Oleh Zainal Bintang*
Ceknricek.com – Survey Charta Politica yang dilakukan 13 – 19 April 2018 mengajukan pertanyaan kepada masyarakat : “Apa alasan yang paling utama Bapak/Ibu/Sdr memilih Golkar?”
Hasilnya menarik dicatat. Antara lain : (1). Memilih Golkar karena faktor Orde Baru/Soeharto 22. 8 persen. (2). Mengusung Jokowi 5.5 persen dan (3). Tertarik figur Airlangga 0.5 persen.
Sementara itu hasil survei Kompas yang dirilis 25 April 2018 menunjukkan elektabilitas PDI-P 33,3 persen, Gerindra 10,9 persen dan Partai Golkar antara 7 – 9 persen. Inilah kondisi realitas Golkar hari ini yang mensyaratkan mendesaknya konsolidasi di semua lini : eksternal maupun internal.
Dalam waktu yang sangat pendek bagaimanakah cara pimpinan Golkar akan mengatasi hal itu? Tanggapan petinggi Golkar menyebut Titiek membebani Golkar karena bercitra Orba (Orde Baru) sangat tidak berdasar. Karena Airlangga Hartatopun yang sekarang ketua umum Golkar adalah putera tokoh Orba. Ayahnya pernah jadi menteri Soeharto di kabinet beberapa kali.
Menghadapi perhelatan politik ke depan Golkar harus mati – matian mempertahankan capaian suaranya yang pada 2014 sebanyak 91 kursi di Senayan atau 14, 5 persen yang kini di kisaran 7 – 9 persen. Berkarya sebaliknya harus mati – matian merebut suara pemilih paling sedikit 4 persen sebagai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) agar dapat tiket lolos ke Senayan.
Sejumlah tokoh Golkar yang mendirikan parpol baru telah menyedot bukan saja pemilih bahkan pengurus Golkar di pusat dan di daerah. Parpol yang dimaksud adalah Gerindra (Prabowo Subianto), Hanura (Wiranto) keduanya lolos Pemilu 2009 dan Nasdem (Surya Paloh) yang lolos Pemilu 2014. Kehadiran ketiga parpol itu telah menahan pertambahan suara Golkar. Kalau tidak mau dikatakan menggerus. Dengan hadirnya Berkarya berarti mesin pemotong suara Golkar bertambah satu.
Intensitas kompetitor Golkar mencuri poin dari kelemahan Golkar sangat menonjol. Pada saat yang sama keluarga Cendana tampil menawarkan alternatif perbaikan bangsa. Tumbuhnya fenomena rindu Soeharto dapat dianggap adalah siklus alamiah. Gejala alam itu sejatinya haruslah bisa dikapitalisasi semaksimal mungkin oleh Berkarya untuk meretas jalan menuju Pemilu 2019. Meskipun secara matematis Berkarya barulah akan tancap gas pada Pemilu 2024. Panggung Pemilu 2019 adalah basis starting point untuk mengukur kekompakan internal mereka dan mendeteksi sejauh mana pengaruh rindu Soeharto berwujud menjadi kenyataan.
Kehadiran Berkarya berambisi menjanjikan oksigen politik yang lebih segar sebagai antitesa atas kegagalan parpol koalisi pendukung Jokowi membebaskan negeri ini dari virus korupsi dan atas ketidak mampuan menjinakkan liberalisasi. Meluasnya kooptasi modal asing terhadap ekonomi bangsa serta bertumpuknya penguasaan lahan di tangan konglomerat, telah menjadi nyanyian panjang kemiskinan yang menoreh luka bangsa.
Perindu Soeharto, terus terang mencoba menuntut dihidupkannya kembali regulasi negara dan sikap tegas keberpihakan seluruh stakeholder bangsa ini kepada petani. Mereka kecewa melihat negeri gemah ripah loh jinawi ini dibanjiri bahan pokok hasil impor. Menuntut keadilan pembagian kue ekonomi secara merata yang sangat timpang semenjak reformasi. Racikan luka luka bangsa itulah yang sedang diramu sebagai gerakan moral yang akan dipompakan Berkarya ke tengah masyarakat. Hal ini masih sebatas cita – cita pendiri Berkarya.
Sentimen keterpurukan petani sebagai representasi bangsa sangat ampuh menjadi isu politik. Masyarakat petani adalah konsentrasi terbesar suara pemilih. Di dalam struktur masyarakat agraris petani adalah tulang punggung bangsa. Menelantarkan petani sama dengan menelantarkan anugerah alam. Berbasis isu pemulihan kemuliaan harkat dan martabat petani itulah kelihatannya yang coba akan dieksplotisir Berkarya. Mencoba mendulang simpati untuk membangun kekuatannya. Namun masyarakat masih dibuat bertanya – tanya tentang kapasitas dan kapabilitas parpol ini.
Penyebaran pesan ideologi berbasis isu petani dan pertanian yang diperkirakan akan menjadi tema sentral yang diusung Berkarya, sangat mudah tiba di tangan target dengan bantuan kemajuan teknologi informasi atau perangkat gawai.
Hal ini masih menuntut adanya kecerdasan pimpinan Berkarya meskipun sepintas lalu sepertinya akan mudah mengindokrtinasi massa konstituen di pedalaman. Tidak perlu lagi harus menggelar rapat raksasa dan penyebaran spanduk, bendera atau baju kaos yang sudah ketinggalan jaman. Namun semua pandangan ini memang sangat indah di atas kertas atau gurih sebagai bahan orasi. Implementasi di lapangan kebanyakan tidak seiindah warna aslinya.
Tentu saja idealisme tersebut diatas tidak mudah direalisir. Kata kuncinya terletak kepada militansi pengurus inti dan kader Berkarya. Inilah yang perlu dibenahi dan dipastikan lebih awal, lebih serius serta lebih intensif oleh Tommy Soeharto dan Titiek Soeharto.
Mereka harus care betul menjaga Berkarya jangan sampai tergelincir menjadi tempat penampungan pengurus yang tidak produktif. Alias hanya menjadi penampung pengangguran yang terbuang dari parpol lain.
Militansi dan gebrakan pengurus inilah yang belum terlihat sampai sekarang. Beberapa nama yang direkrut terkesan dimata publik sebagai figur yang sudah tidak produktif dan malahan punya indikasi kasus hukum di parpol lama.
*Zainal Bintang, wartawan senior dan anggota Dewan Pakar Partai Golkar