor, Senin malam (23/7/18).
Merespon Pramono dan Romi usai bertemu Zulkifli Hasan, SBY menyangkal sentilan bahwa dia sebelumnya mengajukan kader Demokrat agar diikutkan dalam posisi trategis sebagai persyaratan masuk dalam koalisi pendukung Jokowi. “Boleh dicek kepada Pak Jokowi atau Pak Prabowo. Apakah saya pernah menawarkan kader Demokrat atau dan AHY,” katanya dengan wajah gusar.
Dia mencela Romi yang menuduh dia pergi meninggalkan Jokowi begitu saja tanpa minta izin. “Izin apa. Kepada siapa minta harus minta izinnya,” tukasnya ketus.
Aksi dan langkah yang dilakukan para ketum parpol hari-hari ini setidaknya memantulkan menghangatnya dinamika persaingan politik menjelang Pilpres 2019. Pilpres yang dilaksanakan serempak dengan Pileg menimbulkan pelbagai gesekan kepentingan yang makin terasa.
Capres Tanpa Cawapres.
Calon presiden sudah agak jelas. Yaitu, presiden petahana Joko Widodo dan penantangnya Prabowo Subianto.
Tapi, sampai dua minggu lagi mendekati hari pendaftaran, kedua capres belum juga mengumumkan siapa cawacapres mereka.
Yang lebih siap dan lebih mengerucut sebenarnya di kubu petahana. Sebab, setelah rembukan di Istana Bogor, keenam partai sudah sepakat pada satu nama cawapres yang akan diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi. Sekilas itu berarti mereka rela siapa pun capres pilihan Jokowi. Tapi, siapa menjamin pilihan Jokowi nanti tidak akan melahirkan keretakan hubungan antar partai pendukung?
Manuver Jusuf Kalla.
Apalagi, pekan lalu, ada aksi baru dari Wapres Jusuf Kalla. Mendadak JK bersedia memberi kesaksian terkait Judicial Review yang diajukan Partai Perindo berkaitan masalah masa jabatan presiden dan wakil presiden ke Mahkamah Konstitus (MK).
Mahkamah Konstitusi saat ini masih meneliti JR Perindo itu. Yakni, perihal tafsir pasal 169 huruf n UU Pemilu, dikaitkan dengan tafsir pasal 7 UUD 1945 terkait dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden
Dalam pasal itu disebutkan bahwa calon presiden dan calon wakil presiden bukanlah orang yang pernah menjadi presiden atau wakil presiden sebanyak dua periode. JK memang pernah menjabat sebagai wapres dua kali. Tapi tidak berturut-turut.
Karena itu, menurut Kuasa Hukum Perindo, Jusuf Kalla masih bisa diajukan dan dipilih sebagai wakil presiden.
Melalui kuasa hukumnya Irmanputera Sidin dkk, Jusuf Kalla belakangan menyatakan bersedia memberikan keterangan/kesaksian terkait JR itu.
Kesediaan JK yang kini sudah berusia 76 tahun itulah yang diartikan orang menunjukkan keinginan JK untuk kembali dipilih sebagai wapres. Heboh pun terjadi terutama di kubu capres petahana. JK pun di bully. Dituduh kemaruk kekuasaan dan untuk ambisi itu dia secara sengaja mengabaikan prinsip dasar reformasi berkaitan dengan pembatasan masa jabatan bagi presiden dan wakil presiden.
Sepengetahuan Presiden Jokowi.
JK tentu saja membantah semua tudingan itu. Dia mengatakan sebenarnya sudah mau istirahat dairi kegiatan mengurus negara. Tapi, karena JR itu berhubungan dengan kepastian hukum warga negara, khususnya yang mau jadi dan mencalonkan presiden dan calon wakil presiden, dia bersedia memberikan kesaksian agar kepastian hukum dapat ditegakkan.
Untuk maksud itu dia sebelumnya sudah berkonsultasi dengan Presiden Jokowi. Atas persetujuan presidenlah, dia lalu bersedia memberi kesaksian.
Penjelasan JK itu menyiratkan arti bahwa Presiden Jokowi pun mungkin saja ikut bermain di gendang JK. Siapa tahu?
Apalagi presiden memang menghadapi repotnya ihwal tarik menarik minat di antara partai yang mau kadernya jadi cawapres.
Tekanan psikolgis ini terasa kuat terutama datang dari para parpol pendukungnya.
Pilihan kembali pada JK lebih ringan risiko politiknya. Meski pun, banyak orang kurang yakin MK akan mengabulkan gugatan JR Perindo.
Lantas, bagaimana Capres dan Cawapres di kubu oposisi? Sementara ini, Prabowo adalah satu-satunya capres yang muncul. Sedangkan Cawapres tetap belum ada.
Sebelumnya PKS sebagai koalisi lama, Gerindra sudah menyodorkan sembilan kadernya. Yakni, Ketum Ketua Majelis Suro Salim Segaf Aljufri, Ketum Shohibul Iman, mantan Ketum Tifatul Sembiring dan Anies Matta, mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan,Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, Ketua DPP Mardani Ali Sera dan Al Muzzamil Yusuf.
Tapi, nyaris semua nama-nama itu kalah bersaing dalam pengukuran lembaga survei, jika dipasangkan dengan capres Prabowo Subianto.
Malah cawapres dari luar PKS, sebutlah misalnya, Anies Baswedan, Jenderal (Pur) Gatot Nurmantio, dan Agus Harimurti, malah tampil mengungguli mereka.
Survei terbaru LIPI, misalnya, yang dilakukan 19 April-15 Mei 2017, melibatkan 2.100 resonden, menyebutkan cawapres paling cocok bagi Prabowo, adalah Anies Baswedan (23,1%), Gatot Nurmantio (20%) dan Agus Harimurti (15,7 %).
Celakanya di survei LIPI itu juga—sama dengan beberapa survei lainnya —untuk capres, Prabowo Subianto terus saja kalah telak dari Jokowi. Di survei LIPI, Prabowo cuma memperoleh 17% sedangkan Jokowi 46 %.
Realitas pengukuran di lembaga survei yang independen biasanya menjadi patokan semua peserta kontestasi Pemilu. Makanya, salah satu acuan koalisi partai dalam memilih dan menentukan figur yang diunggulkan biasanya berbasis pada hasil survei independen itu.
Jika itu dilakukan dengan jujur dan obyektif maka kubu pengusung Prabowo agaknya perlu hati-hati mempertimbangkan siapa cawapres untuk mantan Pangkostrad itu di Pilpres 2019. “ Makanya, kami mengusulkan secepatnya koalisi Gerindra, PKS dan partai lainnya rapat bersama. Kita ukur semuanya dengan menurunkan posisi tawar masing-masing,”ujar Mardana Ali Sera, ketua DPP PKS kepada ceknricek.com.
Penggagas Gerakan#2019 Ganti Presiden itu mengatakan semua ego partai harus ditiadakan. “ Kita pilih figur yang benar kuat dan disukai rakyat. Karena kita kan mau menang. Bukan cuma mau ikut kontestasi Pilpres, “ ujarnya.