Ceknricek.com–Setahun sebelum merebaknya Covid-19 saya menjadi narasumber pada Rakornas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Bogor. Waktu itu saya setengah memanas-manasi para komisioner, bahwa penonton televisi terestrial ini semakin terdisrupsi. Artinya jumlah penonton televisi terestrial, yang diawasi KPI, semakin menurun. Mungkin ujungnya penonton televisi terestrial hanya tinggal 40 persen saja dari penonton sekarang. Dan yang tinggal penonton penonton sinetron, dangdutan dan bola lokal.
Di saat yang sama, penonton Youtube sudah berada di atas 88 persen dari pengguna internet yang sudah mencapai angka 171 juta lebih. Dan tentu saja video di sosial media belum masuk ranah pengawasan KPI. Karena berdasarkan Undang Undang Penyiaran KPI hanya mengawasi pemakai frekuensi public yaitu televisi, radio dan pay tv.
Berbeda dengan Undang Undang Pers yang memungkinkan Dewan Pers mengawasi para pemakai platform sosial media. Karena dalam Undang Undang Pers terdapat pasal yang mengatakan “dan saluran lainnya”.
Waktu itu saya meramal, tatanan media baru ini akan mencapai titik keseimbangannya pada lima hingga sepuluh tahun mendatang. Ternyata virus Corona mempercepat terjadinya ramalan itu. Disrupsi di sektor media datang lebih cepat. Tatanan media baru ini akan segera terjadi pasca Corona. Media arus utama harus bersiap-siap menghadapi gelombang disrupsi ini.
Ketika semua harus menjaga jarak, para wartawan liputan pun “dipaksa” mengikuti prosedur Covid-19. Jumpa pers harus sesuai standar social distancing. Maka tatkala seorang menteri mengabaikan prosedur itu pada satu kesempatan jumpa pers, sontak ia dibully habis di media sosial.
Efek lain Corona adalah ketika para kru televisi terestrial kompak membuat tivi pool untuk peliputan Covid-19. Mereka membagi tempat tugas untuk jumpa pers di berbagai spot penting, seperti Istana Presiden, Balai Kota DKI, kantor Gugus Tugas Covid-19, dan beberapa rumah sakit. Maksudnya supaya tidak terlalu banyak pengerahan dan persentuhan wartawan di satu spot. Dan tentu saja ini lebih efisien juga.
Lihat juga sisi lain dampak Covid-19. Sejumlah program berita televisi, kini disiarkan dari ruang privat. Liputan 6 SCTV, misalnya, menjadi salah satu pelopor siaran dari rumah presenter disaat Covid. Presenter tak perlu kemana-mana, cukup membuka aplikasi newsroom system dan handphone serta koneksi internet yang stabil. Bahkan siaran pun bisa dilakukan sambil bercelana pendek atau sarungan – sesuatu yang tak lazim dilakukan jika ia bersiaran di studio. Tetapi tampilan kamera tetap sesuai standar.
Produsernya pun membuka aplikasi yang sama dan mengatur rundown dari rumahnya. Begitu juga para editor dan peramu gambar bisa melakukan editing dari rumah. Tinggal melihat rundown berita hasil rapat perencanaan sebelum tayang. Rapatnya pun berlangsung via zoom.
Kini, sebagian narasumber malah mentransmisikan jumpa persnya secara live ke media sosial seperti Youtube, demi makin meminimalkan kerumunan wartawan. Maka ”bubarlah” tivi pool yang digelar para kru media televisi, karena tak lagi berguna. Buat apa lagi mengirim reporter atau tim siaran langsung. Tinggal dengarkan saja di Youtube. Atau tinggal download saja kalau memang mau me-rebroadcast. Demikian halnya Twitter, Instagram dan lain-lain, kini bisa menjadi sarana untuk mentransmisikan semua informasi.
