Oleh : Zainal Bintang
Ceknricek.com – Persoalan serius yang dihadapi Jokowi hari – hari ini : penentuan figur yang tepat guna sebagai Cawapres. Penentuan seorang figur memerlukan persetujuan semua anggota parpol koalisi. Satu saja parpol atau lebih yang menolak membuat proses terhenti. Dengan kata lain penetapan cawapres yang berasal dari parpol koalisi atau malah non paprol, tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Gabungan parpol besar dan menengah anggota koalisi pendukung parpol Jokowi yang sangat kuat dan menjamin tersedianya tiket presidential threshold menuju kontestasi Pilpres 2019. Tiket itu adalah kumpulan perolehan parpol koalisi bekas suara hasil produksi Pilpres 2014.
Banyaknya dukungan parpol koalisi memberikan jaminan kemulusan meraih tiket sebagai capres. Namun disisi lain penentuan figur cawapres menjadi alot. Karena memerlukan kesepakatan anggota koalisi parpol. Tidak mudah bagi Jokowi bertindak serta merta menentukan pasangannya.
Ancaman yang menanti adalah, parpol anggota koalisi yang kecewa bisa saja menarik dukungannya, cukup dengan beberapa argumentasi sebagai alasan. Sejarah mencatat beberapa parpol besar terkenal suka berpindah – pindah seenaknya tanpa memperdulikan penilaian masyarakat dan etika berkoalisi.
Yang ideal, cawapres Jokowi adalah usia muda, pemimpin parpol besar, minimal mewakili aspirasi umat Islam. Akan tetapi itulah masalahnya. Selain masih menghadapi resistensi belukar parpol koalisi, cawapres usia muda itu ,- siapapun dia ,- juga mengandung bom waktu. Pasalnya sang wapres dicurigai akan menggoreng pemasaran dirinya untuk menduduki kursi presiden pada Pilpres 2024.
Meskipun ini impian yang sehat. Akan tetapi tidak bagi PDIP. Terpilihnya cawapres yang muda – apalagi yang non PDIP – akan menjadi persoalan tersendiri bagi Megawati, yang menyandang obsesi melanggengkan trah Bung Karno dalam pusaran kekuasaan politik untuk melestarikan ajaran Proklamator itu.
Wakil presiden yang dipilih Jokowi dan kemudian berhasil memenangi Pilpres, yang dapat dipastikan bukan kader PDIP, adalah mimpi buruk (nightmare) bagi Megawati. Hal inilah yang menjelaskan mengapa proses penetapan cawapres untuk Jokowi mengalami ketersendatan dan berputar – putar terus jalan di tempat. Dipastikan karena negosiasinya dengan Megawati belum nyekrup.
Kendala besar yang harus diatasi adalah adanya persepsi miring di masyarakat yang menganggap Jokowi kurang “ramah” kepada umat Islam. Dan sebaliknya ada kelompok umat Islam tertentu sepertinya kurang ramah pula kepada Jokowi. Adalah Amien Rais, Ketua Dewan Kehormatan PAN (Partai Amanat Nasional) yang mengangkat pandangan tersebut.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya telah lahir kekuatan baru umat Islam “ekstra parlemen”. Mereka muncul ke permukaan dari panggung “Unjuk Rasa Damai” yang bermutasi menjadi Persaudaraan Alumni 212 atau “PA212”. Nama itu merujuk kepada unjuk rasa kolosal yang mereka lakukan pada tanggal 2 Desember 2016. Mereka kini terkonsentrasi menjadi kekuatan politik baru penekan kekuasaan. Mereka berada di luar jalur Senayan sebagai lembaga parlemen formal.
Penolakan Jokowi menerima delegasi “aksi damai” 411 (empat November 2016) memicu berlanjutnya unjuk rasa damai yang lebih masif dan dikenal sebagai “Aksi Damai 212”. Digerakkan mayoritas tokoh ulama muda Islam. Sayang hal itu disahuti oleh Istana dengan penangkapan sejumlah tokoh aktivis dengan tuduhan makar. Situasi politik menjadi semakin keruh dan memanas.
Akumulasi peristiwa unjuk rasa damai itulah yang disusul dengan penangkapan aktivis – yang menimbulkan gesekan dan “luka” di hati umat Islam. Ini juga menjelaskan mengapa cawapres Jokowi diharapkan tokoh yang dianggap sebagai representasi umat Islam. Istanapun melakukan pendekatan baru. Pintu Istana terbuka lebar. Hampir tiap minggu menyiapkan jamuan makan kepada berbagai pimpinan pondok pesantren. Pada saat yang sama Jokowi rajin bersafari ke pesantren.
Pertanyaannya, dapatkah Jokowi lulus dari ujian politik yang demikian peliknya ini untuk dapat melenggang ke Pilpres 2019?. Bukan saja dia harus mendapat suara terbanyak, akan tetapi juga bisa menjamin sang wakil itu dapat menjadi mitra penciptaan stabilitas.
Rakyat ini sudah capek dan kehabisan waktu, tersedot di dalam mata rantai konflik politik selama kurang lebih empat tahun tanpa hasil yang konkret. Intinya rakyat Indonesia sudah pegal dan mual terseret – seret di dalam arus kegaduhan politik tanpa makna. Habis waktu selama empat tahun hanya untuk klarifikasi berbagai macam hoaks. Baik datangnya dari oposisi maupun yang diproduksi Istana.
Belakangan peta konstalasi pasar cawapres mendadak mengalami pergeseran. Dinamika baru muncul melalui keputusan JK ( Jusuf Kalla) yang tiba – tiba bersedia menjadi pihak terkait dalam kasus yudisial review (uji materi) atas bunyi UU No. 7 2017 pasal 169 huruf N, tentang pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla resmi mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam uji materi Undang-Undang Pemilu tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan Partai Perindo.
Gerakan Ketua Umum Perindo Hary Tanoe itu mengundang pertanyaan luas di masyarakat. Dia bekerja untuk siapa? Bayang – bayang Donald Trump berkelebat di dalamnya.
Mencermati dinamika politik yang pasang surut belakangan ini, Jokowi harus cermat di dalam memilih wakilnya. Jangan sampai yang dipilih adalah “anak macan” yang menyusahkannya di tengah jalan.
“Anak Macan” itu tidak mesti analog dengan figur usia muda non PDIP. Akan tetapi yang namanya “anak macan” bisa saja muncul bersama tokoh senior yang sarat pengalaman seperti JK.
Fenomena “anak macan” telah membuat semakin kusutnya akrobatik politik yang meracuni demokrasi. Membuat rakyat semakin mual. Tetapi tetap saja dimainkan mereka yang menyebut diri elite politik tanpa rasa berdosa.
*zainal bintang, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya