Ceknricek.com–Lahirnya istilah “negara polisi” (police state), bahkan secara langsung merujuk kepada praktik Naziisme di Jerman serta komunisme di bawah Uni Soviet, di mana polisi tunduk kepada partai atau penguasa, bukan kepada supremasi hukum.Karena polisi bisa digunakan oleh kekuatan demokrasi maupun non-demokrasi dalam peluang yang kurang lebih sama, maka upaya untuk mengontrol lembaga kepolisian harus dilakukan secara ketat.
Kekuasaan polisi harus dijaga untuk selalu berada di dalam koridor demokrasi. Polisi harus menghormati hukum dan ikut menjaga demokrasi.Mengingat masyarakat demokratis mengupayakan penegakan hukum yang setara, maka polisi juga dituntut bisa memperlakukan warga negara secara setara. Itu artinya dalam menghadapi dinamika politik dan kemasyarakatan polisi harus bisa menunjukkan netralitas dan obyektivitasnya.
Di negara-negara demokrasi, pengaturan lembaga kepolisian memiliki sejumlah variasi. Di AS, misalnya, mereka menempatkan polisi sebagai kuasi-militer yang terdesentralisasi. Polisi relatif tidak ada hubungannya dengan sistem peradilan sampai mereka benar-benar melakukan penangkapan. Di Inggris, polisi secara eksplisit bersifat non-militer, lokal, dan lebih terstandarisasi daripada di AS.
Pada prinsipnya polisi tidak memiliki kekuasaan yang luar biasa di luar hak-hak warga negara biasa, sehingga di Inggris polisi tidak dipersenjatai. Sementara itu di Perancis, mengingat sejarah politiknya yang kerap bergejolak, Perancis mempercayai bahwa jika demokrasi ingin dilindungi, maka hak-hak masyarakat harus lebih diutamakan daripada hak-hak individu. Itu sebabnya, polisi Perancis diberi kelonggaran yang lebih besar dalam mengumpulkan data intelijen politik jika dibandingkan negara Eropa lainnya.
Dua Momen Kembalinya Otoritarianisme
Jika abad ke-20 sering disebut sebagai “Abad Demokrasi”, menarik untuk mencatat bahwa sejak permulaan abad ke-21 kita telah mendengar keluhan bahwa demokrasi semakin kehilangan daya tariknya secara global. Kalau kita tengok lagi ke belakang, ada dua momen yang telah menyeret dunia kembali masuk ke dalam jebakan otoritarianisme. Dua momen ini juga, menurut saya, yang telah menyebabkan institusi kepolisian di seluruh dunia mulai menampakkan wajah brutalnya.
Momen pertama adalah terjadinya peristiwa 9/11, yang ditandai oleh serangan terhadap menara kembar World Trade Center (WTC) di New York, AS, tanggal 11 September 2001. Peristiwa tersebut, yang telah merontokkan simbol kedigdayaan kapitalisme dan negeri Barat, telah mengubah wajah politik global dalam dua dekade terakhir.
Tak lama setelah peristiwa tersebut, pada 20 September 2001, Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush, Jr. dalam pidatonya di depan Kongres AS telah mendeklarasikan “perang terhadap teror” (war on terror). Deklarasi tersebut telah mengubah cara pandang AS dalam menempatkan isu terorisme, dari sebelumnya sekadar masalah penegakkan hukum domestik, kemudian menjadi ancaman global terhadap kepentingan AS. (Bersambung)