Ceknricek.com — Marie Antoinette menjadi salah satu nama paling dikenang dalam buku sejarah Prancis. Ia ialah ratu terakhir Kerajaan Prancis, mendampingi Raja Louis XVI hingga meletusnya Revolusi Prancis di akhir abad 18.
Sebagai sosok ratu yang fenomenal, Marie dikenal akan reputasinya yang suka berfoya-foya, kacau, dan ironisnya sering memberikan simpati kepada musuh Perancis, khususnya dari Austria yang merupakan tanah kelahirannya. Terlepas dari berbagai kontroversinya, Marie Antoinette juga merupakan simbol tren dan kecantikan.
Lahir dengan nama Maria Antonia Josepha Johanna, 2 November 1755, ia adalah putri bontot dari Kaisar Roma Suci Francis I dan Ratu Maria Theresa, penguasa Kerajaan Hofburg. Masa kecilnya dihabiskan lebih banyak bersama pengasuh kerajaan, Countess von Brandeis, yang membesarkan Maria dan kakaknya, Maria Carolina yang di kemudian hari menjadi Ratu Naples dan Sisilia.
Masa kecil Marie Antoinette dihabiskan sebagian besar di Hofburg dan Istana Musim Panas Schoenbrunn. Di sanalah Marie Antoinette bertemu dengan Wolfgang Amadeus Mozart, yang lebih muda dua bulan, saat berusia 7 tahun.

Meski tak memiliki kemampuan akademik yang menonjol (hingga usai 10 tahun Marie Antoinette tak bisa menulis dengan benar), ia dikenal memiliki bakat musik yang andal. Di bawah bimbingan komposer Christoph Willbald, Marie remaja dikenal sebagai gadis dengan suara merdu dan pandai menari.
Dua Kerajaan, Satu Ambisi
Keluarga Kerajaan Ratu Maria Theresa, Ibunda dari Marie sebenarnya memiliki konflik cukup panjang hingga sekitar 7 tahun dengan Raja Prancis Louis XV. Namun lantaran memiliki ambisi sama untuk menghancurkan Inggris dan sekutunya, akhirnya Prussia, Austria dan Prancis beraliansi.
Saat berusia 25 tahun, Marie Antoinette dijodohkan oleh Louis XV untuk menikahi cucunya, Louis-Auguste, Duke of Berry. Keduanya menikah di Gereja Augustinian Wina, 19 April 1770.

Baca Juga: Mengenal Hannah Arendt, Teoritikus Politik Terkemuka dari Jerman
Pada 10 Mei 1774 Louis-Auguste naik takhta menggantikan Raja Louis XV yang wafat. Ia mendapat gelar Louis XVI penguasa Perancis dan Navarre. Hal ini otomatis membuat Marie Antoinette sebagai ratu.

Dikenal sebagai raja yang tidak mudah mengambil keputusan, Marie Antoinette dianggap sebagai tokoh sentral dalam kepemimpinan Louis XVI di monarki Prancis. Salah satunya dengan mengasingkan Duke of Aiguillon, menteri paling berpengaruh Louis XVI.
Kehidupannya sebagai Ratu Prancis dikenang dengan gaya hedonisme, santai, dan penuh hura-hura. Ia ikon dari sosialita kerajaan, yang kerap berjudi, berpesta, dan mengoleksi pakaian mahal. Koleksi barang-barang mewah dari Marie dan Louis XVI yang hingga saat ini masih bisa dilihat di Chateau de Versailles, Prancis, menjadi salah satu objek wisata para wisatawan mancanegara.
Skandal Perselingkuhan
Bersama Louis XVI, Marie memiliki empat anak Marie Therese, Louis Joseph, Louis XVII dan Putri Sophie. Sebagai sosok yang pendiam dan tertutup, sifat dari Louis XVI sangat bertolak belakang dari Marie Antoinette.

Sang istri justru banyak menghabiskan waktu bangsawan-bangsawan lainnya seperti Baron de Besenval, Duc de Coigny, dan Count Valentin Esterhazy. Salah satu rumor mengatakan dirinya banyak menghabiskan waktu di Petit Trianon bersama diplomat Swedia Count Axel von Fersen.
Nama terakhir ini yang kelak berusaha menyelamatkan Marie Antoinette untuk keluar dari Kerajaan saat Revolusi Prancis. Di masa kepemimpinan Louis XVI, ekonomi Prancis hancur lebur lantaran panen yang buruk dan harga-harga barang yang tinggi. Di saat yang sama, gaya hidup glamor dari Marie Antoinette juga membuat kondisi keuangan Prancis menjadi besar pasak daripada tiang, alias defisit.
Baca Juga: Mengenal Mata Hari, Mata-mata Wanita Terhebat Dalam Sejarah
Kelaparan membuat rakyat melakukan demonstrasi besar-besaran. Salah satu tuntutan mereka adalah karena harga roti menjadi melambung. Di luar dugaan, Marie Antoinette malah membalas teriakan rakyat dengan kata-kata yang hingga saat ini dikenang, “Qu’ils mangent de la brioche,” yang berarti biarkan mereka makan kue.
Akibatnya, pada 14 Juli 1789, 900 pekerja dan petani Perancis menyerbu Penjara Bastille dan merampas persenjataan untuk melakukan revolusi. 6 Oktober 1789, sekitar 10.000 orang berkumpul di Istana Versailles, dan menuntut raja dan ratu dibawa ke Paris.
Marie Antoinette meminta bantuan para penguasa Eropa untuk membantu menyelamatkan monarki Perancis. Count Axel von Fersen lalu berupaya menyelundupkan keluarga kerajaan ke luar negeri pada 1791.
Apa daya, ternyata mereka tertangkap dan dikembalikan ke Paris. Pada September 1791, Louis XVI setuju adanya perubahan konstitusi yang membuat dirinya hanya menjadi raja sebagai simbol. Urusan pemerintahan diserahkan kepada dewan nasional.
Pancungan Guillotine
Beberapa bulan berikutnya, Prancis justru berada di ambang perang melawan Austria dan Prussia. Terjadi pembantaian mengerikan di Paris, yang membuat pemimpin kelompok Jacobin Maximilien de Robespierre, memerintahkan peran raja dihapus. Konvensi Nasional akhirnya mengumumkan penghapusan status monarki, mendirikan Republik Perancis, dan mengadili raja serta ratu. Louis XVI dan Marie Antoinette akhirnya menjadi tahanan rumah.

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Eksekusi Mati dengan Guillotine Terakhir Kali Digunakan di Perancis
Dalam sidang Desember 1792, Louis XVI iputuskan bersalah oleh Konvensi dan wajib dihukum pancung pada 21 Januari 1793. Marie Antoinette dihukum sembilan bulan berselang, dengan hukuman yang sama pada 16 Oktober 1793.

Sebelum dipancung sekitar pukul 12.15, kata-kata terakhir Marie Antoinette diyakini ialah, ”maaf Tuan, saya tak sengaja,” saat dirinya tak sengaja menginjak sepatu algojonya.
Sang ratu hura-hura pun tewas, dan dimakamkan di makam tak bernama di Madeleine, d’Anjou. Pemakaman itu ditutup pada 25 Maret 1794 lantaran kelebihan kapasitas.
Jenazah Raja dan Ratu Prancis itu baru diselamatkan oleh Louis XVIII Antoinette ketika terjadi Restorasi Bourbon. Tiga hari kemudian, mereka dimakamkan dalam upacara Kristiani di Basilika St Denis.
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.