Bisa juga jumpa pers dilakukan via zoom. Tidak perlu ada pergerakan crew ke tempat narasumber. Para reporter cukup duduk manis di rumah atau newsroom. Setelah diolah, sesuai platform, tinggal di publish.
Sekarang kru media tinggal duduk manis saja di kantor. Pantau media sosial, pasti semua berita ada di situ. Untuk media cetak, tinggal di transkrip saja. Untuk radio, tinggal dibersihkan saja suaranya agar lebih jernih. Untuk televisi, tinggal di-download saja, kemudian diedit. Materinya bisa juga di-rebroadcast pada sesama platform media sosial.
Sebutlah contohnya, perseteruan Said Didu dengan Luhut Binsar Panjaitan. Mereka berbalas kata di dunia maya, tanpa bertemu secara fisik. Lihat juga bagaimana Presiden Amerika Serikat Donald Trump menebar ancaman, cukup lewat Twitter saja. Nun jauh disana, Presiden Tiongkok Xi Jinping menjawab ancaman Trump, juga cukup via Twitter.
Nah, wartawan tinggal mem-follow Twitter atau akun media sosial lain para tokoh yang kerap menjadi newsmaker. Simak terus apa unggahan mereka, lalu kutiplah bagian yang menarik. Sisanya bisa menghubungi narasumber via telepon. Jadilah berita.
Banyak tokoh yang memiliki channel sendiri di media sosial, yang mereka gunakan untuk pidato, ceramah, jumpa pers, atau bahkan mengumbar keseharian mereka di rumah. Ada sejumlah program di tivi, berisi kumpulan kutipan dari media sosial para tokoh itu. Tinggal pilih, sesuai selera pemirsa masing-masing.
Peristiwa Covid-19 semakin mempercepat proses reduksi sebagian besar fungsi reportase lapangan. Fungsi reporter lapangan diambil alih platform media sosial. Pertanyaannya, apakah fungsi itu akan kembali normal jika virus Corona sudah berlalu? Ataukah disrupsi bakal terus berlanjut? Saya cenderung pada pertanyaan kedua. Dan inilah yang harus kita kaji bersama.
Jadi ketika proses di newsroom ada tiga tahapan: gathering (peliputan), produksi berita, dan publishing (broadcasting), maka diproses pertama yang paling banyak terdisrupsi. Peliputan ini melibatkan sumber daya manusia dan peralatan paling banyak terutama di televisi. Selain ada reporter ada juga kamerawan. Biasanya jumlah kamerawan 1,5 kali jumlah reporter. Tentu saja dari sisi peralatan kamerawan ini memerlukan kamera. Belum lagi peralatan siaran langsung yang harganya miliaran rupiah, akan menjadi useless. Hanya sesekali digunakan untuk acara-acara besar saja. Sedangkan untuk kepentingan siaran langsung regular, fungsinya sudah tergantikan alat yang portable atau bahkan oleh segenggam smartphone. Inilah saatnya teman-teman di media mainstream, terutama televisi, untuk mengkalkulasi ulang peralatan dan jumlah kru siarannya.
Sebagian besar sumber berita – baik kalangan pemerintah, swasta maupun perorangan, sudah menikmati kemewahan yang disediakan oleh platform media sosial. Mereka tak perlu lagi capek- capek mengundang wartawan untuk jumpa pers. Cukup dengan melibatkan satu-dua orang IT yang mengerti sedikit proses pengambilan gambar. Mereka tinggal sebarkan link jumpa pers itu kepada para wartawan. Sangat simpel.
Lalu, apa yang tersisa? Akankah media mainstream tetap eksis, atau terlindas media sosial? Media mainstream akan tetap dibutuhkan, asalkan bisa menjadi rujukan tentang fakta dan kebenaran. Kemudian setelah itu bisa mempertanggungjawabkan kalau terjadi kesalahan dalam pemberitaan. Inilah amanat utama Undang Undang Pers. Sisanya, media mainstream hanya jadi “tukang” verifikasi fakta belaka.
*Nurjaman Mochtar, Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat